Media: WAWASAN
Hari/Tanggal: Jum?at, 25 September 1998
Seperti dikutip oleh pers, dalam rangka mencari legalitas, Jaksa Agung Andi M Ghalib di depan para anggota Komisi I DPR RI menyatakan bahwa dirinya akan meminta surat kuasa langsung kepada mantan Presiden Soeharto. Dengan surat kuasa tersebut, Kejagung akan segera mencari harta kekayaan Soeharto di luar negeri. ?Saya akan minta izin Presiden Habibie, supaya Pak Harto bisa memberikan surat kuasa kepada saya atas pernyataan beliau di televisi. Nanti surat kuasa itu saya bawa keliling dunia, untuk mencari dimana kira-kira ada simpanan Pak Harto. Kalau memang ditemukan, akan diambil negara untuk kepentingan rakyat,? (wawasan, 22/9/98).
Terhadap pernyataan tersebut setidaknya dalam pandangan saya, betapa pihak Kejagung terkesan ?tidak serius? untuk mengusut harta kekayaan Soeharto. Dari ucapan kalimatnya saya mengundang orang untuk berkomentar.
Pertama, apakah surat kuasa tersebut diperlukan dan harus datang Soeharto sementara seorang Soeharto justru adalah objek dari pengusutan itu sendiri? Tidakkah bahasa hukum yang dipakai Jagung mengingkari asas kewenangan institusional yang melekat pada Jaksa Agung yang karena berdasarkan otoritas kewenangan lembaganya ia secara langsung bisa bekerja untuk mengusut Soeharto?
Kedua, secara riil politik harus diakui betapa Soeharto masih menyimpan kekuatan politik yang luar biasa (power full) sehingga perlu-perlunya Jagung harus meminta surat kuasa (beleit) kepada seorang warga negara biasa; sementara sering diakui sendiri oleh Akbar Tandjung dalam beberapa keterangan Pemerintahannya dan siapapun orang yang melek secara politik hukum bahwa Soeharto kini adalah warga negara biasa yang menurut UUD 1945, adalah sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan? Ini belum termasuk untuk menjelaskan fakta betapa yang datang menyelidiki adalah tim jaksa dan bukannya Soeharto yang datang ke Kejaksaan Agung. Atau jika melihat kasus Ratna Sarumpaet yang diuber-uber polisi, malah tim Jaksa Agung dan Menko Wasbang/PAN yang datang ke Cendana, serta kedatangannya malah pada malam hari. Diskriminasi hukum terlihat jelas di sana.
Dengan dua pernyataan tersebut, makin memperpanjang daftar pesimisme dari kaum reformis seperti Amien Rais dan kebanyakan rakyat bahwa pengusutan terhadap Soeharto tidak akan berhasil, dan bahkan dalam konteks masa depan reformasi itu sendiri justru membahayakan bagi Indonesia Baru yang transparan, aspiratif, dan yang menempatkan hukum sebagai panglima. Dan bukan tindakan politis sebagai tujuan politik (main politik) dari setiap sangkaan tindakan pidana korupsi seperti yang jamak dipraktikkan oleh rezim Soeharto. Jangan-jangan ini episode baru dari drama penyelesaian kasus korupsi sejak kasus Bank Duta, Jamsostek, Dana Reboisasi (DR), dan banyak kasus-kasus korupsi lain era Orde Baru, yang penyelesaian akhirnya selalu ditutup dengan ?kebaikan? (political will, good will) sang patron Soeharto.
Reformasi, diambang kehancuran
Kata reformasi memang ?menjanjikan?. Setidaknya paruh pertama tahun ini saja, kata-kata itu menjadi azimat bagi orang untuk menumpukkan harapannya. Si pencetusnya juga tidak main-main, Amien Rais, bersama koleganya yang sebagai wakil kaum pintar di Indonesia ini. Namun, tidak semua ?mengerti? sungguh-sungguh akan makna di balik reformasi itu. Terutama yang berada di jajaran birokrasi, militer, dan yang pro status quo, masih ada saja kalimat-kalimat: ?reformasi itu harus gradual, konstitusional, bertahap, dan tepat arah?. Manis betul kalimat itu, namun isinya jauh api dari panggang.
Persoalannya bukan mereka tidak mengerti. Kekuasaan dan kepentingan merekalah, yang lebih mengecualikan kepentingan rakyat. Siapa tahu, ketika orang fasih bicara soal reformasi, ia sendiri bakal dapat berkah dari mantra reformasi.
Analogi itu yang ingin saya kedepankan, betapa Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah BJ Habibie itu memanfaatkan berkah reformasi. Namun, refleksinya jauh dari maksud sejatinya. Karakter utama Pemerintahan Habibie, sejak semula diyakini sebagai seri terbaru dari Orde Soeharto. Daftar panjang bisa saja dikedepankan. Ujung-ujungnya, cita rasa sense of crisis yang tidak dimilikinya. Nah, ketika orang mendesak agar Habibie mengusut Soeharto, selain karena persoalan Psikologis, juga bisa dijelaskan dalam kerangka latar belakang karakter tersebut. Eksplanasi lebih lanjutnya sebagai berikut.
