Peranan TNI pada Saat ?Genting?

Kamis, 14 Januari 1999 , 19:08:36 WIB
Peranan TNI pada Saat ?Genting?
Media : Tanggal  : Jika persoalan ideologis selalu menjadi pertimbangan saat penantian capres, maka peluang terjadinya deadlock amat besar. Kemungkinan jalan buntu akan berasal dari: pertama, karena persoalan ideologis tersebut. Maka penolakan kubu Islam terhadap figur Mega dan Gus Dur sebagai pemilik mayoritas suara DPR akan terjadi di SU MPR. Kedua, penolakan kubu pertama terhadap Amien Rais juga berpotensi besar. Apa pun ceritanya, karena alasan aliansi taktis, figur Amien kadar daya tolaknya lumayan besar di kalangan sekular. Cerita tragis Komunike Bersama bisa jadi contoh kasus yang paling baik, betapa Amien Rais sesungguhnya tidak sepenuhnya diterima dalam triumvirat PDI-P, PKB, dan PAN itu. Apa lagi perolehan suara PAN di bawah PDI-P, saya kira akan memeperberat peluang bagi Amien untuk menduduki ?RI satu?. Selain Amien, pada kubu Islam miskin peluang untuk dapat menggantikan BJ Habibie. Terlalu banyak faktor daya tolak pada Habibie di kalangan Islam pula. Selain perolehan suara, image di antara kedua kubu dewasa ini telah berkembang sedemikian buruknya terutama berkaitan dengan kecurigaan terhadap beredarnya beragam selebaran gelap sesaat menjelang pemilu. Jika sudah di situ masalahnya, peluang akan datang dari Habibie (meski dalam lingkup terbatas) dengan Golkar-nya atau dari TNI/ABRI. Pertama, suara pro-status quo rupanya masih mendukung dengan takzim. Dalam perolehan pemilu 1999 yang masih dihitung ini, saya optimis Golkar setidak-tidaknya bakal meraih suara pada kisaran angka 92 kursi. Di sebelah Golkar ada Utusan Daerah 135 kursi, juga Utusan Golongan 65 kursi. Kedua unsur terakhir ini amat dimungkinkan berpihak pada kelompok status quo, karena intervensi Habibie saat penentuan nama-nama caleg besar sekali. Jika kemudian Fraksi TNI/ABRI yang memiliki suara 38 kursi juga dapat direkrut dalam posisi pendukung status quo, jumlah kelompok ini berada pada sekitar angka 375. di sana peluang Habibie, Wiranto, atau Akbar Tandjung juga besar. Angka 375 rasanya sulit diimbangi oleh kelompok reformasi. Sekuat-kuatnya parpol pemenang dalam pemilu, kursi yang tersedia cuma 462. Jika kita asumsikan PDI-P, taruhlah, mencapai suara di atas 60 kursi, lalu PKB-PAN, serta partai-partai lainnya memperoleh suara masing-masing 50 persennya, nilai optimumtetap saja 324. Itu artinya belum mampu mengungguli suara status quo yang amat berpeluang mencapai 375 tersebut. Lalu apakah dengan begitu Habibie, Wiranto, atau salah satu di antara orang Golkar dan militer akan dapat menjadi presiden? Belum tentu. Sebabnya, secara kuantitatif Habibie dan Wiranto akan memperoleh suara terbanyak. Namun, belakangan ini arus deras yang menyerang kedua elit politik warisan Orde Baru itu berkaitan dengan pengusutan KKN Pak Harto, terpaksa menyudutkan keduanya. Jika situasi-situasi seperti itu datang, Amien Rais selalu berada pada kredibilitas yang tertinggi. Namun soalnya, apakah ABRI yangberkursi 38 buah tidak keberatan jika orang yang selama ini menghujatnya menjadi presiden? Setidaknya bila dibandingkan dengan Wiranto, penerima ?Soeharto Award? ini tidak cukup mampu menjaga keamanan negerinya, sesuatu yang menjadi tugasnya. Banyak kerusuhan yang melibatkan secara personalitas dan institusionalitas, namun ABRI tidak satu pun dapat mengungkapkannya secara tuntas. Meskipun demikian, bukan berarti peluang ABRI tertutup sama sekali. Dengan jumlah kursi yang 38 serta alasan stabilitas nasional, ABRI memiliki kartu truf yang betul-betul jitu. Kartu itu yang akan dipergunakannya yang kali pertama terjadi di Indonesia. Pengakuan kembali ABRI ini juga, saya yakin, akan diprakondisikan. Seperti hukum militer di mana pun, tentara akan datang pada suatu situasi yang abnormal. Melihat berbagai kerusuhan belakangan ini, akan amat boleh jadi penciptaan prakondisi demi menjustifikasi kehadiran kembali TNI sebagai dalam politik nasional. Termasuk alasan untuk menghitamputihkan di antara kekuatan sipil yang mencoba mbalela. Jika ini terjadi, ratapan demokrasi perlu didengungkan ke seluruh negeri. Dan sia-sia belaka jika pada akhirnya pemilu serta proses-proses yang menyertainya digelar. Skenario Tetapi biarlah kita menduga yang paling tragis. Dengan kartu trufnya, TNI-ABRI akan menentukan kepemimpinan nasional bersama kabinetnya mendatang. Jika sudah demikian, hanya Wiranto, Gus Dur, dan Akbar, yang akan berperan penting (first line). Sedangkan Mega, Amien, dan Habibie akan berada ?di luar ruangan? (second line). Mengapa? Karena Mega, seperti biasa, akan memberikan cek kosong kepada Gus Dur. Amien, rasanya hampir mustahil diterima ABRI sebagai presiden meskipun secara realitas amat memungkinkan. Ini juga tergantung dari Gus Dur sendiri. Habibie, amat tergantung pada Akbar. Jika drama itu betul terlaksana, maka ada tiga skenario yang mungkin terjadi. Skenario pertama, peranan militer. Militer akan membentuk susunan kabinet yang didominasi, atau stidak-tidaknya mereferensi kubu sekuler (Gus Dur). Gus Dur atau Mega, jadi presiden. Wakilnya bisa Wiranto. Mengapa tidak Wiranto sekalian? Kalau militer berkuasa, kedengarannya tidak sedap di telinga dunia internasional. Bantuan nanti jadi seret. Politik ?dagang sapi? akan mewarnai pembicaraan tim formatur itu. Dengan mulus Gus Dur meloloskan permintaan dwifungsi ABRI. Proses peradilan agak tidak diseriuskan. Atau janji Gus Dur saat dalam berbagai kampanye, ia akan memaafkan Pak Harto jika uang KKN dikembalikan kepada rakyat untuk membeli sembako. Skenario kedua, mengikuti saran dari Cak Nur. Karena sejak semula Amien tidak mau menjadi orang kedua, maka ia mengambil langkah oposisi loyal kepada penguasa baru. Ia akan mengirimkan orang-orang PAN duduk dalam kabinet tersebut, tetapi untuk kader terbatas. Pemerintahan baru dalam lima tahun mendatang, diperkirakan akan jadi bulan-bulanan kritik Amien. Skenario ketiga, militer akan menggandeng bersama kubu sekuler dan nasionalis pragmatis. Karena apa pun ceritanya, TNI akan realistis, sebagai pemegang kunci juga. PKB dan PDI-P karena miskin teknokratis, dalam jumlah terbatas, di samping yang paling besar akan mengambil stok menteri dari Partai Golkar. Sebagai peraih suara dominan, PDI-P juga akan realistis. Dia tidak mungkin meninggalkan sama sekali kekuatan status quo sekalipun. Persoalan kredibilitas politik akan menjadi pertimbangan tersendiri pada kemudian hari. Jika ia tidak akan mengambil dari kalangan Islam modernis yang memang kaya dengan para teknokrat calon menteri, termasuk kalangan PAN, maka tak mengambil pula kader militer yang telah dipromosikan. Skenario keempat, sikap realistis menempatkan Amien sebagai presiden pengganti Habibie. Karena lebih nyaman bagi Gus Dur dan Mega untuk menitipkan paket reformasi kepada Amien. Sebab, jika kepada Wiranto, daya tolaknya terlalu besar. Kepada Habibie juga demikian. Seperti ketika Gus Dur jadi presiden Amien akan melunak. Dwifungsi secara bertahap dihapus setelah enam tahun. Pak Harto akan diampuni setelah disidangkan. Meski agak setengah hati menerima kepemimpinan Amien, apa boleh buat, itu sikap kenegarawanan para elit kepemimpinan TNI dalam era reformasi. ?    Nur Hidayat Sardini