Media : ?
Tanggal : 24 April 1999
Bertepatan dengan hari ulang tahun ke-4 otonomi daerah, hari ini (25 April 1999) DPR direncanakan mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah.
Pengesahan RUU itu, selain menggantikan UU 5/1974 yang dipandang sudah tidak kontekstual dengan zamannya, juga dimaksudkan sebagai implementasi Tap XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut saya, RUU itu tidak membawa perbedaan yang substansial bila dibandingkan dengan UU 5/1974. Yang barangkali mencolok ialah pemisahan DPRD dari kesatuan pemerintah daerah yang dalam UU sebelumnya disatukan.
Sedangkan penggunaan istilah kepala eksekutif daerah (KED) sebagai pengganti kepala daerah (KDH) dan badan legeslatif daerah (BLD) sebagai pengganti DPRD, tidak dengan sendirinya sebagai faktor pembeda, karena ternyata baik dari segi perekrutan, kewenangan, hak dan kewajiban, maupun kedudukan DPRD masih ?setali tiga uang? dengan konsep lama. Paling tidak, jika dilihat dari semangat reformasi dan tuntutan daerah yang mengemuka belakangan ini.
Karena itu ada dua catatan krusial tentang posisi KED dan WLD.
Pertama, selama ini ketidakberdayaan DPRD bukan semata-mata karena satunya dengan KDH, tapi lebih pada persoalan konstituensi dengan massa pemilih. Terdapat jarak komunikasi politik antara pemilih dan yang dipilih.
Selama ini, legeslatif daerah tidak merasa bertanggung jawab secara politik kepada publik (public accountability), karena memang perekrutannya tidak secara langsung, tetapi lewat satu paket pemilu sistem proporsional.
Dengan sistem distrik sesungguhnya jarak itu bisa diperpendek. Sayang, sistem pemilu distrik ditolak.
Kedua, karena perekrutan anggota DPRD disatu paketkan dengan perekrutan DPR/MPR, sudah dapat dipastikan bahwa anggota legeslatif daerah tak lebih dari sekedar individu-individu yang menumpang isu nasional; dan dengan sendirinya teralienasi dengan kondisi daerah pemilihannya pada saat kampanye pemilu.
Padahal, demi memberdayakan dewan, salah satu prasyaratnya adalah sistematisasi perekrutan dengan kapasitas individu ?yang dipaksa? dengan strukturalisasi dan institusionalisasi politik; meskipun hal yang demikian mengecualikan bagi individu yang sejak awal berkualitas.
Kurang Aspiratif
Di samping itu, RUU miskin akan komitmen terhadap aspirasi daerah. Sebagai contoh, untuk penyusunan APBD, dominasi pusat masih kuat. Daerah bisa dibuat tidak berdaya jika anggaran yang diusulkan tidak sesuai dengan kemauan eksekutif pusat.
Hal itu mengingat sistem anggaran yang diterapkan masih menggunakan incremental budgetting system, yang perhitungan penganggaran pembangunan bukan berdasarkan, misalnya kemauan mutlak dari daerah (zero budgetting system) namun sudah dibatasi plafonnya.
Padahal, yang namanya pembangunan daerah, terutama di luar Jawa, aspek pengalokasian itu tidak dapat meng-cover ketertinggalan daerahnya dengan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa.
Jangankan ketika berhadapan dengan pusat, berhadapan dengan eksekutif daerah saja, dewan tidak bisa secara mandiri menentukan kebutuhan dirinya.
Dari konteks itu pula, idealisasi otonomisasi daerah bakal berjalan tidak memadahi. Padahal idealnya, dalam relasi pusat dan daerah, otonomi daerah paling tidak mencakup tiga prasyarat.
Pertama, pembagian finansial dan personalia (financial and economic sharing) secara adil. Bagi provinsi Aceh, Riau, Kaltim, dan Irian Jaya, persoalan pertimbangan rezeki dengan pusat amat diperhitungkan, mengingat selama ini yang mereka terima tidak sebanding dengan yang disumbangkan kepada pusat.
