Press Release Bawaslu, Tgl 21 April 2009
Pernyataan yang dikemukakan oleh Kepala Bareskrim pada 20 April 2009 berkenaan dengan penolakan Laporan yang diajukan Bawaslu atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh oknum KPU perlu diluruskan dan direspon secara bijak agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dan kesalahfahaman.
Berkenaan dengan pernyataan dari Kepala Bareskrim dimaksud, Bawaslu perlu mengemukakan pandangan dan pendapatnya, yaitu sebagai berikut:
1. Laporan Bawaslu tidak mempersoalkan tertukarnya surat suara yang terjadi di berbagai daerah dalam jumlah yang cukup besar, tetapi melaporkan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum KPU yang dengan sengaja menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai serta juga merugikan anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang dilakukan melalui Surat KPU No. 676/KPU/IV/2009 dan Surat KPU No. 684/KPU/IV/2009;
2. Kewenangan Bawaslu telah diatur secara eksplisit dan limitatif, ketika mendapatkan laporan adanya pelanggaran pemilu adalah melakukan kajian dan wajib menindaklanjutinya bilamana ada indikasi dan bukti permulaan yang membuktikan kebenaran laporan tersebut serta meneruskan laporan tersebut pada Penyidik Polri;
3. Penyidik Polri mempunyai kewajiban untuk menerima penerusan laporan dari Bawaslu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Nota Kesepahaman antara Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Bawaslu yang mengatur bahwa Sentra Gakkumdu menerima laporan pelanggaran Pemilu Legislatif tahun 2009 pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dari Bawaslu/Panwaslu dan KPU.
4. Tidak ada satu kewenanganpun yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Penyidik untuk menolak laporan yang secara resmi diajukan Bawaslu dengan menggunakan pernyataan melalui media. Apalagi pernyataan dimaksud disertai dengan mengajukan sejumlah alasan yang dapat dikualifikasi sebagai tidak mempunyai landasan hukum yang sangat kuat;
5. Kepala Bareskrim menyatakan, yaitu: kesatu, tindakan oknum KPU dengan menggunakan surat adalah masalah TUN sehingga dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan TUN; dan kedua, KPU tidak bisa dijadikan sebagai subyek hukum karena masing-masing subyek sudah diatur secara limitatif;
6. Tindakan oknum KPU dengan menggunakan suatu ”surat” adalah tindakan yang biasa dilakukan untuk menjustifikasi perbuatannya sebagai kebijakan. Tindakan sedemikian bisa disebut sebagai ”state capture” yang dilakukan oleh ”white colour crime” untuk mengaburkan tindakan melawan hukumnya sebagai suatu kebijakan yang absah;
7. Tindakan oknum KPU melalui pembuatan surat dimaksud memang dapat diklasifikasi telah dilakukan oleh pejabat negara tetapi tidak serta merta dapat dikualifikasi dapat dibawa ke Pengadilan TUN.
Ada 2 (dua) alasan yang dapat diajukan, yaitu:
Pertama, surat dimaksud tidak memenuhi syarat sebagai obyek sengketa TUN yang bersifat individual, final, dan mengikat sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004;
Kedua, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2005 yang menegaskan bahwa perkara yang terkait dengan Pemilu tidak dapat dibawa ke pengadilan TUN. Oleh karena itu, pernyataan yang mengkatagorisir Laporan Bawaslu di atas sebagai masalah TUN merupakan pernyataan yang prematur dan dapat menyesatkan.
1. Pernyataan sebagaimana tersebut di berbagai media massa dapat dikualifikasi sebagai telah salah membuat kesimpulan dengan menyatakan ”Komisi Pemilihan Umum” tidak dapat dijadikan subyek hukum. Laporan Bawaslu mengadukan tindakan oknum KPU yang diduga dengan sengaja telah menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai serta juga merugikan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota untuk daerah pemilihan tertentu. Rumusan delik ”setiap orang” di dalam Pasal 288 dapat dihubungkan dengan Pasal 311 UU No. 10 Tahun 2008 yang menyatakan ” dalam hal penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu sebagaimana dimaksud dalam ” ... Pasal 288 ...”, maka pidana yang bersangkutan dapat ditambah 1/3 dari ketentuan pidana yang ditetapkan.
Berdasarkan seluruh uraian seperti telah dikemukakan di atas, Bawaslu memandang perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Menolak dengan tegas seluruh alasan yang menyatakan bahwa laporan yang disampaikan oleh Bawaslu merupakan ranah TUN untuk penyelesaiannya.
2. Penyidik Polri seharusnya menerima laporan Bawaslu sebagaimana diperintah Undang-Undang maupun Pasal 8 Nota Kesepahaman Bersama antara Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Bawaslu.
3. Lembaga Kepolisian dihimbau untuk dapat bekerjasama lebih erat untuk menangani pelanggaran pemilu dengan mengedepankan keberpihakan untuk melindungi suara pemilih dan memastikan agar prinsip luber dan jurdil diterapkan secara konsisten guna mewujudkan Pemilu yang demokratis.