Beberapa Catatan Penanganan Pelanggaran Pemilu: Rangkuman RDP dengan Komisi II DPR R.I.
Sabtu, 23 Mei 2009 , 15:18:41 WIBSetelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI pada Senin 18 Mei 2009, sore atau esoknya berita tentang performa pengawas pemilu, penyidik polri, dan penuntut kejaksaan dalam lembaga Sentra Gakkumdu dimuat atau disiarkan secara luas. Mungkin karena berita-beritanya dinilai menarik, maka sebagian media menjadikannya sebagai headline atau pun sub-headline, serta sebagian yang lain ditempatkan sebagai berita pemilu biasa.
Nah, pada ruangan ini saya ingin menyampaikan konsep Bawaslu yang saya paparkan di forum tersebut. Sebagian dari materi tersebut sudah dialihbahasakan dalam bentuk tindak lengkap, namun sebagian di antaranya pula perlu dikemukakan kembali di sini, dengan maksud agar sidang pembaca dapat membacanya lebih lengkap. Simak menyimak.
Cara, sikap, dan reaksi. Sebagai sebuah cara untuk memilih pemimpin, penyelenggaraan pemilu di mana pun di muka bumi ini selalu akan membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Cara, sikap, dan reaksi dalam menempatkan pelanggaran-pelanggaran tersebut pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2009 ini, sebagian memperlihatkan proporsionalitas serta memadai, namun bagi sementara pihak mengemuka cara, sikap, dan reaksi yang sebaliknya. Mereka menempatkan pelanggaran-pelanggaran sebanding dengan “instabilitas”. Namun yang penting, bagi mereka yang mengetahui filosofi demokrasi, pemilu, dan memahami secara cukup dalam penyelenggaraan demokrasi dan pemilu, pelanggaran adalah keniscayaan yang seharusnya ditempatkan secara tepat penanganan, tepat kewenangan, dan tepat pula secara hukum.
Secara pemilu standar internasional, penanganan pelanggaran adalah bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan pemilu itu sendiri—dan tidak perlu dianggap sebagai asimetris bagi ancaman pemilu. Tak lain karena pula bahwa perangkat UU yang berkait langsung maupun tidak langsung dalam pemilu sudah dirumuskan oleh para penyusunnya secara tepat penanganan, tepat kewenangan, dan tepat hukum. Apabila suatu pemilu dibiarkan untuk dimenangkan melalui cara-cara yang melanggar aturan, maka sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa orang-orang yang terpilih dalam pemilihan tersebut sebagai wakil-wakil rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Demikianlah, mengapa ada adadigum dalam diskursus politik bahwa legitimasi hasil pemilu pada akhirnya sering dikait-kaitkan dengan proses-prosesnya.
Dalam rangka melindungi kemurnian suara pemilih dalam Pemilu DPR, DPD, dan DPRD di Indonesia, UU No. 10 Tahun 2008, selain mengatur mekanisme administrasi penyelenggaraannya, juga memuat sejumlah ketentuan tindak pidana pemilu atas perbuatan kecurangan. Terdapat 2 (dua) kategori pelanggaran yang disebut dalam UU No. 10 Tahun 2008: (1) Pelanggaran tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana yang dimuat dalam 52 pasal; serta (2) Pelanggaran administrasi pemilu yang secara formal diartikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan UU 10 Tahun 2008 yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.
Untuk kepentingan kerangka penegakan hukum Pemilu, UU 10 Tahun 2008 mengatur pula mekanisme dan batas waktu penanganan kedua jenis pelanggaran serta lembaga yang terlibat dalam penyelesaiannya. Dalam konteks ini, Bawaslu bersama jajarannya diberi mandat menerima laporan pelanggaran dari masyarakat, mengkaji, dan menentukan jenis pelanggaran yang terjadi; sehingga meneruskannya kepada lembaga yang berwenang menyelesaikannya. Pelanggaran Pemilu yang bersifat administratif diteruskan kepada KPU dan jajarannya untuk diselesaikan secara administrasi. Sedangkan pelanggaran yang mengandung unsur tindak pidana pemilu diteruskan kepada penyidik polri untuk diselesaikan melalui sistem penanganan perkara pidana (polisi-jaksa-pengadilan negeri).
Selain dua kategori pelanggaran hukum tersebut, dalam penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD juga dikenal masalah hukum lain, yaitu keberatan peserta pemilu terhadap hasil Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU secara nasional. Menurut UU 10/2004, masalah hukum ini dapat diselesaikan melalui mekanisme penanganan peselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal terjadi perselisihan seperti ini, pihak yang mengajukan perselisihan langsung menyampaikan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi, tanpa melalui Bawaslu.***