SI MPR dan Peluang Reformasi II

Sabtu, 07 November 1998 , 18:03:13 WIB
SI MPR dan Peluang Reformasi II
Media : ? Hari/Tanggal: Sabtu, 7 November 1998 Sesungguhnya ada makna strategis di balik penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 kali ini. Mengapa? Karena SI MPR digelar di tengah-tengah suasana euforia politik. Pada entitas euforia, khalayak terlanjur menyejajarkannya dengan berbagai gejolak yang terjadi belakangan ini. Namun sejatinya gejolak tidak melulu bisa diartikan secara negatif (penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan dukun santet). Jika dilembagakan secara positif, justru menjadi vitamin bagi demokrasi di negara manapun. Menguatnya subkultur belakangan ini, seperti terlihat dari menjamurnya partai politik yang dideklarasikan, adalah contoh betapa investasi ?Indonesia Baru? justru tengah dilakukan di Indonesia ini. Asalkan euforia itu tidak berbanding lurus dengan destruktifis sosial. Mengemukanya gejolak, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif, sering dipahami sebagai wujud reaksi balik (counter attack) atas keadaan sebelumnya. Jika selama 32 tahun di bawah orde kehidupan rakyat tertekan (under pressure), begitu katup penekan tersebut terlepas (kita sepakati saja lewat sosok Pak Harto) pada tanggal 21 Mei 1998, dimulailah kehidupan ekstralonggar politik massa terbangun. Rakyat boleh saja mengekspresikan apa saja keinginan diri dan kelompoknya. Ada kalanya rakyat harus menjarah, menggusur kepala desa, menurunkan bupati, bahkan membunuh sesamanya dengan definisi-definisi sektoral sesuai dengan kepentingannya. Peristiwa pembantaian dukun santet di Banyuwangi serta polemik yang mengitari sesudahnya bisa dijelaskan dalam konteks itu. Tentu saja latar belakang pendidikan dan pemahaman politik rakyat-massa terhadap praktik politik yang diperlihatkan lingkungan sosial selama Orde Baru menjadi acuan utama ketika mereka hendak memenuhi hasrat-hasrat politiknya. Hukum aksi-reaksi (balas dendam) rupanya berlaku di sini. Adalah tugas lembaga negara untuk mengambil alih kekerasan politik massa rakyat. Pada negara beradab, kekerasan legal dimonopoli negara. Karena fungsinya, ia semestinya mengendalikan hukum rimba (ius naturalis) suasana euforia rakyat.Tugas negara untuk mengakhiri adagium ?manusia adalah serigala bagi manusia lainnya? (hommo homini lupus). Misi Suci MPR Bagaimana orientasi SI MPR mengambil alih kekerasan dimaksud? Pertama, ia mesti menggantikan ius naturalis menjadi lex naturalis. Dalam kerangka lex naturalis, ketentuan dan perundang-undangan yang menindas, koersif, kooptif, dan yang mengebiri politik rakyat paling tidak harus direvisi, dan bila perlu dirombak total. Agenda SI MPR 1998 tahun ini, seperti yang telah diusulkan lewat Panitia Ad Hoc II, memasukkan 13 rantap yang berisi semangat reformasi. Meskipun empat rantap yang diusulkan terutama oleh FPP menyangkut reformasi substansial dan struktural telah dikandaskan oleh FKP (Golkar) selama persidangan di Badan Pekerja MPR. Ke-13 rantap itu jelas sejalan dengan semangat lex naturalis. Meski selama persidangan BP MPR justru banyak ditentang oleh FKP MPR (Golkar) ? dan kita tahu bahwa keputusan pada BP MPR adalah setengah jadi dari SI MPR yang sebenarnya ? semoga FKP yang merupakan fraksi terbesar dalam SI MPR berubah pikiran menjelang detik-detik terakhir ketika diputuskan. Meski agak spekulatif, kemungkinan itu selalu saja ada. Apalagi di belakang FKP MPR berdiri hati nurani rakyat, yang selama ini dikecewakan Golkar. Akankah Golkar, sekali lagi, melewatkan momentum tersebut dengan begitu saja? Kita lihat saja. Kedua, memindahkan kekerasan dan euforia politik yang terjadi di lapangan politik menjadi perdebatan substansial pada persidangan-persidangan di lembaga SI MPR. Merebaknya demo belakangan ini, semestinya dipahami sebagai tidak konsekuensinya lembaga-lembaga resmi negara. Rakyat memiliki agenda tersendiri, antara