Keberadaan Sentra Gakumdu Dievaluasi

Selasa, 19 Mei 2009 , 09:38:06 WIB
Keberadaan Sentra Gakumdu Dievaluasi
Media: Media Indonesia
Selasa, 19 Mei 2009 00:32 WIB
JAKARTA--MI: Sentra Gakumdu sebagai forum komunikasi antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, akan dievaluasi kembali keberadaannya. Wadah tersebut dinilai memberatkan tugas Bawaslu mengawasi pelanggaran pemilu. "UU 10/2008 itu hanya meminta untuk menyerahkan bukti permulaan, sedangkan saksi itu kan kewenangan penyidik. Waktu kita kan hanya lima hari, jelas kita tidak bisa memenuhi syarat," ungkap Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini kepada anggota dewan Komisi II di Jakarta, Senin (18/5). Persoalan kesepahaman ternyata belum tertangani dengan adanya keberadaan Sentra Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Menurut Nur Hidayat, ada perbedaan penafsiran atas pasal 257 UU  Nomor 10/2008 tentang Pemilu. UU mensyaratkan Bawaslu untuk memberikan bukti permulaan, sedangkan ketika pengaduan itu dilaporkan pada pihak kepolisian, mereka malah meminta bukti cukup agar dapat ditindaklanjuti. Padahal, UU sangat tegas mencantumkan batasan waktu dalam penanganan perkara pemilu. "Sentra Gakumdu sebenarnya menangani cukup baik, tapi penanganan terbatas karena waktu tadi. Sebenarnya, tidak masalah asal porsinya sesuai kewenangan," tandasnya. Ia menyatakan jika posisi Bawaslu tidak lebih seperti hakim garis, wasitnya adalah polisi dan KPU. Seribu kali mereka mengibaskan bendera, bila hakimnya tidak tahu dan tidak mau tahu, Bawaslu tidak bisa berbuat banyak. Bawaslu beserta jajarannya, lanjutnya, juga berada dalam dilema. Jika menindaklanjuti, Bawaslu dianggap cari muka, jika tidak, malah dianggap tidur. "Kalau boleh diusulkan, kami diberi kewenangan untuk hak eksekusi untuk pelanggaran administrasi. Dengan itu, saya jamin pengawasan bisa lebih baik lagi," ujarnya. Pernyataan senada dilontarkan oleh anggota Bawaslu Wirdyaningsih. Ia menyatakan apa yang dikatakan sejalan, ternyata belum sejalan di tingkat lapangan. Salah satunya, Bawaslu menemukan ada panwaslu di Palu melaporkan 400 KPPS setempat akibat tidak dibagikannya form C1. Tapi, polisi malah mengatakan hal tersebut tidak memenuhi unsur kesengajaan sehingga dihentikan. "Mereka meminta untuk membuktikan unsur kesengajaan, padahal kami hanya penyelidik. Kami sudah dikuatkan di atas tapi di bawah tidak terima apa yang sudah disepakati di atas," ucapnya. Pihak kejaksaan yang diwakili Jaksa Muda Pidana Umum AH Ritonga mengatakan apa yang sudah diteken dalam MoU, dapat diterjemahkan sebagai kesepahaman. Pembatasan waktu yang tertulis dalam UU, dinilainya sebagai mekanisme untuk mengatasi bolak-balik perkara. "Ini sudah diteken jadi sepahamlah," ucapnya. Hal itu mendapat tanggapan dari anggota Komisi II FPDIP Ganjar Pranowo. Menurutnya, kesepahaman tidak cukup dipahami dengan hanya karena adanya MoU. Pemahaman, sambungnya, harus, menjangkau hingga ke tingkat bawah. "Jika hukum tidak bisa menjangkau, ini bisa dijadikan catatan politik. Biar politik yang menyelesaikannya," tandasnya saat menanggapi persoalan keterbatasan waktu penanganan pemilu. Namun, pihak kepolisian yang diwakili Wakabareskrim Hadiatmoko mengatakan waktu yang digariskan peraturan cukup. Bahkan, ia percaya diri bisa menyelesaikan persoalan lebih pendek dari 51 hari. Ia menegaskan tidak memerlukan perppu untuk hal itu. (DM/OL-03)