Wawancara dengan Majalah Biografi Politik, edisi April 2009
Selasa, 05 Mei 2009 , 04:06:52 WIB
Dengan suara yang lantang, Nur Hidayat Sardini menjawab pertanyaan Ranap Simanjuntak dan fotografer Ibnu Hajar dari Biografi Politik, seputar kegiatan dan tugas Bawaslu. Tampak jelas, selaku ketua Bawaslu ia berusaha sebisa mungkin melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai tokoh yang bertugas mengawasi jalannya Pemilu, ia berperan penting dalam mengupayakan agar pemilu berlangsung tertib sesuai peraturan yang berlaku. Bagaimana kinerja Bawaslu dalam mempersiapkan Pemilu kali ini? simak dalam nukilan wawancara berikut ini.
Sebenarnya apa peran Bawaslu itu? Pertama-tama kita harus terlebih dahulu memahami fungsi pengawas, yaitu mengawasi seluruh tahapan pemilu. Kedua, menindaklanjuti semua temuan dan laporan menyangkut pelanggaran pemilu. Semua hal itu tentunya terkait dengan kode etik penyelenggaraan pemilu. Contohnya, kami pernah menemukan indikasi pelanggaran hingga rekomendasi pemberhentian. Mereka yang ditindak adalah anggota KPUD di sejumlah provinsi. Yaitu di daerah Sumatera Selatan sebanyak 4 orang dan di Papua ada 2 orang. Kasus terkahir terjadi di Sumatera Barat. Setiap kasus yang diajukan pengawas memang harus menempuh beberapa tahap yang berliku. Maksudnya, kami masih harus melimpahkan ke penyidik. Lalu ke kejaksaan, baru bias sampai ke pengadilan. Oleh karena itu, untuk mengajukan satu perkara saja sangat memakan waktu. Tentu sebagai pengawas kami tak ingin kasus yang kami ajukan akhirnya “patah” di persidangan. Ini menyangkut kredibilitas.
Ada juga beberapa kasus yang dihentikan. Mengapa ini bisa terjadi? Sistem “oligarkis” kadang-kadang mempengaruhi sebuah kasus sehingga tidak dapat ditindaklanjuti. Misalnya, seorang ketua partai politik sekaligus menjadi bupati atau walikota di suatu daerah. Biasanya mereka mempunyai hubungan yang cukup erat dengan muspida setempat. Akibatnya, bias saja terjadi “permufakatan-permufakatan” tertentu, sehingga bila ada kasus yang menyangkut perilaku politik tersebut akan lebih sulit diusut karena ada rasa “kebersamaan”di antara partai politik, pemerintah daerah dan muspidanya. Ini termasuk salah satu kendala kami.
Bagaimana Anda memandang koordinasi Bawaslu dengan KPU hingga saat ini? Sejauh ini koordinasi berjalan dengan baik. Kami secara rutin menyelenggarakan rapat koordinasi guna menyamakan persepsi. Pada tingkatan kebijakan juga dilakukan penyesuaian, misalnya dalam pembentukan anggota panwaslu pemilu di seluruh Tanah Air kami membuat surat edaran bersama. Ada pula koordinasi dengan KPU dalam penertiban atribut partai. Pada pemilu kali ini konflik antara KPU dengan pengawas pemilu dijamin tidak sebanyak pemilu lalu. Bawaslu dan KPU merupakan panitia dari proses pemilihan umum sehingga bisa dipastikan bukan menjadi sumber persoalan. KPU merupakan penyelenggara pemilu sedangkan Bawaslu merupakan pengawas pemilu. Ini yang kami lakukan.
Dalam melakukan tugasnya, KPU dan Bawaslu secara garis besar memiliki draft yang sama. Meski ada pula perbedaan yang signifikan dalam cara menterjemahkan sejumlah kewenangan berdasarkan peraturan dan perundangan-undangan yang ada. Namun, hal ini bukan masalah bersar. Yang paling sulit adalah membangun kebersamaan dan koordinasi.
Apa tanggapan Anda tentang jadwal kampanye yang ditetapkan KPU namun sering berubah? Ada persoalan manajemen yang dihadapi KPU, namun ini bukan hal baru. Persoalan daftar pemilih tetap (DPT) dan dana kampanye misalnya, memperlihatkan kurang rapihnya persiapan menjelang pemilu. Saya kira hal ini bias mempengaruhi kredibilitas penyelenggaraan pemilu.
Bagaimana upaya Bawaslu guna memperbaiki keadaan tersebut? Kami melakukan pengawasan dengan tiga pendekatan. Pertama, dengan mencegah sumber potensi persoalan. Banyak yang kami lakukan. Misalnya dalam penertiban atribut partai peserta pemilu, kami meminta panwaslu di seluruh Tanah Air mengambil prakarsa penertiban yang pelaksanaannya dirangkaikan dengan deklasrasi Pemilu Damai. Semua partai peserta pemilu memberi tanda tangan pada deklarasi ini. Pendekatan kedua lewat preventifikasi. Misalnya adengan mengingatkan sumber potensi masalah kepada KPU dan mencari kemungkinan solusinya. Sedangkan langkah ketiga adalah penindakan atau represif. Intinya, setiap pelanggaran harus ditindak, tentu saja sebatas kewenangan kami.
Tentang wacana pemilu yang diundur, seperti apa tanggapan Anda? Saya tidak pernah mengusulkan agar pemilu diundur, karena jika diundur menandakan ada yang salah dengan system penyelenggaraan pemilu kita. Memang ada sejumlah masalah yang harus ditangani secara cepat dan tepat, namun solusinya tidak dengan mengundurkan jadwal Pemilu.
