Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia setelah menetapkan dirinya sebagai negara demokrasi. Sebagaimana konstitusi kita menyebutkan, bahwa pemilu merupakan manivestasi kedaulatan rakyat. Suatu kedaulatan yang tercermin dari maksud dan tujuan digelarnya Pemilu itu sendiri: (1) memilih para wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat, wilayah, maupun daerah; (2) memilih para wakil daerah yang akan duduk di lembaga perwakilan daerah (DPD); dan (3) membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat serta memperoleh dukungan sebesar-besarnya dari rakyat (
legitimate).
Dalam diskursus ilmu politik, Pemilu adalah cara yang sah untuk berebut kekuasaan. Pemilu juga merupakan ujian bagi mereka yang sedang berkuasa (
incumbent), apakah sebagian besar rakyat pemilih akan memperpanjang mandatnya? Dengan demikian pemilu merupakan eksekusi bagi penguasa yang dinilai rakyat-nya tidak memuaskan. Bagi yang ingin menjadi penguasa, Pemilu merupakan sarana peroleh mandat rakyat. Bila berhasil, mandat tersebut akan digenggamnya hingga satu periode kekuasaannya. Demikianlah, bahwa demokrasi menetapkan suatu jangka pemilu yang berlangsung secara reguler.
Pokok tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah mengatur bagaimana agenda perebutan kekuasaan tadi berlangsung secara baik dan sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan. Pun, lingkup tugas KPU ialah menjamin agar perebutan kekuasaan tersebut berlangsung dengan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang lebih tinggi, serta mendorong mekanisme akuntabilitas yang jelas.
Bagi pengawas pemilu, pokok tugasnya masih perlu ditambah, yakni demi menjamin suatu perebutan kekuasaan berlangsung secara beradab, berbasis pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil, di samping dimungkinkannya proses pemilu dalam kepatuhan seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu. Dengan demikian tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas pemilu sungguh berat. Artinya, pemilu tidak bisa dibiarkan berlangsung secara kurang beradab dan berantakan. Karena amat berisiko bila penyelenggaraan pemilu tanpa kontrol. Apa jadinya bila pemilu tanpa pengawasan. Karena pemilu adalah urusan publik, maka sudah selayaknya bila ia dikontrol dan diawasi. Karena tanpa pengawasan dan kontrol, sama sama dengan kita mendorong penyelundupan pelanggaran atau kesalahan.
Itulah demokrasi sejati yang menuntut
check and balance system pemilu. Karena ternyata pemilu di Indonesia masih saja diwarnai pelanggaran dan kecurangan. Tidak saja dilakukan oleh peserta pemilu, namun juga oleh bahkan penyelenggaranya sendiri. Ada adagium kesohor dari Lord Acton : “Power tends to corrupt, and obsolute power corrupts absolutely” (“Letter to Bishop Mandell Creghton, 1887”). Tafsir kreatifnya begini: “watak manusia itu cenderung berbuat korup, dan kecenderungan sifat koruptif manusia akan kian menguat bila memegang kekuasaan.”
Sejak era reformasi, resistensi kekuatan non-negara terhadap kekuatan negara (
state) mendorong perlunya lembaga substitusi di luar negara yang bersifat independen dan non-partisan (
the auxiliary state agency) dalam urusi pelanggaran pemilu. Bagi Bawaslu, pengawas sejati adalah masyarakat pemilih. Namun struktur dan kultur masyarakat kita agaknya belum bisa diandalkan bagi keperluan pengawasan karena sejauh penilaian banyak orang belum terbentuk
critical mass. Alih-alih untuk ke sana, sementara masyarakat pemilih kita masih digambarkan masih berkubang pada relativitas absensi partisipasi sejati dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bisa karena memang pemilihnya, bisa pula karena agen kepentingan politik bernama partai politik serta kita semua belum mampu mendorong keberhasilan struktur dan kultur ideal sistem politik kita.
