Media: Manunggal
Edisi: September-Oktober 1998
Dibandingkan dengan kota Jakarta dan Solo, gerakan reformasi di Semarang tempo hari relatif ?damai?. Maka peristiwa ?Kamis Kelabu? tidak dikenal di daerah ini. Pada kota yang disebut pertama, tuntutan reformasi disertai penjarahan, pem-bakaran, dan bahkan pemerkosaan telah terjadi sedemikian eskalatif dan kualitatifnya.
Ada beberapa analisis mengapa Jakarta dan Solo ?lain? dengan Semarang. Pertama, dengan meminjam teori ?blaming factor? dari Dahrendorf tersebut, di kota Semarang tidak terdapat target-target amuk massa secara langsung. Dahrendorf menyatakan bahwa salah satu yang memperlancar terjadinya amuk massa adalah terdapatnya simbol-simbol yang mempresentasikan ?pihak yang harus dihancurkan?. Seperti kota Solo, terdapat ?istana? Kalitan, Keraton Mangkunegaran, Istana Giribangun, Mangadeg, yang hampir semuanya ?berbau? rezim Soeharto; sementara tuntutan reformasi dari massa mahasiswa-rakyat di kota itu dan di kota-kota lainnya adalah bagaimana meruntuhkan lambang-lambang Soeharto. Asumsi ini diperkuat ketika pada tanggal 21 Mei 1998 manakala Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Presiden, maka ribuan massa warga kota Solo tumplek blek turun ke jalan menyatakan kepuasannya, di samping yang tidak sedikit mengekspresikannya dengan gundul kepala dan sujud syukur.
Sementara kota Semarang amat miskin dalam persoalan ini. Pada kota itu hampir dipastikan kaya dengan lambang-lambang pemerintahan, oleh karena memang Semarang pusat pemerintahan Jawa Tengah; namun ini bukan alasan karena siapapun bahwa lambang kekuasaan negara dan pemerintahan seperti Gedung Berlian DPRD dan gubernuran tidak sendirinya identik dengan lambang-lambang kekuasaan Soeharto.
Kedua, kota Solo belakangan ini memiliki pergerakan kemahasiswaan yang konsisten, dengan derajat dan kualitas radikalisme yang memadahi. Dengan meminjam istilah Aswab Mahasin (1989), kota Solo memiliki tiga masalah dasar dalam gerakan mahasiswa, yakni basis massa, basis ideologi dan tematik, serta sofistikasi dalam organisasi, strategi, dan taktik pergerakan kemahasiswaan dan kerakyatan.
Basis massa
Hampir dua dasawarsa terakhir ini kota Solo menjadi pusat pergerakan mahasiswa yang cukup penting. Demonstrasi yang dipelopori kalangan mahasiswa dan pemuda yang menuntut otokrasi kekuasaan serta aparatur-aparaturnya begitu marak dan making news di berbagai media massa cetak maupun elektronika. Yang bisa saya catat, sejak kasus Mambaul Ulum (1989), pernyataan keluarnya beberapa organisasi pemuda (OKP) Cipayung dan keanggotaan KNPI, serta protes pembangunan waduk Kedung Ombo yang dipelopori kalangan mahasiswa dan pemuda. Tidak hanya itu kota Solo juga menjadi kota terpenting dari lahirnya Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) dan Persatuan (kemudian bermetamorfosis) menjadi Partai Rakyat Demokrat (PRD), dalam mana kampus-kampus UMS dan UNS menjadi kontributor khususnya para mahasiswa dari serangkaian aksi-aksi radikalisme.
Tidak hanya kalangan mahasiswa belaka. Di kota Solo, posisi ?kelas menengah? memiliki peranan signifikan yang lumayan memadahi dalam usaha pendidikan politik.
Pertama, peranan lembaga ?Kelompok Studi Mangkubumen? (KSM) yang secara rutin menyelenggarakan diskusi dwi mingguan, yang dengan intens mengkaji berbagai teori-teori yang nggegirisi. Untuk ukuran waktu itu, mengangkat tema Marxisme, Kiri Baru (new left) Teologi Pembebasan, adalah tema-tema yang menantang bagi aktivis dan sekaligus menakutkan bagi mahasiswa lainnya. Lembaga yang dipelopori dan sekaligus difasilitasi oleh M.T. Arifin ini, tokoh sentral KSM memiliki banyak ?murid? dari berbagai kota di seputar Solo dan termasuk Semarang ini.
