Soeharto dan Angkatan 1950-an

Sabtu, 24 Oktober 1998 , 18:02:42 WIB
Soeharto dan Angkatan 1950-an
Media: WAWASAN Hari/Tanggal: Sabtu, 24 Oktober 1998 Kita jarang, atau mungkin tidak pernah sama sekali, bahwa dalam sejarah perjuangan di Indonesia terdapat angkatan 1950-an. Yang kita kenal selama ini, seperti dalam dunia sastra dan gerakan mahasiswa, hanyalah pembakaran sejarah dengan menempatkan generasi 1908, 1928, 1945, hingga 1966, dalam kepeloporan perjuangan. Padahal, dugaan saya, lapisan generasi 1950-an itu, memiliki rentan panjang peran strategis dalam kepolitikan di republik ini, bahkan hingga hari ini juga. Tentu, lepas dari segala plus dan minusnya. Siapa generasi 1950-an? Ialah segmentasi masyarakat yang pada saat terjadi revolusi kemerdekaan masih berusia antara 15 tahun sampai 25 tahun. Mereka terlibat secara tidak langsung ? atau kalau pun terlibat secara langsung tidak begitu intens ? dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selapisan itu selama mudanya ikut berkecimpung dalam mempertahankan kemerdekaan. Selama masa Orde Lama, ia menyaksikan generasi seniornya (angkatan 45) ketika tengah berdebat, ketika jatuh bangunnya kabinet, atau ketika Bung Karno menganulir Badan Konstituante sehingga menutup polemik tentang dasar negara yang ingin didirikan. Kebanyakan di antara generasi itu adalah anak buah Jenderal Soedirman tatkala Panglima Jenderal Besar itu keluar masuk hutan mempertahankan negara kesatuan. Pendidikan politik terbaik didapatkan oleh Soepardjo Rustam, Amir Mahmud, Amir Murtono, Tjokropranolo, atau Wijogo Atmodarminta, dan Soeharto secara langsung dari Jenderal Soeharto. Dengan pendidikan semacam itu, orientasi ketentaraan lebih menonjol daripada, misalnya, bagaimana membangun Indonesia dari visi kosmopolitanisme dengan penempatan visi dan misi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional. Kelak latar belakang ini mempengaruhi proses-proses dan referensi dalam membangun Indonesia selama Orde Baru. Bagi generasi ini, revolusi fisik justru sebagai internalisasi politik, yang tentu saja mempengaruhi karakter mentalnya, hingga ketika ia memegang kendali di republik ini, kelak 25 tahun kemudian. Selain itu, polemik di Badan Konstituante pada tahun 1955 hingga 1959, mempengaruhi perkembangan jiwa politiknya. Secara umum pendidikan politik yang mereka terima berkutat di seputar persoalan ?hitam dan putih? politik atau mati!?, penolakan atau penerimaan dasar negara Pancasila atau di luar Pancasila, dan seterusnya. Dengan demikian, identitas politik generasi itu terletak pada pola orientasi defensivitas, introvet, dan menjunjung budaya Jawa versi subkultur politik pendalaman. Defensif untuk mempertahankan atas apa-apa yang dipahaminya. Saya memasukkan Pak Harto dalam selapisan masyarakat tersebut sebagai contoh kasus. Seperti yang kita amati, Pak Harto suka menempatkan sesuatu yang sesungguhnya tidak prinsip, untuk kemudian semua orang (rakyat Indonesia) agar ikut-ikut memikirkannya. Jadilah seoalah-olah prinsip bagi negara. Ketika ia dikritik Petisi 50 atas malapraktik politik dan ekonomi, ia bereaksi dengan amat ?serius?nya. Bahkan para penandatanganan petisi itu dicekal dan dimatikan hak-hak perdatanya. Padahal dalam demokrasi, perbedaan pendapat adalah jamak atau biasa. Tapi, Pak Harto menanggapinya sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional, anti pembangunan, dan merongrong kesaktian Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, layak jika kelompok kritisi itu diperlakukan demikian. Tidak ada tempat bagi Pak Harto dengan demokrasi. Raja Jawa Di samping itu, identitas politik Pak Harto dan seangkatannya, menumpukkan politik sebagai entitas kosmologi. Kekuasaan adalah amanat raja-raja Jawa. Sebagai bagian dari kosmologi tersebut, hubungan rakyat dengan penguasanya bersifat patron client. Ada ordinasi bernama Soeharto dan subordinasi bernama rakyat-massa. Hubungan politik antara keduanya tidak boleh sejajar, sebanding, apalagi saling mencela dan menjatuhkan, namun justru relasi itu bersifat mengabdi, menopang, dan memberi bunga-bunga kekuasaan sang ordinasi. Di antara keduanya juga, dalam banyak kasus tertutur: ?ordinasi bersabda, rakyat harus teratur?, tanpa reverse. Terjadilah apa yang disebut personifikasi negara. Negara adalah representasi dari kemauan figur Pak Harto. Persis seperti kata Louis IV: ?negara adalah saya (l?etat cest moi)?. Perlu