Jalur Hukum Bagi Suharto

Kamis, 17 September 1998 , 19:37:09 WIB
Jalur Hukum Bagi Suharto
Media: WAWASAN Tanggal: Kamis, 17 September 1998 Untuk kali pertama, sejak lengser keprabon pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto angkat bicara. Namun, debut pertama yang dimaksudkan untuk mengklarifikasi polemik persoalan harta Soeharto bersama putra-putri serta konco-konco (crony) nya, justru mengundang polemik lanjut. Maksud Soeharto jadi tidak efektif, bahkan boleh dibilang gagal total. Buat saya, setidaknya ada dua catatan atas keterangan singkat Soeharto di layar kaca TPI, pada Minggu malam (6/9/98) tersebut. Pertama, komunikasi dan klarifikasi politik yang gagal. Tidak saja media, yang dipakainya adalah TPI milik anak kandungnya, -- dan bukannya keempat stasiun TV lainnya sehingga dianggap ada aspek pemerataan dalam (akses) informasi dan komunikasi, -- juga dengan dipergunakannya medium televisi dan tidak seperti bentuk konferensi pers, kemungkinan debatble antara diri Soeharto dengan kalangan pers, sehingga persoalan-persoalan yang selama ini dituduhkan kepadanya, tidak menjangkau niatan Soeharto semula. Komunikasi (politik) justru jadi bumerang, karena dari keterangan singkat tersebut snow ball effect makin membesar. Dengan demikian, klarifikasi (politik laundry) Soeharto gagal total. Kecuali reaksi positif dari Jaksa Agung Andi M. Ghalib, rasa simpati rakyat bukannya datang. Malah ada anggapan, bahwa Soeharto masih merasa dirinya ?Presiden?, yang selama Orde Baru berkuasa ?tidak pernah berani? berkomunikasi secara langsung, tanpa rekayasa, dengan rakyatnya. Anggapan ini mengecualikan tiga momentum yang selalu dipakai Soeharto untuk berkomunikasi dengan publik selama jadi presiden. Pada akhir bagian tulisan ini saya kedepankan contoh-contoh dimana Soeharto mempergunakan medium-medium komunikasi dengan rakyatnya. Kedua, dalam keterangannya Soeharto sempat menantang kepada publik Indonesia agar jangan asal main tuduh saja. Kita ditantang untu membuktikan bahwa ia memiliki kekayaan di luar negeri. Terhadap tantangan ini, sebenarnya tugas aparat hukumlah untuk membuktikannya. Data-data yang disodorkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), kalangan LSM , juga individu-individu seperti Geroge Junus Aditjondro dari Australia, bisa dianggap sebagai masukan (draft) yang amat berharga. Sudah ada batasan memang apa itu definisi KKN, juga siapa-siapa di antaranya yang selama ini ber-KKN ria itu. Serta rekomendasi untuk seluruh departemen pemerintahan ?dimana keluarga Cendana dan kroninya terlibat kolusi?pun sudah digariskan (beleit) Menko Wasbang/PAN di bawah Ir Hartarto. Seperti telah diberitakan, proyek-proyek yang melibatkan ?PPP? (Putra Putri (bekas) Presiden)dengan BUMN pun telah banyak ditinjau ulang. Namun selama ini lagi-lagi penyelidikan mentok di depan figur Soeharto. Dan kinilah saatnya BJ Habibie, yang pernah menganggap Soeharto sebagai guru besar politiknya untuk membuktikan, bahwa dia tidak lagi ewuh pakewuh untuk memeriksa kekayaan Soeharto. Masyarakat sungguh-sungguh menunggu hasil kerja tim pemeriksa yang diketuai Jaksa Agung Andi M Ghalib. Selain dimaksudkan sebagai tindakan atau kebutuhan sebagai negara hukum, penyelidikan itu penting. Bahkan teramat penting pada suasana di mana rakyat tengah diancam kemiskinan. Selama ini aparat (Kejagung) berdalih, -- seperti