Sebagai contoh, dengan jumlah penduduk 3,2 juta jiwa dan luas 1,5 kali Jawa Barat, Kalimantan Timur tiap tahun menyumbang ke Jakarta Rp 22 triliun, sementara yang kembali Rp 423 miliyar berupa APBD. Bila dikalkulasi melalui produk domestik regional bruto (PRDB), sumbangan Kaltim Rp 27 triliun lebih.
Dimaklumi saja jika angka-angka fantastik itu membikin provinsi seperti Kaltim, Aceh, Riau, dan Irian Jaya ngotot agar pembagian itu adil. Jika tidak, empat daerah terkaya itu akan say goodbye dengan Indonesia. Keempat daerah itu masih menunggu kejelasan RUU Perimbangan dan Keuangan Pusat dan Daerah itu.
Kedua, pengelolaan kekuasaan (govermental power sharing) harus diatur secara jelas. Sejauh mungkin, pusat tidak mengatur hal-hal yang praktis. Ia hanya mengatur persoalan yang strategis, menyangkut persoalan kenegaraan, bukan pemerintahan seperti sistem moneter, hankam, bank sentral, dan perencanaan pembangunan nasional.
Semangat itu rupanya tidak tampak pada RUU tersebut. Meski akan kita tunggu pengesahan RUU itu bersama perimbangan keuangan pusat-daerah, beberapa keputusan di bawah UU seperti PP, Kepres, Inpres, dan sejenisnya, hendaknya mencerminkan maksud-maksud pengelolaan tersebut.
Ketiga, pelimpahan kekuasaan bidang politik, adat dan budaya setempat (political and social cultural power, apreciate for local genius) pada daerah.
Ada kemajuan perekrutan kepala daerah; namun Pasal 34 Ayat 1 RUU Pemda itu masih menyebutkan klausul; ?Nama-nama calon gubernur dan calon wakil gubernur yang telah ditetapkan pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan presiden untuk memperoleh persetujuan?.
Bunyi Pasal itu ?karet?, karena mengundang selera pusat (Presiden) untuk menentukan orang-orangnya. Pada masa Orde Baru, rekayasa pemilihan KDH sudah menjadi kelaziman. Sebagai kesatuan wilayah hukum, daerah tidak otonom.
Itulah yang mengundang ketidakpuasan rakyat daerah untuk protes. Ketidakpuasan itu sesungguhnya juga wujud hasrat kedaulatan daerah dalam berbagai bidang, yang pada intinya pengakuan lokalitas daerah dengan segala adat istiadatnya.
Nah, posisi sentral KDH tidak bisa diandalkan karena peluang ?agen? pusat ditempatkan di daerah masih jelas terlihat dari RUU yang baru itu.
Perlu Langkah Konkret
Ketidakpuasan daerah boleh jadi akan masih marak mengemuka dalam waktu-waktu mendatang. Paling tidak, karena RUU itu sarat dengan peluang tersebut.
Panel ikatan sarjana ekonomi (ISEI) pusat dan lembaga Econit, awal April 1999, meminta DPR menunda pembahasan RUU itu. Dalam pandangan ISEI dan Econit, pembahasan RUU tersebut hendaknya jangan sekedar target waktu, demi mencitrakan yang positif kepada rezim yang sekarang.
Langkah yang tepat ialah menunggu kepemimpinan nasional hasil Pemilu 7 Juni 1999; karena di samping memiliki legitimasi yang kuat, juga karena aspirasi daerah lewat wakil-wakilnya mengundang kuat asas representativeness, sehingga temuan-temuan dari orang-orang daerah ter-cover seoptimal mungkin.
Atau, jika pun terpaksa harus hari ini disahkan, dalam paket Peraturan Pemerintah (PP) yang banyak disebut dalam RUU itu, pemerintah Jakarta hendaknya mempertimbangkan selayak-layaknya aspirasi daerah secara sungguh-sungguh.
Jika tidak, tuntutan daerah makin mengkristal dan menambah tingkat akumulasi ketidakpuasan rakyat daerah. Yang demikian itu, jangan sampai terjadi karena menjurus kepada disintegrasi bangsa.
?
Nur Hidayat Sardini, staf Penerbitan Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik (Puskodak), Universitas Diponegoro, Semarang.