Pemilu 2009, Jauh dari Demokrasi Substansial

Senin, 05 Januari 2009 , 17:17:33 WIB
Pemilu 2009, Jauh dari Demokrasi Substansial
Tahun 2009 ini adalah tahun pemilu. Konteks tahun pemilu itu berarti terkait dengan persiapan-persiapan pemilu. Pemilu kali ini adalah kali ketiga di era reformasi. Satu pemilu yang tentu saja harus dibangun dengan perspektif yang sungguh berbeda atau bagian dari penyempurnaan dari dua pemilu terakhir. Kalau pemilu tahun 1999 adalah pemilu pertama di era reformasi dengan ledakan partispasi yang sangat menyolok dari masyarakat Indonesia. Sedangkan pemilu tahun 2004 adalah penyempurnaan dari pemilu 1999 tapi dengan perspektif bangunan atau konstruksi politik yang lebih baik, bersifat implementalis dan menyempurnakan. Maka pemilu 2009 tentu harus dengan perspektif yang lebih konstruktif, karena kesempatan dua pemilu pertama itu menjadikan pelajaran yang sungguh berharga. Bila pemilu 1999 maupun 2004 baru sebatas pemilu yang bersifat prosedural (meminjam istilah Schumpeter dan Lary Diamond), saya berharap pemilu 2009 harus mengarah pada pemilu dengan konotasi demokrasi konsolidasional atau substansial. Nah, bagaimana tahun 2009 ini bisa menjelaskan bahwa pemilu yang akan digelar ini merupakan pemilu yang mengarah pada pembentukan karakter demokrasi konsolidasional atau demokrasi substansial tadi? Ketika bicara tentang demokrasi substansial maka demokrasi yang harus dibangun adalah tidak saja proses-proses pemilu yang jauh lebih fairness, tapi juga hasil-hasil dari pemilu itu sedapatnya bisa mengarah pada berkah pemilu itu terhadap rakyat pemilih. Sesuatu yang selama ini selalu dipertanyakan karena orang pada akhirnya berkeyakinan bahwa pemilu itu tidak akan ada gunanya ketika wakil rakyat atau produk dari pemilu itu tidak memperjuangkan atas apa yang dimaknai dalam konteks  demokrasi secara umum. Kaum reformis pada kondisi yang sangat minimal sering dipertanyakan karena hasil pemilu yang  mereka lakukan pada akhirnya tidak mendekat kepada nasib rakyat itu.  Gap yang paling jelas sekarang ini adalah pemilu merupakan entitas tersendiri, sementara nasib rakyat merupakan entitas yang lain lagi. Padahal harusnya tidak demikian. Itulah kenapa dibutuhkan demokrasi konsolidasional atau substansial tadi. Terkait dengan ini memang ada serautan pikiran yang menyangsikan terhadap penyelenggara pemilu. Alih-alih demokrasi konsslidasional atau substansial seperti yang saya maksud di atas, tapi dalam teknis penyelenggaraan seringkali dipersoalkan. Ada persoalan penyelenggaraan yang terseok-seok. Misalnya, dalam melakukan tahapan-tahapan pada isu-isu yang substansial seperti Daftar Calon Tetap (DCT) dari Daftar Calon Sementara (DCS),  lalu dari Daftar Pemilih Sementara (DPS) ke daftar Daftar Pemilih Tetap (DPT), lalu pada konteks sosialisasi pemilu maupun penandaan pemungutan suara, itu teknis-teknis penyelenggaraan yang sebenarnya sangat bisa mengarahkan pada demokrasi substansial tadi. Sayangnya, terdapat keragu-raguan publik yang sungguh kuat: apakah pemilu yg digelar oleh KPU akan mengarah kesana atau tidak. Pada rapat konsultasi antara DPR dengan presiden yang dihadiri juga oleh pemangku kepentingan dalam penyelenggara pemilu, keragu-raguan itu sungguh menguat. Presiden misalnya pada forum itu mengatakan bahwa laporan-laporan masyarakat yang secara resmi diterima melalui meja presiden masih pada taraf