Seperti diketahui bahwa Habibie adalah murid terbaik Soeharto. Ini terjemahan lebih lanjut, seperti pengakuan Habibie yang menganggap bahwa Soeharto adalah profesor politiknya. Oleh karena itu Habibie tidak ingin dijuluki sebagai murid ?murtad? Soeharto. Beban psikologi jelas ada di pundak Habibie. Namun, begitu Habibie jadi Presiden langsung didesak rakyat untuk melakukan reformasi secara total, termasuk salah satu misinya adalah menghapus KKN keluarga Cendana.
Demi menyelamatkan kelangsungan politiknya ia memerankan ambiguitas politik, dan bahkan ada kalanya politik ?belah jambu? juga. Artinya, sewaktu-waktu ia mengangkat ?sesuatu yang lebih besar? sementara di sisi lain ia ?menginjak? kepentingan rakyat yang lain. Di saat yang lain, dalam kerangka karakternya, ia menyenangkan hati rakyatnya. Semua tuntutan yang segmentaris, tidak substansial, sekedar bunga-bunga kekuasaan, apapun dilakukannya. Secara keseluruhan, selama seratus hari lebih kabinet Habibie, kinerja politiknya mencirikan di seputar demikian.
Premis itu pula yang memfasilitasi penjelasan mengapa BJ Habibie merasa ditantang ketika klarifikasi Soeharto di saluran TPI tempo hari. Soeharto bilang bahwa dirinya tidak memiliki satu sen pun uang yang di simpan di luar negeri, sekalian menantang publik untuk membuktikannya. Mula-mula Habibie tidak bergeming dengan tantangan itu. Namun menguatnya desakan rakyat, memaksanya untuk membentuk sebuah tim penyelidikan yang diketuai oleh Jaksa Agung.
Tentu saja kita bangga dengan apa yang diperkuat Habibie berkaitan dengan pegusutan terhadap mantan Presiden. Mengapa? Karena di sinilah kita bisa menancapkan tonggak (starting point) penegakan hukum, yang seorang mantan Kepala Negara bisa dituntut di muka hukum. Presiden baiknya tentu bisa kita rasakan di belakang hari. Akan tetapi, jika langkah awal tersebut tidak terpraktikkan secara memadahi, kurang transparan, diskriminatif, atau sekedar memenuhi hasrat emosi dari publik dan tantangan Soeharto, justru mudlarat-nya bakal mengecualikan maksud baik semula.
Gejala sekedar memenuhi euphoria rakyat boleh jadi memang penting. Seperti terlihat dari pernyataan Ketua DPA. Seperti yang dikutip pers, Baramuli menyanggah keras terhadap tuduhan bahwa Presiden Habibie takut jika terpaksa harus memeriksa mantan Presiden Soeharto. ?Tidak benar itu. Saudara nanti bisa lihat, besok atau lusa, katakanlah dalam minggu ini, Habibie tidak takut memeriksa mantan Presiden Soeharto. Tidak benar itu tuduhan orang,? Kata pria yang sering dijuluki sebagai ?he is quite a character? itu.
Bahaya
Produk hukum kerja tim pemeriksaan, karena latar belakang emosional tersebut, dengan sendirinya mengesankan dua hal. Pertama, ia merupakan wujud dari kerja reformasi yang tidak substansial. Reformasi itu tidak menyentuh akar persoalan. Biang multi krisis yang tengah kita alami dewasa ini, salah satunya, karena menghindari perombakan struktural-fundamental atau rusuk kekuasaan yang selama 32 tahun di akrobatkan di depan rakyat.
Agaknya saya berbeda pendapat dengan pengertian reformasi dari kalangan militer yang sering mendefinisikan istilah reformasi sekedar sebagai ?menggantikan kulit kekuasaan?: artinya boleh orang diganti, namun sistem (politik dan ekonomi)-nya tetap dipertahankan. Model reformasi tersebut melupakan pengertian dari sistem itu sendiri. Dalam sistem, tiga komponen mesti dikedepankan: struktur, pranata, dan budaya.
Apa yang dianjurkan oleh pemikiran model ?kulit kekuasaan? tidak memenuhi kriteria fundamental. Padahal, sekali lagi, persoalan multi krisis ini kini lebih dilatarbelakangi oleh kesisteman. Bukan semata-mata orang per orang. Siapa bisa menjamin jika orang yang diganti, Indonesia bisa bertambah baik. Di negara yang telah memiliki tradisi demokrasi, kekokohan sistem jauh lebih substansial daripada sekedar membicarakan figur kekuasaan.
