Media : WAWASAN
Hari/Tanggal : Kamis, 27 Mei 1999
Dalam wacana politik, kelompok status quo diidentikkan sebagai elemen-elemen lama (
establishment), yang karena performa dan reputasi politiknya selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, ia mesti dilawankan dengan kelompok-kelompok reformis. Identifikasi ini boleh jadi benar adanya, betapapun di dalamnya mengandung problem metodologis yang cukup serius.
Di samping konsepsi itu telah membuktikan bahwa tidak semua rezim yang tengah ambruk lantas dengan serta merta layak disebut sebagai konservativisme dan dengan demikian berarti ia anti reformasi; namun juga tidak semua kekuatan politik yang menyusul belakangan dengan serta merta dapat mengklaim dirinya sebagai kaum reformis atau anti-status quo. Tinjauan kritis agaknya dibutuhkan di sini.
Di samping itu, pemetaan secara serampangan (sui generis) seperti itu cenderung menyesatkan. Tidak saja bagi keperluan akademis, namun bagi masa depan demokrasi di Indonesia itu sendiri, kebutuhan pendidikan politik yang jernih dan objektif bagi rakyat tidak didapatkan.
Kecuali jika memang pendidikan politik bangsa ini ingin jatuh pada penghakiman terhadap yang benar dan membela terhadap yang tidak benar. Hal itu bukan apa-apa, oleh karena sebuah rezim pemerintahan yang semula dielu-elukan masyarakat politik, ternyata di belakang hari lebih fasis daripada rezim yang telah dijatuhkannya.
Sejarah politik bangsa ini jelas memperlihatkan demikian. Sehari sebelum Bung Karno jatuh pada tahun 1966, para elit politik nasional ?baik dari kalangan partai politik dan bahkan kaum ulamanya? masih sempat memuja-muja Bung Karno setinggi langit, tetapi keesokan hari dan hari-hari berikutnya hingga 32 tahun berikutnya, Bung Karno amat dinistakan oleh para tokoh pendiri yang belakangan disebut dengan Orde Baru itu.
Dan siapa juga mengira begitu Soeharto di-gadang-gadang oleh rakyat yang fasih menyebut dirinya pendukung Orde Baru, begitu Soeharto turun tahta setahun lalu lantas, semua orang kini lebih menistakannya. Padahal semua publik politik masih ingat betul ketika April 1998 saat Sidang Umum MPR, Pak Harto dengan suara koor dinobatkan sebagai presiden terlama dalam sejarah Indonesia; untuk kemudian dua bulan berikutnya ia diturunkan dengan cara-cara yang kurang lebih tragis dibandingkan dengan perlakuan kita terhadap Bung Karno.
Terutama para elit politik negeri ini dan juga rakyatnya, siapa pun mereka, memiliki kontribusi yang salah dalam cara mendidik rakyat bangsanya. Kedua peristiwa sejarah hitam politik kita itu, belakangan rupanya telah dan siap ditaburi benih-benihnya dalam jagat politik negeri ini. Akankah peristiwa demi peristiwa tidak menjadi pelajaran yang baik buat mengelola bangsa ini? Sedangkan yang namanya keledai pun tidak ingin terantuk pada batu yang sama?
Oleh karena itu agar kita tidak terjebak pada kamuflase seperti mengulang transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, maka ada baiknya jika kita mengkritisi setiap fenomena dan kemunculan partai politik belakangan ini dengan cukup seksama. Untuk bagaimana membedah apakah sebuah kekuatan politik atau partai politik itu reformis sejati, atau sekedar penumpang gelap (free riders) reformasi, maka tawaran tolak ukur saya di bawah ini boleh jadi dapat membantu kita di dalam mengidentifikasinya.
Pertama, reformasi itu adalah otentisitas. Kekuatan yang disebut reformis adalah kekuatan politik atau partai politik yang sejak awal tidak terlibat dalam urusan-urusan yang bersangkut paut dengan kepolitikan Orde Baru. Kekuatan lama hampir pasti tidak melekat pada dirinya. Justru ia adalah tokoh yang sejak semula menyuarakan perlunya perubahan secara substansial terhadap praktik-praktik rezim Orde Baru. Terutama lewat tokoh-tokoh pendiri suatu partai politik tertentu, keterlibatannya di masa lalu bukan sebagai mainstream tetapi sebagai figur yang sudah berani untuk menyuarakan akan pentingnya reformasi di negeri ini.