menyangsikan; akan bagaimana logistik pemilu akan di deliver tepat waktu dan tepat sasaran, juga sosialisasi-sosialisasi yang menurut perasaan umum masih kurang. Padahal kita tahu, pemilu 2009 berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2008 ini ada perubahan cara melakukan pemungutan suara. Suka tidak suka bahwa identifikasi pemilu sebagai "pencoblosan" sekarang ini harus diubah menjadi "penandaan". Padahal penandaan itu kan harus mengubah paradigma dari pemilu pencoblosan menjadi pemilu penandaan; Mengubah tradisi yang telah berlangsung 50 tahun lebih sejak Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilu tahun 1955. Sekarang dalam waktu yang sangat singkat, pada hari ini, 96 hari menuju hitung mundur pemungutan suara, penguatan terhadap penandaan itu belum tampak. Belum tampaknya ini terkait dengan besarnya orientasi untuk mengubah paradigma, sementara pada saat bersamaan tidak diikuti oleh soialisasi yang gencar. Sangat mungkin akan terjadi, mereka yang memiliki hak pilih, maksudnya adalah untuk memilih tapi bisa terganjal oleh karena persoalan teknis tadi. Ini adalah persoalan pengetahuan umum yang belum merata. Lalu pada konteks yang lebih besar lagi bahwa manajemen penyelenggara pemilu harus diubah. Bawaslu sebagai pengemban tugas, kewenangan dan kewajiban pelakukan pengawasan terus mendorong agar demokrasi ini paling kurang pada peningkatan demokrasi prosedural saja harus ditingkatkan terus. Lagi-lagi kita sungguh kecewa melihat kecenderungan dan perkembangan: demokrasi substansial yang kita maksudkan boleh jadi akan semakin tertunda, karena jelas untuk urusan yang masih sangat teknis tadi, penyelenggara pemilu masih keteteran. Bawaslu dan para pengawas di seluruh tanah air mendorong agar semua proses ini mengarah pada penyempurnaan, sekalipun hanya konteks demokrasi prosedural saja. Kita melakukan pengawasan yang sungguh ketat. Ada 3 pendekatan pengawasan yang kami lakukan: 1. PENGAWASAN AKTIF Kami dorong kepada Panwaslu di seluruh tanah air agar lebih banyak lagi menemukan pelanggaran-pelanggaran. Tidak saja pelanggaran yang kemudian dilaporkan oleh masyarakat, pemilih dst. Tapi juga menemukan sendiri. Karena kalau mengandalkan pada laporan masyarakat saja agak sulit. Seperti pada pemilu tahun 2004, dari seluruh pelanggaran pemilu, hampir 80 %  adalah hasil dari temuan aktif. Jadi ada pengawasan aktif, ialah ketika panwas menemukan karena hasil kerja keras mereka sendiri. 2. PENGAWASAN PASIF Pengawasan pasif adalah pengawasan yang mengandalkan laporan pengaduan masyarakat. 3. PENGAWASAN PARTISIPATIF Untuk pemilu tahun 2009 ini Bawaslu menggariskan pengawasan partisipatif. Kami punya kesepatakan dengan 11 lembaga atau LSM terkemuka di republik ini dalam melakukan pengawasan. Kami juga menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pengawasan dana kampanye. Untuk pengawasan terhadap media massa kami sudah melakukan kerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pengawasan media massa itu sendiri ada 3 jenis, yaitu: pengawasan terhadap pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye. Kita juga melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi. Dalam bulan Januari ini kami berharap bisa segera mewujudkannya. Mari kita berdo’a, agar pemilu 2009 ini dapat berjalan lancar dan memiliki kualitas-kualitas sebagai demokrasi konsolidasional atau substansial.