Belakangan bahkan kata para pengamat, akhirnya identitas pemilih kita masih berkutat pada objek serta identitas maka statistik dan pasif. Belum terbentuk kultur penyeimbang dari kekuatan negara. Belum terdorong sebagai “pemilih demokratis” yang sebenarnya diharapkan bisa mengedepankan rasional-kalkulatif daripada emosionalitas, sentimentalitas, primordialitas, dan irasionalitas—seperti yang masih tampak pada warna rangkaian pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang Juni 2005 hingga awal 2009 ini. Ada yang menyatakan mereka lebih menonjol karakter
supporters daripada
voters. Artinya belum tumbuh tumbuh kesadaran artikulatif dan agregatif [
rasing consciousness]. Saling memahami di antara warga [
civic friendship] tetap terjaga, dengan daya dukung keterbukaan pengelolaan politik yang dijalankan secara konsisten. Mungkin perlu waktu untuk bisa ke sana.
Bagi Bawaslu dan Panwaslu, tugas berat untuk bisa mengawal keberlangsungan pemilu dengan arah dan akselerasi menuju masyarakat pemilih dengan karakter-karakter ideal dimaksud. Tugas berat dimaksud harus dimulai dari pengawasan Pemilu 2009 ini. Tidak perlu berkecil hati dengan tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas pemilu yang memang terbatas—seperti maktub UU No. 22 Tahun 2007, UU No. 10 Tahun 2008, dan UU No. 42 Tahun 2008. Di balik terbatasnya tugas, wewenang, dan kewajiban dimaksud ternyata tersimpan kerangka inspiratif bagi bersihnya proses penyelenggaraan pemilu. Ternyata menyimpan pula imperasi penegakan hukum, menjadi
trigger bagi pengawasan sejati masyarakat pemilih kita. Kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang dimajukan belakangan ini pada akhirnya memaksa peserta pemilu, penyelenggara pemilu, serta masyarakat pemilih untuk menanyakan seluk-beluk jenis pelanggaran, sanksi-sanksi pelanggaran, atau lingkup luasan pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Demikian yang dilaporkan para anggota pengawas di daerah-daerah.
Buku mini dan cantik bertajuk “Buku Pedoman Pengawasan Pemilu 2009” ini moga bisa mempertajam mata dan hati pengawasan bagi anggota pengawas pemilu di seluruh tanah air. Bawaslu berharap agar ujung tombang pengawasan di Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwascam terbantu dengan hadirnya buku ini. Karena sejak lama kami punya obsesi tugas, wewenang, dan kewajiban mereka makin kuat, tajam, dan kredibel. Untuk bisa mentransmisi kapasitas pengawasan di ujung tombak, maka Panwas kabupaten/kota mesti jauh lebih baik lagi, sementara untuk bisa ke arah sana maka Panwas provinsi di seluruh tanah diharap agar lebih baik lagi. Demikianlah, yang pada akhirnya akan tercapai efektivitas dari pengawasan yang dijalankan dari pengawas pemilu tahun 2009 ini. Buku ini muskil tersusun bila tanpa bantuan segenap pihak. Kepada Sdr. Miguel Alonso Majagranzas, Sdri. Vida Nasrallah, Sdri. Marisca, dan Sdr. Partono dari UNDP, kepada Sdr. Titi Anggraini, Sdr. Nelson Simanjuntak, Sdr. Heryanto, dan Sdr. Budi Widjarjo, Sdr. Ahsanul Minan, serta tim kreatif lainnya, kepada kawan-kawan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemantau Pemilu (KMPP), utamanya kepada kawan-kawan seperjuangan Sdri. Wahidah Suaib, Sdri. SF Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Sdr. Bambang Eka Cahya Widodo, dan Sdri. Wirdyaningsih dari Bawaslu, dan juga Kepala Sekretariat Bawaslu Sdr. Robert Simbolon, serta segenap pihak yang muskil disebut satu-persatu dalam ruang ini, kami ucapkan beribu terima kasih, sehingga berkat kontribusi, kerja keras, dan kreativitas semuanya memungkinkan bagi terbitnya buku ini. Kita yakin bahwa inilah salah satu cara terbaik bagi tumbuhnya pengawasan yang kita idam-idamkan.
Akhirnya, hanya kepada Allah saya berserah diri.
Jakarta, 3 Februari 2009.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia
Salam Awas
Nur Hidayat Sardini