Jika seorang figur pada saat Orde Baru lagi berkuasa lalu ia tetap mengagendakan pribadinya dalam proses-proses politik, maka itu artinya ia tidak terlibat secara per definisi terhadap reformasi. Baginya, reformasi adalah suatu muatan politik yang masih membawa sifat dasar turunan yang sama (genetis) dengan bentuknya yang sebelumnya. Jika kemudian terpaksa rakyat mendengar komentar-komentarnya di media massa ?yang cenderung memanjakannya? maka dengan terpaksa rakyat menyimak setiap komentarnya itu meskipun secara tidak ikhlas. Maka hampir pasti bahwa semua tindakan itu sama artinya dengan laku ?maling teriak maling?, sementara tanpa mereka sadari bahwa hancurnya negeri ini juga berkat kontribusi mereka yang selama ini amat diuntungkan oleh kekuasaan Soeharto. Bagaimana bisa mereka disebut sebagai reformis? Bagaimana bisa ia mengklaim sebagai anti-status quo? Karena pada logika Hendardi, misalnya, jika seseorang itu berjiwa reformis maka sesungguhnya ia tidak akan lama menjabat dalam jabatan apapun ketika Orde Baru berkuasa (Kompas, 16/5/99).
Mengapa? Karena korupsi di Orde Baru sudah sedemikian sistemik, mengkultur, dan endemik. Jika ia reformis sejati sejak semula, tentu mereka yang para bekas pejabat Orde Baru dan sekarang turut teriak-teriak bahwa rezim BJ Habibie sama tidak reformisnya, jangan-jangan karena kalah dalam merebut kue kekuasaan lantas ia menakhkodai kapal reformasi demi kepentingan politiknya.
Jika itu patokannya, maka kehadiran dan keberadaan sebuah partai politik yang dipelopori oleh banyak purnawirawan dan para bekas menteri dalam rezim Soeharto yang belakangan ini paling fasih mengkritik segala kebijakan Habibie tanpa reserve sebagai rezim kepanjangan tangan dari Orde Baru, sesungguhnya mereka tengah bermain dalam logika ?maling teriak maling? itu.
Simak baik-baik tentang apa kata salah seorang bekas menteri di era Orde Baru bahwa lapangan golf adalah indikator akan kemakmuran rakyat Indonesia, yang karena kemudian diprotes para mahasiswa ia buru-buru menyalahkan kalangan pers yang telah salah mengutip pendapatnya. Kepadanya pula patut kita tanyakan mengapa SEA Games XIV yang saat ia menjabat sebagai menteri persoalan stiker dan dana-dananya belum juga terselesaikan secara tuntas? Bagaimana pula nasib rakyat Jakarta pada tahun1984 saat terjadi peristiwa Priok yang terkenal itusaat ia memegang komando keamanan saat itu? Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa rezim Soeharto itu koruptif dan birokrasinya cliptocracy, sementara ia tidak memiliki alibi kuat bahwa ia terlibat di dalamnya karena ia toh sebagai bendahara Soeharto dalam mengurus berbagai yayasan sehingga beranak pinak?
Masih untung jika pengelola Partai Golkar yang sekarang dinistakan oleh rakyat itu (karena ?dikompori? juga oleh para elit politik) bukan saat mereka yang sekarang jugaturut menabuh genderang reformasi dan beliau yang saat itu menjabat sebagai sekjennya?
Jelaslah bahwa sebagian rakyatnya juga menyimak secara seksama dan tidak secara ikhlas untuk memberinya cap reformasi karena dari segi otentisitas ia tidak berkarakter. Jangan-jangan performa politik seperti yang terlihat dewasa ini sekedar sebagai bentuk pelembagaan frustrasi yang harus diperankan berkaitan dengan kekalahan mereka karena kalah dalam pertarungan melawan duet Habibie-Akbar Tandjung dalam Munaslub Golkar 1998 lalu. Akankah masih beralibi bahwa ia bukan reformis andaikan mereka memenangkan pertarungan saat Munaslub Golkar tempo hari itu?
Dengan ukuran ini juga ke- 48 partai politik tengah berada pada kubangan konfliktual dan saling klaim untuk diakui sebagai kaum reformasi di satu sisi, serta di sisi lain diakui sebagai pro-status quo. Karena dari segi perselisihan saja Golkar masih mewarisi darah Orde Baru, maka ia terpaksa harus berada pada tempatpertama dan bahkan layak dicap sebagai sarang kaum status qois. Apapun klaim Partai Golkar dengan segala paradigma barunya itu, ia tidak bisa menjelaskan otentisitasnya dalam konstelasi politik nasional dewasa ini. Seperti dalam Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) juga, Golkar tidak layak disebut sebagai kaum reformis karena dengan itu ia membawa konotasi Orde Baru.
