Janji saat Kampanye, Cerita Buram Demokrasi

Jum'at, 28 Mei 1999 , 17:57:07 WIB
Janji saat Kampanye, Cerita Buram Demokrasi
Media : SUARA MERDEKA Tanggal : 28 Mei 1999 ?kita akan bangun pasar modern di wilayah Ampera ini jika saudara-saudara pada hari Pemilu 1992 ini mencoblos tanda gambar Golkar?, begitu sepotong janji yang diucapkan JB Sumarlin pada musim kampanye Pemilu 1992, yang disaksikan 4000-an saksi mata rakyat daerah Ampera, Jayapura, Irian Jaya. Dan, rakyat pun seolah terbius oleh janji Sumarlin. Kerana kemudian, mereka benar-benar memenangkan Golkar dengan angka mendekati 100%. Tapi apa yang terjadi setelah lima tahun kemudian? Bukannya perbaikan pasar yang didapat, melainkan keputusan Pemda setempat agar keberadaan mereka segera dipindahkan ke wilayah pinggiran. Dan benar saja, posisi mereka segera digantikan dengan para pedagang bermodal besar yang kebanyakan berasal dari luar pulau Irian Jaya. Ketika mereka menagih Sumarlin, jawabnya enteng saja, ?Saya tidak pernah menjanjikan apa pun di hadapan mereka. Saya Cuma menyatakan, pembangunan pasar perlu diselesaikan sesuai jalur yang semestinya?. Cerita di atas mewakili sisi buram Kampanye dan Pemilu selama Orde Baru. Dan saat era multipartai, dengan jumlah 48 partai politik, akankah cerita buram demokrasi itu bakal terulang? Jawabannya memang tergantung pada banyak faktor. Selain menyangkut integritas moral dari partai politik yang bersangkutan, ia terkait juga dengan kontrol rakyat yang di saat Orde Baru belumlah tumbuh. Kalau pun keterlibatan LSM dalam mengadvokasi soal ini, biasanya tidak diikuti klaim rakyat pemilih yang merasa pernah dijanjikan oleh sebuah partai politik. Politik represif Orde Baru barangkali memaklumi (excuse) soal tuntutan itu tidak mengemuka. Lewat kecenderungan politik yang ada, potensi terjadinya kasus serupa boleh jadi akan lebih dahsyat, justru bersamaan dengan menguatnya politik rakyat belakangan ini. Obral janji Seperti dalam ilmu ekonomi, dalam wacana politik pun dikenal adanya kalangan (scarcity) sumber-sumber politik. Dari ke- 48 partai politik yang mulai berkampanye, kompetisi tentu akan makin seru. Jumlah kursi parlemen yang diperebutkan tidak murni500 buah. Karena berdasarkan UU Politik baru, ABRI telah dijatah 38 kursi. Sehingga dari 48 kontestan, nilai objektif maksimum yang mungkin diraihnya Cuma 462 kursi. Dari fakta lain, kini siap bertarung lebih dari 12.000 calon legislatif untuk memperebutkan kelangkaan sumber-sumber politik dimaksud. Dapat dibayangkan, betapa pihak-pihak yang berkompetisi akan bertarung habis-habisan untuk menjadi yang terbaik. Kondisi ini akan diperparah oleh realitas; partai-partai besar sekaliber PAN, PDI Perjuangan, PPP, serta sejumlah partai lain akan bertarung di suatu daerah yang sama. ?The killing field? yag sama. Semisal Amien Rais, Megawati, Hamzah Haz, Akbar Tandjung, akan memperebutkan DKI Jakarta sebagai basis dukungannya. Itu artinya, parpol tidak ingin kehilangan muka seandainya figur ketua umumnya gagal masuk ke parlemen gara-gara tidak meraih suara. Jika itu terjadi, pamor partai akan runtuh karenanya. Bila dicermati dari sumber daya politik yang ada, kecuali Golkar, sumber daya ke- 47 kontestan boleh dibilang miskin gagasan. Termasuk juga miskin pengalaman operasional di lapangan politik. Kecuali sekedar pintar berteriak-teriak jika mengecam Orde Baru, banyak figur politikus pendatang baru tidak cukup memiliki sumber-sumber daya politik yang memadahi. Secara ekonomi dan politik, sebagian partai politik powerful. Tetapi, sebagian yang lain miskin, bahkan hampir seluruh persyaratan minimal sumber daya untuk disebut sebagai sebuah partai politik, termasuk dari segi finansial. Oleh karena itu, elemen kampanye adalah metode politik termurah dan termudah bagi peraihan sebanyak-banyaknya