Kedua, membahayakan masa depan demokratisasi di Indonesia. Karena perkara orangnya, maka reformasi setengah hati akan datang lagi. DR Ali Syariati, mengatakan bahwa perubahan masyarakat-negara dijamin menuju kualitas kehidupan yang lebih baik tat kala fundamental kehidupan itu ditangani secara tuntas. Jika tidak, maka siklus berputar gerakan tuntutan (cyclical movement) dari rakyat akan senantiasa terjadi.
Jika demikian, betapa bangsa itu hanya akan kehilangan banyak waktu dan energi sehingga mengecualikan tujuan-tujuan pembangunan nasional-nya. Oleh karena itu Syariati merekomendasikan agar momentum untuk setiap kali merevisi kehidupan politik hendaknya diefektifkan secara maksimal. Istilahnya adalah aksidentalisme seperti hari-hari besar nasional atau peristiwa gejolak kekerasan sudah semestinya diambil pelajaran betapa itu adalah (semacam) evaluasi bagi para pemimpin negara. Elit politik dan negara tersebut harus terdepan dalam mempelopori evaluasi, merevisi, dan merefleksi bagi tujuan-tujuan ke arah perbaikan. Di situlah, saya kira, esensi dari reformasi sejati.
Pendapat Syariati saya kira relevan untuk konteks Indonesia kontemporer. Pertama, bahwa tidaklah berarti sama sekali jika pemerintahan di bawah Habibie tidak mempelopori reformasi yang sejati. Reformasi sejati menuntut perubahan secara struktural. Betapa kita mendapati dari UU bidang politik saja, yang dari kontrol DPR mandul berasal.
Kalau dibilang bahwa belum ada cukup bukti untuk karena secara regulasi Soeharto tidak bisa dijerat hukum, maka UU anti korupsi direvisi. Jangan berdalih karena aturan hukumnya tidak memfasilitasi. Justru mulai sekaranglah waktu yang tepat untuk merubah UU tersebut. Buktikan mengapa Soeharto memiliki Istana Kalitan, Mangadeg, Tapos, dst. Yang jelas jika dia hanya mengandalkan gaji presidennya, tidak mungkin dapat membangun kemegahan-kemegahannya.
Jika itu pun belum cukup, jerat ia dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) selama ia memimpin. Jelaskan mengapa terjadi peristiwa Aceh, Priok, Nipah, Santa Cruise, Irian, dan sederetan panjang daftar selama ia berkuasa. Sekarang waktu paling tepat untuk menuntaskannya, sebelum ?besi panas? reformasi belum (terlalu) mendingin. Jika dilarut-larutkan sehingga orang dihadapkan melupakan peristiwa tersebut, investasi balas dendam, disintegrasi, telah dilakukan Habibie. Dan, kapan-kapan akan datang lagi.
Kulit jauh lebih penting
Kedua, terutama yang menimpa pada elit politik dan negaranya, bangsa kita tidak pandai-pandai mengefektifkan setiap kejadian. Momentum hari-hari besar nasional pun, jika tidak dipergunakan sebagai hari dimana salah seorang tokoh sejarah (sebut saja Soeharto) memiliki peran strategis dalam perjalanan Indonesia, maka persoalan penanggalan pun dimanipulasi habis-habisan oleh Soeharto. Sehingga ketika memperingati hari Pancasila polemiknya selalu jatuh (selama Orde Baru) pada soal-soal ?1 Oktober? atau ?1 Juni?, dengan pewarnaan hari kesaktian Pancasila (yang sebenarnya harus dibaca hari kesaktian Soeharto sebagai Pemimpin negara Pancasila), daripada kita biasa mengevaluasi relevansi ajaran Pancasila dengan tindakan-tindakan pemerintah Orde Baru selama berkuasa. Begitulah laku politik Orde baru.
Rupanya BJ Habibie penganut pribahasa ?buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?. Kualitas kerja atas pemeriksaan Soeharto tidak terlaku penting dibandingkan dengan perlunya surat kuasa yang ironisnya harus dari Soeharto sendiri. Logika apa yang harus dipakai Jaksa Agung sehingga ?mau mengusut ?maling? harus meminta izin ?maling? nya?? (saya nyuwun sewu dengan kalimat ini).
Dikhawatirkan, jika hal-hal begini ditradisikan dalam praktik politik kita, lupakanlah harapan-harapan Indonesia Baru bakal terjelang. Lagi-lagi kita harus meminta kepada mahasiswa dan tokoh semacam Amien Rais untuk menuntaskan agenda ini. Mengapa kok dari mereka? Karena insttitusi DPR/MPR, instrumen Pengadilan, Kabinet Reformasi, untuk jangka-jangka dekat masih merupakan tipikal lama. Atau memang harus selalu menunggu intervensi dari Tuhan. Kita lihat saja.
? Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, Direktur Institute foe Social and Ethic Studies (ISES), Semarang.