Reputasional
Kedua, reformasi dan anti-status quo itu adalah reputasi politik. Reputasi di sini didefinisikan sebagai jangkauan kerja demi pemberdayaan politik keseluruhan yang sempat tercatat di hati rakyat dengan tanpa klaimikal. Jadi menyangkut jam terbang (track records) apakah ia ketika gerakan reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa itu punya alibi kuat di tempat lain atau terlibat secara intens di kerumunan massa mahasiswa?
Pertanyaan itu cukup penting, oleh karena pada saat mahasiswa berdemonstrasi, bebearapa figur justru bukan berada secara fisik di tengah mahasiswa dan malah sebagian yang lain tengah melakukan shoping ke mall, misalnya. Sedangkalnya komitmen kepada reformasi lewat keterlibatan di tengah kerumunan massa mahasiswa, setidaknya indikasi paling afdol daripada, misalnya, adalah keterlibatan mereka dalam perjuangan saat menumbangkan Presiden Soeharto setahun yang lalu atau saat jauh hari sebelum proses-proses agenda perubahan bangsa.
Dengan ukuran institusi dan pribadi, reputasional menempatkan TNI dan Jendral Wiranto sebagai jelas-jelas tidak reformis. Bukan saja ia menentang profesionalisasi militer dalam tempat yang semestinya, ia juga tidak mendukung penyelesaian setiap kasus yang melibatkan korban-korban atau martir reformasi dengan penuntasan secara meyakinkan.
Demikian pula untuk menempatkan beberapa figur yang hari-hari ini dicurigai para mahasiswa ?khususnya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)? yang ingin menganugrahi ?Soeharto Awards? kepada Jaksa Agung Andi M Ghalib dan Jendral Wiranto adalah stigmatisasi publik politik terhadap aspek reputasinalitasnya yang dipandang tidak mendukung reformasi di Indonesia.
Empiris-substansialis-strukturalis
Ketiga, reformasi atau anti-status quo adalah persoalan empiris-substansialis. Reformasi mendorong perubahan substansial, sistemik, dan struktural, serta pada saat yang sama ia menjauhkan sikap-sikap konservatisme politik. Politik konservatif adalah pelestarian nilai-nilai lama yang dilakukan oleh Orde Baru untuk kemudian ingin dikembangkan hingga hari-hari ini.
Suatu reformasi mustahil tanpa menuntut perubahan yang substansial dan bila perlu radikal, namun konstitusional. Orang atau parpol yang mempertahankan nilai-nilai lama Orde Baru, berarti orang-orang konservatif. Di negeri Inggris, Partai Buruh digolongkan sebagai partai konservatif, oleh karena ia lebih suka mempertahankan aristokrasi lama, dan ia paling getol mempertahankan sisi-sisi yang menguntungkan para pengelola kekuatan lama itu.
Lantas apa yang sering dipertahankan oleh Orde Baru yang kita anggap sebagai kekuatan lama dan paling anti terhadap perubahan substansial, sistemik, dan struktural itu? Pada era kekuasaannya, Orde Baru amat alergi terhadap: (1) gugatan terhadap dwifungsi TNI-ABRI; (2) reformasi di bidang konstitusi negara termasuk kemungkinan amandemen UUD 1945; (3) pengusutan terhadap Soeharto; dan (4) mendorong budaya politik yang mengarah pada demokratisasi.
Jangankan menggugat, Orde Baru justru amat menjauh dari keempat semangat entitas tersebut. Oleh karena itu Orde Baru mati-matian untuk mempertahankannya. Partai apa saja yang belakangan ini tidak mendorong semangat dari reformasi keempatnya, berarti ia pro status quo bahkan lebih dari itu ?oleh karena keempatnya dianggap sebagai biang multikrisis yang terjadi di Indonesia belakangan ini? maka layaklah mereka disebut sebagai lebih dari sekedar pro status quo.
Siapa saja mereka? PDI Perjuangan yang disebut-sebut sebagai reformis rupanya menyimpan pandangan-pandangan yang konservatif dan tidak meniginginkan perubahan alias tidak reformis. Seperti ditulis oleh tabloid Aliansi Keadilan (No. 12/Th. I/17-23 Mei 1999), bahwa PDI Perjuangan pimpinan Megawati yang dianggap sebagai musuh pemerintahan Orde Baru, menyimpan pandangan-pandangan yang konservatif seperti pola lama. Misalnya soal amandemen UUD 1945, PDI Perjuangan menolaknya. ?Kesalahan dalam memimpin negara, bukan karena UUD-nya yang salah, tetapi pemerintahan yang menyelewengkan peraturan,? kata Kwik Kian Gie, Ketua PDI-P seperti dikutip Jawa pos. oleh karena itu, PDI-P menolak dilakukannya amandemen UUD 1945.
Demikian pula pandangannya terhadap pencabutan dwifungsi TNI-ABRI. Partai berlambang banteng itu menolak mentah-mentah sebagaimana ditulis sendiri oleh ketua umumnya, yang tertera dalam buku Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri. Karena ingin mempertahankan cara-cara lama itulah, menurut Idria Samego menempatkan figur Megawati dalam kelompok pro status quo. Bahkan PDI-P bukan saja pro status quo (terhadap) zaman Soeharto, tetapi malah zaman Soekarno. ?Diajak debat saja dia tidak mau, itu kan simbol dari sikap ingin melembagakan tradisi,? kata peneliti LIPI itu. Jadi status quo adalah sikap politik ingin mempertahankan kekuasaan dan tidak ingin berubah.
Di antara ketiga patokan di atas, sesungguhnya dapat dirunut patokan-patokan lainnya sehingga sebuah partai dapat disebut pro status quo atau bukan. Patokan lain itu, misalnya, bagaimana keterlibatan keluarga Cendana yang belakangan ini menguat kembali dan masuk ke dalam beberapa partai politik; juga bagaimana keterlibatan militer yang jelas-jelas jauh dari karakter reformasi dalam dirinya.
Catatan akhir
Apa pun ceritanya, tidaklah kita bisa meng-gebyah-uyah terhadap partai-partai status quo berdasarkan pada klaim dari partai yang bersangkutan. Sudah saya singgung, bahwa di samping itu amat menyesatkan, juga pemujaan terhadap partai politik tertentu selama ini dimanja oleh media massa, misalnya, kemudian rakyat mengamini saja apa yang dikupasnya di sana sesungguhnya kita tengah memotong urat nadi demokrasi yang tengah kita bangun belakangan ini.
Ada tiga alasan untuk menguatkan pendapat demikian. Pertama, sejarah politik di negeriini telah memperlihatkan bahwa ketika Orde Baru berdiri, semua orang berharap banyak, bahkan baik dari kalangan seniman, penyair, maupun kalangan kampus sama-sama berharap setinggi-tingginya. Bahkan seorang Mochtar Lubis, si kepala granit itu, pernah berharap besar terhadap partai Golkar dengan menyatakan: ?Satu-satunya cara untuk memperbaiki republik ini adalah dengan jalan memenangkan Golkar,? suatu ketika di bulan Mei 1971, sesaat menjelang Pemilu seperti yang dikutip buku Sejarah Pergerakan Pemuda Indonesia karya Peter Tomasoa.
Kedua, mengklaim diri sendiri dan menuduh partai lain serta orang-orang di luar mendukungnya, maka proses demokratisasi hampir pasti tidak dapat diharapkan dari laku-laku yang demikian. Yang ingin kita bangun dari era multipartai itu sesungguhnya adalah bahwa nilai demokrasi akan dikembangkan berdasarkan pengedepanan rasionalitas berpikir, bertindak, serta menjunjung dipersonalisasi institusi dan deinstitusionalisasi personalitas seseorang. Indonesia baru yang ingin dikembangkan ialah Indonesia yang bertumpu pada kesisteman; bukan berdasarkan kultus individu yang diikuti rakyatnya tanpa reserve. Dua figur rezim sebelum ini hendaknya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi rakyat ini dalam membangun Indonesia Baru.
Ketiga, tuduhan kepada sebuah parpol yang berkuasa secara sembarang tidak saja, akan mematikan kreativitas reformasi di dalam partainya. Yang karenanya kita dorong untuk semua parpol di Indonesia, mobilisasi pembentukan opini hanya akan menambah keroyokan politik yang mengilhami terjadinya kekerasan politik. Seperti yang selama ini terjadi, keroyokan politik mewarnai kepolitikan di tanah air khususnya di tanah Jawa. Oleh karena biasanya para elit partai sebagai tumpuan dari hampir semua kerusuhan, maka tidaklah patut jika kemudian kita juga berlaku melestarikan nilai-nilai ademokrasi dimaksud.
Dari bangun pemikiran tersebut, dengan demikian, kita tidak dengan serta merta gebyah uyah kepada figur atau pun institusi sebuah stigmatisasi reformis atau status quo sehingga karena seseorang figur dimanja oleh media massa secara tidak proporsional bahkan, lalu dengan itu pula kita secara emosional lantas mengamini begitu saja. Yang perlu dilakukan justru empirisi sosial di lapangannya kelak. Dan, tetap saja sejarah peradaban bangsa-bangsa di muka bumi hanya ingin membuktikan dua hal saja: hanya loyang akan dikatakan loyang, dan emas akan dicap emas.
?
Nur Hidayat Sardini, staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang.