Media:
Hari/Tgl:
Oleh: Nur Hidayat Sardini
Di antara kandidat R-1 yang selama ini muncul, seolah-oleh hanya Megawati (PDI-P) dan BJ Habibie (Partai Golkar) belaka yang paling berhak mendudukinya. Padahal, secara artikulasi Islam, keduanya secara empiris sama-sama tidak menguntungkannya.
Buat partai-partai Islam, Megawati adalah sosok misterius. Belum kemenangannya secara resmi ditetapkan PPI dan KPU, pagi-pagi Aberson Marle Sihaloho melemparkan ide untuk merehabilitasi hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Di samping itu, sekali lagi buat partai Islam, di belakang Mega berdiri tangan-tangan ?berlumuran darah? semacam Theo Syaefi, Jacob Tobing, serta back up Benny Moerdani, yang asosiasi pengertiannya sebagai penindas umat Islam di era Orde Baru.
Dengan demikan, bukan soal gender, kinerja Megawati yang anti-publik, serta kapabelitas Mega yang disangsikan kalangan ?Islam Politik?, namun fenomena creative minority di belakang Mega-lah yang utama sehingga mereka menolak putri Bung Karno itu.
Demikan juga terhadap Habibie. Di mata ?Islam Politik?, rapor Habibie dipenuhi angka merah. Tidak saja karena ia sekedar lips service dalam menangani dugaan KKN mantan presiden Soeharto, kinerja setahun kepemimpinannya justru banyak merugikan kepentingan ?Islam Politik?.
Farid Prawiranegara, tokoh terpenting dari sayap ?Islam Politik?, boleh dibilang yang sangat kecewa terhadap Habibie. Di depan forum KAHMI misalnya, Habibie pernah bilang, dirinya jadi presiden RI ke- 3 karena kerja keras, yang diimbangi shalat tahajud.
Mendengar ucapan itu, seperti dikutip sebuah tabloid ibukota, Farid bilang: ?Itu politik murahan. Menjijikkan itu. Dia tidak ingat siapa yang kali pertama menyatakan dukungan kepadanya. Dia sungguh tidak menghargai mereka yang dengan susah payah telah memobilisasi dukungan buat dia!? (Adil, 21-27 Juli 1999).
Ucapan Farid diamini Presiden Partai Keadilan (PK) Nur Mahmudi Ismail, yang mengatakan, ?Habibie belum memberikan apa-apa kepada umat Islam. Oleh sebab itu saya merasa heran, kok dia yakin betul akan mendapat dukungan dari kami!?
Partai-partai Islam berhak untuk tidak bergeming kepada Megawati dan Habibie. Jika sudah demikian, bagaimana ?fraksi Islam? itu bakal menentukan langkah-langkah berikutnya? Hal itu dapat dilacak dan tergantung pada dua hal. Pertama, perolehan suara ke- 8 partai Islam rupanya cukup besar dalam Pemilu 1999. karena langkah stembus accoord (SA) yang ditetapkan sebelum pemilu, tiga di antaranya (PPP, PBB, PK) mendapat tambahan kursi yang signifikan dari total 39 kursi SA.
PPP (yang murni 39 kursi) mendapatkan tambahan 19 kursi; PBB yang hanya mendapatkan 2 kursi, karena SA menjadi 11 kursi; PK yang sebenarnya Cuma 1 kursi kini memperoleh 6 kursi; PNU dan PKU yang sebenarnya tidak mendapatkan kursi, dalam SA dapat 3 kursi dan 1 kursi; sehingga kekuatan riil ?Islam Politik? berjumlah 82 kursi.
Bila angka-angka itu masih digabung dengan parpol bernafaskan Islam semacam PAN (36) dan PKB (51), maka angka 169 bukan saja angka yang tidak bisa diremehkan, namun ia menjanjikan agenda-agenda keumatan secara keseluruhan, termasuk menghalangrintangi duet kandidat Mega dan Habibie.