yang ditandas Soeharto juga di televisi tempo hari itu --, bahwa dirinya dan keluarganya tidak memiliki kekayaan sepeserpun di luar negeri. Pernyataan ini jelas tidak bisa dijadikan dalih untuk menghentikan legal and financial audid atas semua yayasan yang dipimpin anak Desa Kemusuk Yogyakarta itu. Di Jateng ini saja, sudah ada dua bupati yang dicopot gara-gara tuduhan KKN. Mungkin, beberapa di antaranya bakal menyusul. Seorang Soeharto, figur Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun tanpa kontrol, tentu lebih memungkinkan untuk ?berbuat apa saja?. Soeharto bukan malaikat. Bersam anak-anaknya, imperium bisnisnya ia bangun. Ada sekitar 200 perusahaan yang anak-anak miliki. Belum yayasan-yayasan yang ia kelola. Akankah itu belum cukup menjadi bukti, atau setidak-tidaknya mendorong pihak Kejagung mengungkapnya. Sesuci itukah Soeharto untuk tidak menggunakan satu sen pun dana yang ia pakai untuk setidak-tidaknya membangun ?Istana Kalitan?, ?Mangadeg?, atau ?Peternakan Tapos?? Rakyat Indonesia tentu tidak sebodoh itu untuk dikelabuinya. Mata batin rakyat, tentu tidak buta dan tuli (summum bukmun umyun) ? seperti kata Al-Qur?an. Jangan-jangan kalimat itu diarahkan kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, pengusutan untuk kemudian memejahijaukan Soeharto, malah akan menambah kepercayaan rakyat. Sejak diumumkannya kriteria KKN dan penuntasan bank-bank bermasalah belakangan ini saja, nilai rupiah kembali menguat hingga pada titik sepuluh ribuan per dolarnya. Meski belum diikuti oleh atau terkendalinya harga-harga sembako khususnya beras dan minyak goreng (dan apalagi sektor riil), konkretisasi tindakan diyakini makin menambah atau menuju ke arah perbaikan perekonomian kita. Sesungguhnya, Pasal 27 UUD 1945 memfasilitasi bagaimana krisis moneter dan politik bisa diatasi. Kata kuncinya, selalu saja pada penegakan dan kepastian hukum. Manfaat mengadili Soeharto Yang terang, kepastian hukum bakal didapat seandainya Soeharto diadili. Tentu saja proses peradilan yang fair. Dengan prosesi dimaksud, kita menangkap kesan tiga hal. Pertama, justru ingin menyelamatkan muka Soeharto secara beradab. Secara terus terang, pribadi saya kasihan kepada Pak Harto. Di sebuah negara yang orang Barat menyebutnya negara ramah tamah (kindness society) ini, bagaimana bisa pribadi seorang (mantan) Kepala Negara-nya bisa di-udhal-udhal dan digugat habis-habisan secara terbuka. Lantas dikemanakan adat ketimuran kita? Maksud Pak Harto untuk lengser keprabon dan madeg pandhito serta keinginannya untuk brkumpul dan mengasuh putra-putri serta cucu-cucunya agar bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara, -- seperti kata Pak Harto di Mesir bulan April 1998 lalu ? seharusnya konsistensi dengan tindakan-tindakan Pak Harto sendiri. Barangkali Pak Harto justru yang memulainya. Kalau mengandalkan Jagung, Habibie, serta orang-orangnya di ABRI, perasaan ewuh pekewuh masih melekat. Sebagai seorang negarawan, Pak Harto dimohon Ilegowo. Dengan tindakan menyediakan dirinya untuk datang diperiksa di Kejagung, diadili, saya yakin rakyat belum tentu tidak simpati. Sebagai pemeluk Islam, Haji Mohammad Soeharto semestinya tahu nash di dalam Al-Qur?an, bahwa permaafan Allah SWT diakhirat kelak tergantung dari permaafan saudaranya. Lembaga permaafan yang hingga hari ini dianggap fair oleh masyarakat beradab, adalah lembaga peradilan. Justru akan bangga bahwa biarpun beliau telah berkuasa dan besar dengan kekuatannya, toh masih sempat-sempatnya mau menghormati lembaga peradilan. Mau diperiksa dan mempertanggungjawabkan semua tindakan selama berkuasa di Pengadilan dan SI MPR lagi. Kedua, dengan proses peradilan yang fair atau nanti pada SI MPR (kalau terjadi), semuanya akan menjadi jelas. Kalau masih seperti sekarang, di mana masing-masing orang memiliki caranya sendiri, persoalan yang menyangkut bangsa ini tidak akan pernah rampung sampai kapan pun. Kalau rakyat demo,bergejolak, dan menjarah itu pertanda bahwa selama ini kanalisasi aspirasi tidak terjadi. Penguasa memiliki agendanya sendiri: KKN, arogan, dan  memperlihatkan aksesitas politik dan ekonomi (demonstration effect)- nya. Jelas-jelas itu diperlihatkan kepada rakyat selama 32 tahun ke belakang. Agenda rakyat adalah ketergusuran, kemiskinan, keterbelakangan, serta ketidakadilan. Dua komponen bangsa ini terputus oleh ?kesibukan? masing-masing. Bahkan ada kalanya di mana yang pertama berpesta di atas bangkai pihak yang kedua. Kasus Amungme di Irian Jaya, bisa menjadi contoh yang baik. Komunikasi (politik) terputus. Ketika keterputusan komunikasi dimaksud disadari kini, maka sudah seharusnya bilamana Institusionalisasi diefektifkan. Dibutuhkan medium yang bisa memediasi di antara kedua kepentingan. Lembaga itu harus memiliki sejumlah persyaratan: integritas dan moralitas, aksessabilitas di semua kalangan, dan yang paling penting adalah yang diterima dan dipercaya rakyat. Bentuk lembaga itu, boleh SI MPR 1998 kelak, atau lembaga Peradilan. Pak Harto bisa dihadapkan pada keduanya. Ketiga, apa yang menimpa Bung Karno ternyata belum dianggap selesai hingga kini. Lihat saja polemik di seputar Supersemar. Biang persoalannya, bangsa ini tidak secepatnya menyelesaikan setiap persoalan-persoalan besar (causa prima)-nya. Jangankan yang besar-besar, yang ?kecil-kecil? seperti kasus Marsinah, Udin, Tjetje Tadjudin, kasus Pak De, bangsa kita kedodoran menuntaskannya (dark number). Bahkan terkesan sekedar menyelamatkan segelintir, dua-tiga muka orang, untuk kemudian mengorbankan keseluruhan warga bangsa ini. Bom waktu ini akhirnya terjadi. Persoalan multi krisis dewasa ini, saya kira, adalah ibu dari segala masalah (mother of problem) yang terakumulasi selama 32 tahun ini. Bahkan persoalannya sudah berkembang ke arah disintegrasi bangsa. Permintaan separatisasi rakyat Irian dan Aceh dari kesatuan republik, yang kemudian di respons secara positif oleh Pemerintahan BJ Habibie untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, adalah wujud di mana kekhawatiran perpecahan itu sudah menemukan bentuknya. Akankah kita perpanjang daftar itu dengan melewatkan momentum sistem peradilan yang baik, SI MPR 1998, sekalian kita menunggu kehancuran yang lebih besar? Nampaknya jiwa besar HM Soeharto, BJ Habibie, dan seluruh komponen dari warga bangsa ini sedang diuji. Sekali-kali bolehlah HM Soeharto belajar dengan roh Tai Wu dan Chun Do Hwan; BJ Habibie boleh meniru Kim Joung Sam; dan rakyat Indonesia boleh belajar terhadap Korea Selatan yang memaafkan kedua mantan presidennya itu. Namun lagi-lagi BJ Habibie dan HM Soeharto harus memulainya terlebih dahulu, baru menyusul rakyat Indonesia. (Nur hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang)