Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu
Sabtu, 23 Mei 2009 , 15:29:24 WIB
Dalam taliannya dengan UU 10 Tahun 2008, ternyata jauh lebih banyak mengatur ketentuan pidana untuk mencegah perbuatan curang dari peserta Pemilu. Kendatipun demikian, ini tidak mencegah orang untuk berbuat curang, yang potensi-potensi pelanggaran menganga dalam praktiknya di lapangan.
Sebagai contoh, perbuatan seseorang yang pada masa tenang memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan maksud agar pemilih tersebut memilih calon atau peserta pemilu tertentu.
Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara UU 10 Tahun 2008 mengatur sanksi pidana terhadap KPPS yang secara sengaja tidak memberikan salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu dan/atau Pengawas Pemilu. Namun, UU ini tidak secara jelas mengatur sanksi bagi PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU, bila pada akhirnya mereka tidak memberikan berita acara dan sertifikat rekapitulasi perolehan suara kepada saksi peserta Pemilu dan pengawas Pemilu.
? Asimetris penafsiran terhadap penanganan pelanggaran Penegakan hukum Pemilu sering terhambat karena perbedaan penafsiran Penyidik Polri atas tugas dan fungsi jajaran Pengawas Pemilu terkait ketentuan Pasal 247 ayat (6) jo ayat (9) yang pada pokoknya menyatakan dalam hal laporan pelanggaran terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjutinya dengan meneruskan laporan pelanggaran pidana Pemilu kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagian aparat penyidik Polri berpendapat bahwa Pengawas Pemilu harus dapat mengumpulkan bukti-bukti untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pidana Pemilu. Dengan keterbatasan waktu hanya 5 hari untuk menindak-lanjuti sebuah laporan sejak diterima dari pelapor, mustahil bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk memastikan bahwa laporan tersebut memenuhi unsur pidana Pemilu, apalagi sumber daya manusia yang tersedia sangat sedikit serta kewenangan yang sangat terbatas.
? Perbedaan penafsiran atas ketentuan Pasal 257 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 257 mengatur bahwa putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut UU ini dapat memengaruhi perolehan suara peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Akan tetapi dari pasal yang semula dimaksudkan untuk mempercepat proses penanganan pelanggaran tersebut sehingga tidak mempengaruhi proses penyelesaian penanganan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya justru menjadi persoalan tersendiri bagi pengawas pemilu dalam menindaklanjuti temuan dan laporan kepada penyidik polri.
Laporan dari pengawas pemilu di daerah menyatakan mereka kesulitan untuk meneruskan laporan (dan temuan) kepada penyidik, terutama sejak 15 April 2009. Dilaporkan pula bahwa kasus-kasus dugaan tindak pidana pemilu selepas tanggal tersebut dinilai sudah melampaui batas waktu; sementara batas waktu yang ditentukan tersebut adalah 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional, yang jatuhnya paling lambat harus selesai pada 4 Mei 2009 karena hasil Pemilu harus sudah ditetapkan secara nasional pada 9 Mei 2009.