Kedua, respon ?fraksi Islam? terhadap para kandidat presiden memang bervarian. Jika Mega dan Habibie tertolak (pull factors) karena alasan-alasan tersebut, maka kriteria-kriteria lain sejauh yang sering dikemukakan ke- 8 konsorsium parpol Islam tersebut adalah: (1) figur yang sensitif terhadap aspirasi mayoritas umat, termasuk menyelesaikan kasus-kasus yang meniscayakan hak-hak asasi masa lalu yang menimpa umat Islam; (2) seorang putra bangsa yang beragama Islam; (3) mengagendakan amandemen UUD 1945 serta supremasi hukum; (4) menghapus dwifungsi ABRI; (5) berniat mengadili Soeharto; (6) tidak terkait denga persoalan Orde Lama dan Orde Baru; serta (7) berwawasan internasional.
Ideologisasi Agama
Ketiga, sebagaimana ciri partai-partai berlandaskan agama, maka ?fraksi Islam? pun pertama-tama mendasarkan ideologisasi agama sebagai cara pandang (world view) dalam berpolitik. Oleh karena itu para kandidat yang relatif tidak memiliki persoalan ideologis, peluang dukungan masih terbuka. Dalam hal ini, figur Amien Rais menempati papan teratas dalam bursa calon presiden versi partai-partai Islam. Kriteria yang diajukan ke- 8 partai politik Islam dipenuhi oleh lokomotif reformasi itu.
Persoalan Amien terletak pada tipikal zig-zagnya, terutama tampak pada saat menjelang dan selama kampanye Pemilu 1999 lalu. Politik zig-zag Amien, terlihat kadang dia berada di kalangan kaum nasionalis, sosialis, serta sekawanan sekuler (merah) lainnya, namun pada akhir-akhir kampanye ia kembali ke komunitas (Islam)-nya.
Ketika itu, sebutan untuk Amien adalah ?terlalu hijau untuk di kalangan merah, dan terlalu merah untuk di kalangan hijau?; namun habitat aslinya Amien adalah hijau tulen. Dengan mengakhiri politik zig-zag-nya, ?Mr Ten Percent? kandidat PAN ini, saya yakin, akan kembali ke habitat politiknya.
Selentingan berita bahwa ke- 8 parpol Islam yang hendak membentuk ?fraksi? di MPR itu, konon kabarnya bakal mengarahkan kepada kepemimpinan Amien Rais. Tapi justru itulah Amien menyandang posisi ?poros tengah?, seperti klaimnya dalam berbagai kesempatan. Seorang politisi secerdas Amien, tentu ia akan memanfaatkan posisi strategisnya. Itu.
Pada Habibie juga demikian. Jika ia mampu menguntungkan politik Islam, bukan tidak mungkin posisi pencalonannya akan direvisi kembali oleh kalangan Islam. Masih ada waktu 3 bulan baginya untuk ?bertobat?.
Keamanan Habibie untuk mengakomodasi kepentingan Islam dalam hal menyetujui pengecualian Peradilan Agama dari pembahsan RUU tentang Perubahan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diusulkan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) DPR RI sekarang, boleh jadi credit point bagi Habibie untuk dapat menarik simpati kalangan ini.
Akan lebih signifikan jika pengusutan terhadap Soeharto juga lebih serius lagi. Dari sebelas Tap MPR yang diamanatkan pada Sidang Istimewa (SI) MPR 1998, memang tinggal Tap XI/MPR/1999 yang belum terlaksana secara memuaskan. Ibarat rapor belajar, dari sebelas mata pelajaran, hanya nilai jeblok pada mata pelajaran pengusutan KKN. Namun, jangan lupa, mata pelajaran pengusutan KKN terutama kepada Soeharto ibaratnya pelajaran agama, sehingga ?wajib? untuk merah. Jika tetap merah dalam tiga bulan ini, ke- 10 pelajaran yang lain tidak akan ada artinya.
Kita tunggu episode Habibie versus Amien Rais.