Ancaman Tragedi Demokrasi

Senin, 17 Mei 1999 , 18:34:28 WIB
Ancaman Tragedi Demokrasi
Media : Wawasan Hari/Tanggal : Senin, 17 Mei 1999 Berbagai kerusuhan politik yang belakangan ini marak di tanah Jawa, sudah seharusnya menuntut pula pertanggungjawaban partai politik. Selama ini, jika tidak sebatas menghimbau secara moral kepada para anggota partainya ?dengan seraya melemparkan isu bahwa semua kejadian itu disebabkan oleh ulah provokator?, maka pada purna kejadian para elit partai lebih banyak mengesankan laku ?mau cuci tangan? belaka. Sehingga episode baru dari konflik yang lain dalam bentuk perang mulut di media massa, pada setiap akhir terjadi kerusuhan massal politik, seolah memindahkan konflik populis kekonflik elitis. Jika sudah begitu, solusi substansi apalagi prosesual hukumnya pun hampir pasti diabaikan. Maka jangan berharap bahwa setiap kerusuhan akan dapat diselesaikan secara tuntas. Ada tiga catatan persoalan yang melekat, sehingga mengapa kerusuhan politik itu senantiasa terjadi. Pertama, secara telanjang bahwa setiap kerusuhan politik dapat terjadi oleh karena ia difasilitasi oleh sebuah partai politik. Entitas fasilitas itulah yang menggiring massa pendukung partai politik dalam jebakan-jebakan untuk saling mendekonstruksi (baca: saling menjatuhkan) satu sama lain. Namun jangan selalu diartikan bahwa fasilitas itu semata-mata berupa materi-ragawi, seperti bendera, kendaraan, atau pun umbul-umbul partai politik lainnya; tapi fasilitas dalam artian yang sesungguhnya justru adalah ideologisasi massa pendukung, yang tentu saja direkruit secara sengaja oleh partai politik. Baik secara sukarela maupun karena alasan ideologis tertentu seperti agama, massa pendukung kemudian diorganisasikan dalam strata-strata pengurus, satgas partai, anggota biasa, ataupun simpatisan belaka. Namun pengertian identitas politik jelas akan terlekati pada mereka sebagai kader politik dan basis pendukung (constituency) dari sebuah partai politik. Dengan demikian, basis pendukung yang terbentuk itu adalah produk dari fabrikasi dan sistematisasi politik-ideologi sebuah partai politik yang telah dibangunnya. Dari fasilitas itulah yang justru menjadi kontributor terbesar dari energi dan sumber-sumber politik untuk saling mendekonstruksi satu sama lain. Kedua, oleh karena itu saya agak meragukan apakah proses industrialisasi dan fabrikasi yang dijalankan oleh berbagai partai politik selama ini berjalan secara beradab atau sebaliknya. Pertama-tama yang patut dikemukakan adalah bahwa produk fabrikasi (kader) terlihat amat militan dengan kerangka ?kacamata kuda?. Seolah tidak ada kebenaran di luar dirinya. Seperti yang terlihat di Pekalongan dan Jepara, misalnya, bergentayangan para figur kyai yang memerankan fungsi-fungsi penafsir tunggal dari ajaran agama, yang segera saja diikuti oleh kader partai dan massa pendukungnya untuk bergerak. Seberapa dahsyatnya sebuah bentrokan antarmassa pendukung partai itu terjadi, maka ia berbanding lurus dengan seberapa kualitasnya pendidikan politik yang diterapkan oleh sebuah partai politik. Jika kemudian mereka saling membunuh, maka sesungguhnya telah berjalan sebuah politisasi massa yang setara dengan strategi untuk saling membunuh pula. Temuan penelitian yang saya lakukan di Pekalongan untuk kerusuhan politik menjelang Pemilu 1997 dan yang kemudian didukung laporan-laporan pers belakang ini memperlihatkan, bahwa partai politik melakukan pendidikan politik secara tidak sehat, sarkasme, dan justru mengarahkan kadernya untuk saling mendekonstruksi kepada rival-rival politiknya lewat berbagai pengajian umum, dengan ribuan pengunjung. Ketiga, kegagalan partai dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengaturan konflik sosial (instrument of social conflict management). Sebuah partai didirikan dengan tujuan untuk melembagakan perbedaan dan segmentasi masyarakat. Justru karena dilembagakan, maka ia bertindak mencegah agar berbagai isu-isu tadi tidak ke luar dari agenda-agenda publik, yang tak lain sebagai kompensasi dari agenda-agenda terselubung (hidden agenda). Pelembagaan itu sejauh diperlukan, agar setidak-tidaknya aspirasi masyarakat tidak mubazir, di samping agar tidak meluber tanpa kanalisasi. Proses ini, dalam ilmu politik dikenal dengan penggabungan kepentingan (interest aggregation) untuk kemudian oleh partai-partai dirumuskan (interest articulation) dalam perbincangan-perbincangan tingkat publik (clearing house of ideas) tadi. Gesekan-gesekan dapat terjadi karena pemegang clearing house of ideas tadi saling tidak dewasa dalam bersikap. Kerusuhan yang terjadi belakangan ini, saya kira, dilatarbelakangi oleh disfungsionalisasi partai politik yang berkompetisi. Dalam soal ini, budaya politik rupanya tidak secara konsisten ditegakkan demi tercapainya maksud-maksud kebangsaan. Demokrasi, menakutkan Apa akibat dari demokrasi yang selalu melekat dengan kerusuhan? Maka pada publik politik merasakan sesuatu kecemasan sosial. Demokrasi dianggap menjadi momok bagi masyarakat. Pengertian politik sebagai hal yang menyeramkan, menakutkan, dan tidak ramah, dalam jangka panjang akan dimengerti masyarakat. Lebih jauh, seperti cap (stigma) yang selama ini berkembang di masyarakat awam yang menyatakan bahwa politik itu kotor (virtual), maka akan makin menemukan pengokohannya. Yang demikian ini justru mengingkari dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yang sesungguhnya mengandung kebajikan dan kebijakan, kemuliaan, serta ramah-tamah (political fatsoen). Jangan sampai apa yang terjadi di India ?di mana demokrasi dan politik itu identik dengan saling membunuh? terjadi di sini. Di samping itu, suasana yang saling membunuh di dalam politik akan memfasilitasi kembalinya ?orang-orang lama? yang sejatinya tidak rela, jika kekuasaan yang selama setahun ini lepas dari genggamannya dan jatuh ke tangan orang-orang baru. Dengan suasana chaos, maka ada alasan (justification) bagi mereka untuk kembali. Siapa saja yang menghendaki agar suasana lama kembali memerintah? Pertama, saya kira adalah mereka-mereka yang selama ini berada di balik skenario setiap kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Sejak peristiwa Banyuwangi, Kupang, Ketapang, Ambon, Sambas, Aceh, Tual, Ciamis, dan mungkin akan dilanjutkan di daerah-daerah lain, selalu saja melibatkan kelompok-kelompok ini. Penjelasan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah membantu kita untuk mengidentifikasi siapa mereka itu. Yang jelas, mereka bukan orang-orang sembarangan. Secara riil politik dan ekonomi kekuatan itu memiliki aksesitas di rusuk-rusuk kekuasaan dan proses-proses politik di negeri ini, meski identitasnya di luar jalur komando kekuasaan resmi dan tidak resmi negara. Lebih jauh, mereka adalah kekuatan yang selama ini sibuk untuk mengagendakan format-format lama. Kasus di Aceh, yang sesungguhnya hampir terselesaikan antara lain dengan dicabutnya ?DOM? (Daerah Operasi Militer) dan kedatangan Presiden BJ Habibie ke sana, tiba-tiba pada tingkat operasionalisasinya ?dipotong? antara lain dengan tidak seriusnya mereka melaksanakan keputusan-keputusan panglima tertinggi ABRI (TNI)-nya. Itu belum terlaksana, menyusul kemudian penembakan terhadap rakyat Aceh sehingga menewaskan sekurang-kurangnya 30 orang tak berdosa. Dalam dimensi lain, ?eksistensifikasi? dan ?intensifikasi? politiknya dikembalikan fungsi-fungsinya di Ambon dan menyusul di daerah-daerah lain. Bagi mereka, reformasi dipahami sebagai ikhtiar untuk menarik nafas dan menyusun langkah baru ketika menghadapi kekuatan kreativitas masyarakat yang semakin mengemuka, yang selama 32 tahun kekuasaannya cukup efektif mereka bungkam dengan seribu satu alasan demi stabilitas semu yang dipupuknya. Sesungguhnya bukan reformasi namanya jika sekedar menggantikan nama lembaga denga nama yang lainnya. Celakanya, banyak politisi kita percaya dengan tindak kamufkasenya. Padahal dalam pengertian sesungguhnya, reformasi adalah sistematis, struktural, dan secara ikhlas menempatkan profesionalisme lembaga negara untuk mengurusi tugas-tugas yang semestinya. Tumpuan sipil Jika demikian halnya, sesungguhnya reformasi di Indonesia tengah berada di ujung tanduk. Tidak saja dari dalam kekuatan sipil (civil society) sendiri, namun ancaman datang dari kekuatan mainstream selama ini. Lalu bagaimana solusinya? Jawabannya, dalam politik ?tidak ada makan siang gratis?. Artinya, kekuasaan itu harus direbut. Perebutan tidak harus diartikan secara tindak radikal, brutalitas, atau revolutif, karena yang demikian terbukti kontra-produktif belaka dan mengundang kekuatan-kekuatan lama dimaksud untuk berkuasa kembali. Namun dengan ekstraparlementer pun dan dengan dukungan penuh dari dalam parlemen, justru akan efektif keberhasilannya. Sekali lagi, kekuatan sipil (ekstraparlemen dan intraparlemen) pun boleh jadi tumpuan. Namun, tentu saja, kekuatan sipil yang pasti memiliki soliditas tinggi. Jadi, lagi-lagi demokratisasi harus dibangun dari pengertian civil society sendiri, dan bukan mengharapkan belas kasihan kekuatan di luar itu. Oleh karena itu, ikhtiar perebutan kekuasaan harus dilakukan dengan cara-cara yang diakui tidak lain demi merebut kekuasaan dengan jalan menggantikan elit-elit penguasa lama (selection of leadership). Agar mencapai maksudnya, maka pada setiap partai terdapat pengertian-pengertian (platform) yang sama. Pertama-tama harus diyakini bahwa untuk keluar dari kemelut yang menimpa bangsa ini, pemilulah cara-cara yang paling realistis, efisien, dan efektif. Untuk itu terhadap ke- 48 parpol sama-sama berpikiran tentang arti pentingnya sebuah Pemilu. Terdapat kesamaan dan kesebangunan (frame of thinking and concruency) bahwa dirinyalah pioner terdepan untuk membangun Indonesia. Kedua, jika itu sudah terpenuhi, maka kerangka kerja (frame of work) harus terumuskan pula. Meski tidak mutlak, kerangka kerja politik idealnya menuntut terbentuknya koalisi di antara parpol-parpol yang memiliki kesamaan visi, misi, dan orientasi. Jika itu tidak tercapai, maka setidak-tidaknya di antara ke- 48 kontestan meniscayakan adanya perasaan umum (common sense), syarat mutlak adanya kemandirian pemerintahan sipil yang otonom. Tidak ada saling mengecam, ?menggunting dalam lipatan? di antara segenap partai. Partai politik memang didirikan buat memperjuangkan konstituensi massa pendukung parpol yang berbeda, namun itu tidak menjadi alasan untuk saling memusuhi satu sama lain. Apa yang terjadi di Jepara, Pekalongan, seperti yang sudah saya singgung di bagian muka, adalah peristiwa terakhir pertikaian antarpartai di Indonesia. Upaya untuk saling membahu di antara satgas masing-masing parpol yang selama ini berjalan, sudah sewajarnya agar disolidkan lagi. Paling tidak itu untuk menutupi kelemahan lembaga law enforcement yang dari hari ke hari makin terreduksi kualitas kerjanya. Agar kualitas common sense tercapai, ke- 48 partai politik memerlukan suatu musuh yang sama (common enemies). Musuh rakyat, sebagian telah saya singgung di atas, adalah kezaliman politik yang pernah berjaya selama 32 tahun di bawah Orde Baru. Musuh itu bisa berupa provokator, aturan yang menjauh dari maksud baik terciptanya peluang bagi rakyat untuk berdemonstrasi sejati, ataupun individu atau kelompok yang secara sengaja ingin menciptakan suasana keruh. Parpol harus menutup peluang untuk mereka mengulangi akrobatik politiknya. Rekonsilidasi kekuatan lama boleh jadi berada pada posisi penghalang demokrasi sejati dimaksud. Jangan lupa bahwa potensi kekuatan itu masih dan kelak berada di gedung-gedung parlemen. Secara konkret saya hrndak menunjukkan betapa rekonsilidasi kekuatan lama belakangan ini sangat mungkin untuk menguat kembali. Berdastkan UU No. 4 tahun 1999, anggita MPR adalah 700 orang. Dari angka itu, 500 orang adalah (1) fraksi ABRI dengan jatah 38 orang; (2) Utusan Daerah sebanyak 135 (lima orang dari setiap daerah tingkat satu, berdasarkan pilihan tingkat DPRD I), yang sudah pasti masih dikuasai oleh Golkar; dan (3) 65 orang Utusan Golongan yang dipilih berdasarkan utusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan demikian, ke- 48 parpol kontestan Pemilu berebut kursi hanya 465 orang. Ancaman ?demokrasi? akan datang, pertama, ?Koalisi struktural dan permanen? dari kekuatan (1), (2), dan (3), yang saya perkirakan akan menguasai 34 persen di MPR terutama saat penentuan figur Presiden ke- 4, jika kemudian kita asumsikan bahwa Golkar sangat mungkin dapat memperoleh suara sedikitnya 18 persen suara kelak; kedua, mengingat keterdesakan waktu yang sempit menjelang Pemilu, kekuatan status quo dengan jaringan infrastruktur yang sungguh solid dan mapan, termasuk praktik money politics dan sikap parpol yang (telah terlalu) mengabaikan electoral process and law, jelas mengundang kekuatan rekonsilidasi dimaksud untuk keluar sebagai pemenang. Jika itu terjadi, tragedi demokrasi berulang kembali di negeri ini. ?    Nur Hidayat Sardini, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), staf pengajar FISIP Undip, Semarang.