Kedua, tokoh dari kalangan lebih mendukung akselerasi penyadaran berpolitik, berdemokrasi, dan ber-HAM. Tentu kita masih ingat ketika penyair rakyat sekaliber Widji Thukul dan Godjek Joko Santoso--yang pertama ?hilang? (missing person) sejak demonstrasi buruh di pabrik tekstil Sriteks milik Harmoko, yang kedua adalah wartawan Suara Merdeka biro Surakarta yang sudah almarhum--, M.T. Arifin dan Mudrik M. Sangodoe, adalah garansi nama dari gerakan-gerakan perlawanan rakyat kota Solo kontemporer yang bisa dibilang tidak kecil sebagai wakil ?kelas menengah? dalam kontribusinya bagi akselerasi tersebut. Segala kemungkinan tersebut ditambah dengan keberadaan ?mimbar ekspresi? yang setiap malam ditampilkan sebagai pertunjukan yang memberikan kesadaran politik bagi warga kota, semisal dipentaskannya teatrikal-teatrikal politik di kota ini.
Basis ideologi
Dengan memberikan legitimasi pada pemerintah, ideologi menjadi pembenar (justification) status quo. Tetapi ideologi sekaligus dapat juga dipakai oleh kaum pembaharu (reformis) untuk menyerang status quo itu. Dalam konteks ini, elit politik di luar pro-status quo, melegitimasikan aksi-aksi kekerasan sendiri dengan mengajukan prinsip-prinsip dari hukum alam (Greene, dkk, 1984). Pada kasus ?kamis kelabu?, turunnya Pak Harto sudah seharusnya memenuhi hukum alam (sunatullah) seperti kata Amien Rais berkali-kali dalam banyak kesempatan. Artinya, sesuai keudzuran anak-manusia, pada galibnya, modernisasi menentang kelambanan bertindak demi produktifitas; sementara orang-orang yang sudah ?sepuh? seperti Pak Harto sudah diambang melawan hukum tersebut. Pernyataan ini adalah ?ideologis?, oleh karena dalam empiris sejarah, ketuaan dari segi usia tidak berbanding lurus dengan persoalan status quo. Mengapa? Karena status quo adalah kepentingan, sedangkan ?ideologi? yang didesakkan oleh kaum reformis adalah untuk menentang kemapanan tersebut.
Ideologi gampang menghinggap pada semua kalangan manakala realitas amat mendukungnya. Dalam buku ?Ideologi-Ideologi Politik?, Greene menandaskan bahwa dengan memberikan sebuah dasar etik untuk implementasi kekuatan politik ideologi, juga membantu dalam menyatukan ideologi negara atau pengikut politik dari sebuah gerakan yang mencoba merubah negara. Ideologi mempermudah komunikasi simbolis, antara pemimpin dengan yang memungkinkan para warga ideologi untuk berjuang menghancurkan lawan ideologi.
Pendalaman terhadap ideologi membangun ?kesadaran kelas?. Kesadaran kelas akan terbentuk bila deraan pikiran dengan ajaran-ajaran terinternalisasi dalam sanubari individu, dan akan menemukan daya ledaknya (eksploisif) manakala menemukan realitas sosial-nya.
Menurut Mahasin (1989: 6), hal ini pun masih didukung oleh dua faktor: pertama, ideologi keagamaan. Kedua, faktor keadilan sosial. Semakin dalam keyakinan terhadap ideologi, akan semakin represif lingkup aksinya, oleh karena yang dicari adalah terutama kepuasan sentimen massa. Dalam hal ini tindakan (aksi) bukan terutama ditujukan untuk perubahan keadaan, tetapi lebih-lebih untuk memuaskan hati dan pelanpiasan kekecewaan (katarsis) belaka.
Sofistikasi Gerakan
Pola gerakan mahasiswa hingga seperti dewasa ini, pertama-tama dimulai dari pola gerakan dari kelompok-kelompok yang kohesif, baik berupa kelompok studi, perkumpulan mahasiswa, remaja masjid, atau yang berbasiskan organisasi-organisasi profesi. Dari inti tadi, kemudian berkembang dan membentuk pola yang kedua, yakni dengan menjamurnya LSM-LSM. Muara dari kedua pola gerakan itu, sebenarnya membentuk komunitas yang melebar dan membangun kesadaran masyarakat yang beradab (masyarakat madani, civil society). Dengan kata lain, mula-mula gerakan mahasiswa harus dipelopori oleh kelompok atau individu yang secara khusus membidani persoalan-persoalan aktual, dengan analisis dekonstuksi terhadap kemapanan. Kelompok ini dalam masalah gerakan mahasiswa, suka disebut dengan creative minority.
Para pemeluk creative minority ingin menulangpunggungi setiap gerakan mahasiswa dan rakyat. Termasuk, saya kira, di kota Solo juga. Identivikasi mereka jelas. Pertama, pada setiap demonstrasi mereka yang maju pada front terdepan, tidak saja secara presentasi dalam setiap kali demo lebih militan namun juga dari segi konsepsional, mereka lebih matang. Dipersiapkan infrastruktur demo seperti apakah diperlukan keranda kematian demokrasi misalnya; ataukah advokasi seandainya ada peserta yang diciduk aparat keamanan, dst. Saya mencatat untuk aktivis demonstrasi di Solo lebih terorganisir. Kecuali untuk anak-anak SMID dan PRD, para demonstran di Semarang tempo hari terasa kurang ?profesional?. Meskipun jumlahnya ribuan, ?tumplek blek? di simpang lima dan DPRD Tingkat I Jateng, merasa relatif tidak memenuhi persyaratan seperti yang terjadi di Solo tersebut. Bahkan sering massa mahasiswa Semarang adalah para mahasiswa bergincu. Paling banter berani demo-nya dilingkungan kampus, atau setelah dirasa ?aman? karena melihat di luar kota Semarang aman-aman (tidak ditangkap aparat), maka mereka baru berani dengan massa dan ikut-ikutan dengan yang lain; atau demo pakai motor seperti dalam setiap kampanye pemilu.
Meski kurang profesional, namun tidak harus diartikan secara negatif, justru ini patut dibanggakan. Pertama, saya kira sebagian besar dari mereka adalah para mahasiswa yang betul-betul murni karena keinginan hati (itikad baik). Dengan miskinnya koneksitas seperti rekanan mahasiswa lainnya di beberapa kota, jaringan kerja demonstrasi mereka bisa dipastikan karena merefleksikan dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, bahwa rakyat dan dirinya diambang ?kehancuran?. Kedua, oleh karena itu, tuduhan bahwa mereka ditunggangi, direkayasa, dan dicampuri pihak ketiga pupus dengan sendirinya.
Wajah Semar
Ketiga, faktor kinerja politik dari elit kepemimpinan formal di kota Semarang ini. Walau bagaimanapun kota Semarang, selai persoalan kinerja politik, pucuk pimpinan Jawa Tengah yang sering disebut mahasiswa sering membuat proyek-proyek mercusuar dengan biaya besar semacam wisma perdamaian, rencana pendirian gedung PWRI di taman KB, konfliktual antara penguasa dengan rakyat-mahasiswa, relatif tidak signifikan. Dalam persoalan manajemen kota, figur pucuk kepemimpinan kota Semarang ini, misalnya ? tanpa saya berusaha menyanjung ?, saya pikir memenuhi admire leader untuk kota ini. Mengutip ahli manajemen, Kauzes dan Posner dalam buku Credibility, kepemimpinan dengan karakteristik tersebut memiliki empat persyaratan; honest, forward looking, inspiring, dan competence. Tidak harus memang bahwa semua itu menjadi kerja figur tertentu, tetapi sejak awal kepemimpinan regional ini yang mau merekrut orang-orang di luar sistem semisal Arif Budiman, Darmanto Djatman, Eko Budiharjo, Novel Ali, dan seterusnya, untuk diajak ngomong tentang kotanya, pada hemat saya, amat menentukan kekompakan determinisme kemajuan kota ini.
Dengan kerangka yang demikian, maka mahasiswa bergerak pun tak tega untuk merusak fasilitas kota, sementara kalau kita bayangkan, betapa ngerinya para mahasiswa yang ribuan di depan masjid Baiturahman untuk kemudian, secara tiba-tiba melempar batu ke arah komplek Mall Ciputra dan Matahari.
Tipikal kepemimpinan dengan filosofi semarlah yang diperlukan dewasa ini dalam memimpin Indonesia. Seperti diketahui, Semar adalah figur dalam cerita wayang yang tidak saja berdimensi mithos dan legenda politik, namun lebih dari itu, ia adalah figur yang menimbun kekuatan karismatik yang dibangun bukan karena instrumen kekuasaan politik status quo, tetapi justru oleh wajah santunnya orang ndesit (deso).
?
Nur Hidayat Sardini, Staf Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Diponegoro Semarang.