Jika jadwal pemilu diundur, maka implikasinya akan terjadi krisis konstitusional. Sebab, selambat-lambatnya pada 24 Oktober 2009 nanti Indonesia harus sudah memiliki presiden untuk periode selanjutnya. Karena itu, tidak ada pikiran sama sekali untuk mengundurkan jadwal pemilu.
Jadi kami mendorong KPU agar menggunakan segala kewenangannya secara tepat. Dorongan yang kami lakukan adalah secara moral dan politik. Kami pun melakukan pengawasan agar pemilu bias dilakukan secara tepat.
Bagaimana dengan wacana penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara tidak serentak? Memang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah menyediakan instrument tersebut. Namun, untuk memenuhi syarat agar bisa melakukan pemilu dengan waktu yang berbeda sungguh berat. Artinya undang-undang tersebut tidak bisa serampangan digunakan. Sejauh bisa dilakukan maka sebaiknya secara bersamaan.
Setelah pemilu berakhir, apa yang akan dilakukan Bawaslu? Bawaslu akan tetap bekerja hingga periode lima tahun karena merupakan lembaga permanen. Setelah pemilihan presiden akan ada pemilihan kepala-kepala daerah, sehingga Bawaslu harus membangun Bawaslu di daerah-daerah, melakukan pengarahan, pembinaan, pelaksanaan dan pelaporan kegiatan yang dilakukan Bawaslu di daerah.
Bagaimana sistem Bawaslu di daerah akan dikembangkan? Bawaslu telah membentuk mekanismenya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.
Sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh Bawaslu selama ini? Masa kerja Bawaslu periode sekarang baru sekitar delapan bulan dan kami harus mengimbangi kinerja KPU yang telah terbentuk selama 12 tahun. Perjalanan suatu lembaga itu pasti melalui 3 fase. Pertama, fase pembentukan. Kedua, fase konsolidasi. Ketiga, fase pematangan atau maturity. Kami mempercepat proses ini karena mempertimbangkan usia masa jabatan panwaslu provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, pengawas lapangan tingkat kecamatan dan desa serta luar negri. Pada taraf ini kami sudah berhasil.
Kendala apa yang dirasakan paling sulit? Yang paling susah adalah membangun mentalitas. Membentuk ini memang lebih sulit daripada membuat struktur. Jadi, sekarang tinggal pelaksanaan sambil melakukan pembinaan secara langsung, termasuk kunjungan kerja dan inspeksi.
Di tengah tuntutan tugas ini, bagaimana Anda membagi waktu dengan kehidupan pribadi? Saya harus melakukan kontak dengan anak setiap harinya. Anak bagi saya adalah tulang punggung dalam melakukan aktivitas saya. Saya percaya penuh kepada istri saya dalam mengatur hal teknis di dalam keluarga. Saya juga selalu membangun relasi di luar urusan pekerjaan dan rumah tangga, termasuk membangun jaringan di daerah-daerah, lembaga-lembaga, perguruan tinggi dan akademisi. Saya juga aktif di organisasi mass seperti ICMI.
Di sela-sela waktu senggang, apa yang biasa Anda lakukan? Saya memprioritaskan keluarga. Pada setiap kesempatan yang informal, saya selalu mengajak anak dan istri. Saya punya ritual setiap Sabtu sarapan pagi bersama senior-senior saya di berbagai organisasi, seperti HMI, ICMI, dan tokoh-tokoh lainnya. Saya datangi senior saya seperti Akbar Tandjung, Ferry Mursidan Baldan serta tokoh-tokoh lainnya untuk bersilaturahmi.
Apa harapan Anda terhadap para elit politik? Proses pemilu itu pada akhirnya bermuara pada produk pemilu. Seandainya produk pemilu berkualitas dan peduli rakyat maka hamper dopastikan peosesnya baik. Sebagai penyelenggara pemilu, saya selalu mendorong kearah itu, yaitu jika ingin produknya baik maka prosesnya harus lebih baik. Pemilu itu sebenarnya seperti mesin. Begitu barang mentah yang bagus dimasukkan ke dalam mesin yang berproses dengnan bagus, maka produknya akan bagus.
Selama ini pemilu menghasilkan parlemen yang terlalu kuat, padahal Indonesia menganut sistem presidensial. Bagaimana menurut Anda? Asumsi saya, dalam sistem presidensial, presiden mempunyai mandat yang sangat kuat dari rakyat. Jadi, menurut saya tidak harus dibarengi dengnan kaki-kaki partai politik yang buka merupakan pendukungnya. Presiden mempunyai kewenangan sangat besar untuk menghitam-putihkan negeri ini.
Karena presiden mendapat mandat dari rakyat, maka sebaiknya mandat itu digunakan dengan tepat. Jangan sampai mandat itu menjadi sia-sia. Dengan system pemilihan presiden yang langsung oleh rakyat, maka presiden adalah orang yang utama di negeri ini. Presiden ini harus difasilitasi oleh Negara, sehingga misalnya di suatu daerah ada bencana kelaparan, presiden bisa langsung menelepon dan memanggil pimpinan di daerah tersebut.
Tentu saja dalam struktur pemerintahan ada jenjang kewenangan dan tanggung jawab yang meliputi menteri dan jajaran di bawahnya. Namun, presiden tetap menjadi orang pertama dan utama dalam mengatur negeri ini.
(Majalah Biografi Politik Vol. 2 No. 17, April 2009. Hal B 30 – 37 B)