diruntut mengapa bentuk dan identitas politik generasi itu sedemikian menjauh dari cita-cita angkatan-angkatan sebelumnya. Saya menempatkan faktor pendidikan politik sebagai biang kepolitikan angkatan 1950-an. Di sini relevan jika kita menempatkan dua angkatan sebelumnya sebagai bahan perbandingan. Bahwa pendidikan politik generasi 1928 dan generasi 1945 ternyata lebih cerdas. Jika yang pertama dididik secara kebangsaan, yakni dengan kelahiran Soempah Pemoeda (1928), maka generasi 1945 lebih berorientasi kepada bagaimana membangun peradaban di Indonesia dengan pendekatan-pendekatan struktural dan kultural sekaligus. Disebut struktural mengingat pencetusan berbagai infrastruktural dan suprastruktural tengah diujicobakan dalam bayi Indonesia yang baru lahir. Secara kultural, semua komponen bangsa ? tanpa melihat sipil militer ? menyatu padu dalam pengertian tingkat strategis. Meskipun kemudian pernah Mochtar Lubis dipenjara oleh Bung Karno sebagai Kepala Negara, misalnya, sebelum itu hubungan di antara keduanya tetap terjalin. Susah membedakan, kata Lubis dalam buku Wartawan Jihad, mana-mana Bung Karno sebagai Presiden dan mana-mana Bung Karno sebagai rakyat biasa. Suasana egaliter, demokratis, tetap terjaga selama generasi 1945 berkuasa. Selain Lubis, saya menyebut Bung Karno dan Bung Hatta, Sjahrir, Moh. Natsir Pamuncak, Yamin, dalam angkatan-angkatan itu. Turunnya Pak Harto dianggap sebagai gagalnya generasi 1950-an dimaksud. Ada dua alasan mengapa asumsi itu perlu dikemukakan. Pertama, bahwa Pak Harto adalah figur terakhir dari angkatan 1950-an dalam panggung politik di Indonesia. Tidak saja karena ia terlahir dari kancah pendidikan dan revolusi fisik, sekaligus ia juga merumuskan bagaimana sepak terjang beliau, -- langsung maupun tidak langsung; atau suka tidak suka, -- merepresentasikan betapa generasi yang oleh Simatupang disebut sebagai generasi revolusi itu telah berjalan di luar hakikat kebangsaan yang pernah diidekan selama hampir ratusan tahun lewat berbagai perjuangan menuju kemerdekaan yang sejati dan disempurnakan oleh generasi 1945 (founding father) kita? Kedua, karakteristik angkatan 1945 tidak melekat pada diri Pak Harto. Ciri menonjol dari angkatan ini adalah jiwa demokrasi yang amat menonjol. Hampir semuanya memiliki latar belakang pendidikan Barat. Dari semua tokohnya, berbasis ideologi-ideologi besar dunia. Bung Karno beraliran progresif revolusioner, di samping Bung Hatta konseptor dan administrator ulung dengan visi-visi jauh ke depan; Sjahrir sosialisme demokrat; atau Moh. Natsir, Moh. Room, dan Agus Salim dengan basis Islam namun tidak meninggalkan latar belakang pendidikan Barat-nya. Kesempatan semasa pendidikan, memberi peluang untuk bergaul dengan tokoh-tokoh dunia, bacaan klasik dan modern tentu juga ?makanan? mereka sehari-hari. Dialog-dialog kultural dengan masyarakat internasional mempengaruhi semangat ketika mereka hendak mendirikan negara Indonesia. Dan ternyata betul, produk-produk universalisme seperti Mukadimah Piagam Djakarta menjadi masterpiece bagi generasi Indonesia hingga hari ini. Identitas dan karakter demikian, hampir berbanding terbalik dengan generasi 1950-an. Jika kita mengambil kehidupan politik era Orde Baru, yang saya percayai sebagai laboratorium politik angkatan itu, orientasi politik orde Soeharto memulangkan universalisme dalam kotak-kotak partikularisme. Semua produk era ?45, di-tumpaskelor-kan oleh Orde Baru. Pancasila dipersempit dengan penafsiran-penafsiran sesuai selera penguasa. Penafsiran itu justru mereduksi keluhuran Pancasila itu sendiri. Uniformitas mengelabui fungsi-fungsi pluralisme dan pluralitas varian kelompok-kelompok masyarakat, antara lain dalam pewadahtunggalan. Politik seragamisme menyita wacana panggung sejarah politik Orde Baru. Kekuatan riil masyarakat diatur sedemikian rupa dalam bentuk-bentuk koersivitas budaya dan struktur. Pelembagaan demikian menentang kodrati kemanusiaan manusia, apalagi disahkan melalui institusi-institusi para legal, dengan basis utamanya pada dwifungsi ABRI. Pada saat yang bersamaan, kreativitas-kreativitas lokal dimatikan secara sistemik. Sebagai contoh, infrastruktur pendidikan di Bukittinggi, yang pernah melahirkan tokoh-tokoh nasional dan internasional dimatikan oleh Orde Baru. Sebagai gantinya, pendidikan di tanah Jawa dihidupkan dengan skala-skala terbatas, dengan pola dan sistem pendidikan yang sama sekali