lain lewat kekerasan, penjarahan, dan gejolak politik lain; demikian pula lembaga resmi negara sibuk dengan agenda masing-masing. Massa rakyat, mahasiswa, dan kaum cerdik pandai berteriak-teriak menyuarakan aspirasinya di satu bagian; sementara DPR/MPR sekedar menghimbau rakyat agar tidak berteriak-teriak di bagian lain. Kemampuan pihak pertama berbanding terbalik dengan kemampuan pihak kedua. Karena fungsi dan tanggung jawabnya, lembaga suprastruktur dan infrastruktur politik sejalan dengan kemauan masyarakat pemilihnya. Kewajiban keduanya untuk memindahkan euforia politik rakyat dalam bentuk perdebatan-perdebatan substansial dan berkualitas. Di negara-negara beradab, keniscayaan itu mendesak dilaksanakan. Ketiga, demi fungsionalisasi kedua lembaga dimaksud, faktor informal leaders tak kalah penting untuk ditempatkan. Selama ini, termasuk era yang sering diklaim sebagai era rezim reformasi, maksud konstituensi juga tidak tercapai. Amien Rais, Megawati, atau pun Gus Dur seolah-olah tidak ada urusan dengan lembaga DPR/MPR. Jika kita menyebut lembaga DPR/MPR, konotasinya adalah tokoh-tokoh orang-orang yang sudah mapan yang (selama Orde Baru juga) ?itu-itu saja?. Meminjam istilah Max Webber, ketiga tokoh tersebut adalah natural leader saat krisis (dan chaos) politik, ekonomi, atau problem etis di negeri ini. Mereka yang menyediakan dirinya secara fisik dan batin, serta kekuatan ?gaib? yang sulit ditemukan pada setiap tokoh kebanyakan; dan bukan formal leaders yang kini duduk di lembaga DPR/MPR. Karena itu, alangkah ideal jika mereka direkrut sebagai peserta SI MPR 1998 mewakili golongan atau tokoh masyarakat. Implikasinya Rupanya dasar pemikiran di atas tidak dipenuhi dalam SI MPR yang akan digelar. Apa boleh buat, skenario di bawah ini boleh jadi akan tetap lestari, sebagai bentuk inkonstituensinya lembaga MPR terhadap kemauan rakyat secara keseluruhan. Pertama, euforia politik tetap belum bisa diakhiri. Itu artinya, radikalisasi massa makin evolutif dan (mungkin) revolutif. Bertemu dengan kekecewaan rakyat karena ?PR? lembaga negara yang hingga kini belum juga rampung, kondisi negeri ini bakal di ambang disintegrasi. Ingat, krisis kini belum mencapai antiklimaks. Sementara kondisi ekonomi kita belum membaik, bisa dipercepat skenario demikian. Kondisi demikian amat welcomed bagi kembalinya otoritarianisme politik atau kemunculan orang kuat di Indonesia. Sesuatu yang tidak kita inginkan, tentunya. Kedua, jika tidak demikian yang terjadi, amat terbuka kemungkinan terjadi muatan politik dalam perjuangan reformasi. Berkali-kali tokoh reformasi sekaliber Dr Amien Rais, -- terutama ketika berharap dengan kondisi pasca-SI MPR 1998 ini -- ?mengancam? akan turun ke jalan kembali seandainya reformasi berjalan di tempat. Berbeda dari apa yang telah diperjuangkannya sehingga Pak Harto lengser (yang kita sebut sejak reformasi ?jilid pertama?), maka perjuangan reformasi ?jilid kedua? berjalan seperti peluru (bullets theory), yang sasarannya tidak sekedar menusuk ke jantung kekuasaan, namun ia kemudian menyebar ke seluruh penjuru di lembaga-lembaga suprastruktur dan infrastruktur politik. Itulah reformasi total dan substansial yang selama ini diidamkan banyak kalangan. Garansi Indonesia untuk bisa keluar dari lingkaran setan dan benang ruwet (vitious cycle) multikrisis dewasa ini. Skenario di atas masih tergantung pada hasil Pemilu1999. Di samping itu, determinisme politik terletak pada Golkar dan ABRI. Artinya, semuanya mustahil terjadi seandainya Golkar dan ABRI berlaku santun kepada rakyat. Politik santun, syaratnya, jika ia menjadi pelopor bagi dinamisasi dan sejauh mana kualitas hasil rantap dan rantus SI MPR 1998. Mengapa tumpuan diletakkan pada Golkar dan ABRI? Sebab, keduanya references group. Kita lihat saja sejak hari ini. ?    Nur Hidayat Sardini, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang. Staf pengajar FISIP Undip.