tidak jelas. Baru sekarang kita menyadari, di tanah Jawa sendiri, sentra-sentra industri jika tidak dibunuh atau disuruh hidup sendiri tanpa sentuhan fasilitas perbankan dan pengembangan usaha lainnya. Komunitas-komunitas kelas menengah pribumi, seperti di Kota Gede Yogyakarta, Laweyan Solo, Pekajangan Pekalongan, Kauman Kudus, pada saat yang bersamaan, dihisap lewat penguasaan dan sentralisasi modal keluarga Cendana. Pribumi digantikan oleh konglomerasi. Kecuali kecerdasan demi mempertahankan status quo, dari sektor pendidikan, sesungguhnya, figur semacam Pak Harto tidak cukup mampu membangun Indonesia. Dialog-dialog kreatif beliau semasa bergaul dengan komunitas Pathek Yogyakarta, ternyata sekedar sebagai referensi demi mematikan kreativitas-kreativitas di luar dirinya. Sesuatu yang di luar kemauannya, berarti di luar kemauan negara pula. Sedangkan Pak Harto, mana ada yang berpikiran visi jauh ke depan dalam mengelola negara ini? Kecuali hutang menumpuk, kekayaan alam dieksploitasi secara sembrono, atau mismanajemen sosial pembangunan; yang justru bukan kemanfaatan yang diperoleh, namun kemudaratan (social and human cost) yang didapat. Biang persoalan itulah, sesungguhnya, dapat menjelaskan mengapa biang multikrisis itu sekarang terjadi. Usul Solusi Tentu tindakan kontraproduksi jika sekedar menyalahkan keadaan. Ampuni saja skenario-skenario angkatan ?50 yang tengah terjadi. Selanjutnya, elit politik negeri ini merumuskan kembali langkah-langkahnya menuju ?Indonesia Baru? yang kita cita-citakan. Pertama, dalam jangka pendek, melepaskan rakyat dari jeratan multikrisis. Selain mengembalikan kestabilan ekonomi terutama moneter, juga hendaknya dirintis peletakan fundamental ekonomi kita. Saya meratapi mengapa Golkar belakangan ini, terutama selama sidang-sidang Badan Pekerja MPR, justru paling ngotot menentang keempat rantap reformasi. Padahal, rantap tentang (1) demokrasi ekonomi, (2) rantap clean government and good governace, (3) rantap anti monopoli, usaha kecil dan pribumi, dan demokrasi politik; serta (4) rantap tentang pengusutan harta Soeharto bersama pejabat tinggi dan keluarganya, menjamin bakal mengeluarkan kita dari multikrisis yang menimpa bangsa ini. Masih ingin kita buktikan, apakah dua agenda politik nasional (SI MPR 1998 dan Pemilu 1999) akan memformulasikan persoalan-persoalan strategis menyangkut bangsa ini, dalam skala jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Namun, seharusnya, semacam ekstraksi dari ke-4 semangat rantap tersebut terus digulirkan terutama oleh elit-elit politik lainnya jika Golkar ternyata tidak bisa diharapkan kembali. Kedua, ubah orientasi pembangunan; dari konglomerasi ke pribumi, dari industri tinggi ke industri yang berbasiskan agraris. Pribumi yang kita sangka kecil, pertanian yang kita sangka rendah, atau sektor informal yang selama ini kita anggap nirkekuatan, terbukti selama krisis tetap eksis. Apalagi jika mereka difasilitasi permodalan dan pelatihan manajemen, kelak bakal lebih berarti. Dalam jangka menengah, saya yakin, sektor-sektor itu bakal tumbuh secara signifikan dalam struktur ekonomi Indonesia. Ketiga, dalam jangka panjang, meletakkan kerangka negara demokrasi yang sejati. Konsep dimana kemauan rakyat adalah kemauan negara, posisi tawar di antara kedua kekuatan itu dengan tingkat kontrol ketat rakyat melalui fungsionalisasi institusi formal semacam DPR, MPR, dan DPRD, serta LSM-LSM dan ormas lainnya, mendesak agar secara jelas terumuskan. Pula, proporsionalisasi fungsi lembaga suprastruktur dan infrastruktur politik, berjalan dengan baik. Di sana tidak ada, misalnya, ABRI menguasai panggung politik. Betapa kita mendapati pelajaran, selama generasi 1950-an berkuasa, ABRI kita yang eksesif itu kontraproduktif dan mengkontribusikan multikrisis kontemporer. Begitulah ?Indonesia Baru? yang kita inginkan. Sebentuk Indonesia yang beradab, kompetitif, dan layak disejajarkan dengan negara jiran dan negara-negara di belahan bumi lain. Generasi Habibie telah memulainya. Paling tidak pada tingkat wacana demokrasi. Kesediaaannya dikritik, mau datang ke gedung DPR/MPR, saya kira investasi bagi demokratisasi selanjutnya. Adalah kewajiban para elit partai politik untuk mengembangkan kultur politik demikian pasca kepemimpinan Habibie. Kita lihat saja nanti. ?    Nur Hidayat Sardini, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang. Staf pengajar FISIP Undip.