dukungan. Jika demikian halnya, kampanye dapat dijadikan strategi terampuh dalam penggalangan dukungan, termasuk kemungkinan mengobral janji politik. Tetapi, sesungguhnya partai politik tidak perlu terjebak dalam janji-janji politik. Peluang untuk tampil prima, ramah, dan yang kumedol (selling point) pun masih terbuka luas. Pertama, pribumisasi program-program yang sekarang dibutuhkan rakyat. Publik politik yang cenderung enggan dengan ?harmokoisme?. Harmokoisme didefinisikan sebagai wacana formalistik, bahkan ideologistik belaka, ketika harus mencari sebuah solusi terhadap berbagai kebutuhan rakyat. Zaman sekarang bukan era mimbar pidato dengan aktor yang mulutnya berbusa-busa ketika membedah berbagai persoalan pragmatis rakyat. Jadi, jika anda kebetulan seorang juru kampanye dan kebetulan ingin mengangkat tema-tema pendidikan nasional, tidak perlu muluk-muluk seraya mengatakan di hadapan massa; perlunya sebuah sinkronisasi antara pendidikan agama, pendidikan sekuler, atau perlunya menghapus SPP. Di samping bisa jadi bumerang di kemudian hari karena jelas sulit direalisasikan, yang jelas konsep-konsep kenegaraan di Indonesia ini terlalu sempurna untuk sekedar diulang-ulang. Anda cukup saja berorasi soal mengatasi perkelahian pelajar yang kini mulai marak di beberapa daerah. Anda juga siap-siap saja menerima kenyataan jika tiba-tiba akan ditinggalkan massa kerumunan, karena sekedar bicara ekonomi kerakyatan namun pada saat yang bersamaan tidak bisa menjelaskan makna konkretisasi dari ekonomi kerakyatan tersebut. Karena bagi pemahaman rakyat, ekonomi kerakyatan adalah bagi-bagi bahan pangan dan duit dalam program JPS. Kedua, cara Al Gore dan Clinton berkampanye. Sepertinya partai politik di sini perlu mengkaji konsep kampanyenya Presiden Bill Clinton dengan putting the people first-nya. Clinton membagi kebutuhan rakyat Amerika Serikat dengan tiga hal besar; kesempatan kerja, pendidikan, dan kesehatan. Sewaktu ia kalah dari Frank White (Partai Republik) untuk kali kedua menjadi Gubernur Negara bagian Arkansas dalam tahun 1982, ia memulai strategi kampanyenya dengan jalan berkeliling ke seluruh negeri, bahkan ia tempuh dengan jalan door to door. Ia yakinkan penduduk Arkansas, ia mampu untuk memperbaiki metode dan program memulai ujian bagi siswa kelas tiga, enam, dan delapan, pada sekolah elementer dan menengah di Arkansas, serta program menaikkan gaji guru. Di samping itu, ia juga mendorong orang tua agar ikut dalam pendidikan anak-anak mereka. Standar pendidikannya yang baru ternyata menjamin; setiap anak di Arkansas, tanpa memandang ukuran dan kekayaan lingkungannya atau keluarganya, akan menerima kualifikasi pendidikan tertentu. Seperti yang dimuat dalam United States Information Service (USIS, 1996), bersama Al Gore saat pemilihan kandidat Presiden Amerika, Clinton sering berangkat ke kantor dengan bus umum untuk bertemu rakyat Amerika guna mendengarkan keprihatinan mereka serta harapan mereka pada masa depan. Dengan konsep ?dahulukan rakyat?, Gore dan Clinton mengajak rakyat Amerika untuk melestarikan Impian Amerika, memulihkan harapan kelas menengah, dan mengembalikan masa depan anak-anak Amerika. Maka tak ayal, ketika hari pemilihan (3 November 1992), pemilih beramai-ramai memilihnya sebagai presiden ke- 42 dan wakil presiden ke- 45 Amerika, bahkan rakyat mengulanginya untuk jabatan kedua kali hingga sekarang. Dan ini yang lebih penting, Clinton dan Gore bisa membuktikan semua ucapannya karena didukung oleh tim politik yang kompak. Biar pun badai Monica Lewinsky, rakyat Amerika tetap mempercayainya. Ketiga, dengan meminjam teori Amitai Etzioni (1982), saya membagi massa pemilih di Indonesia dengan tiga klasifikasi; Massa Moral, Massa Kalkulatif, dan Massa Alienatif. Identitas politik massa yang pertama lebih berbasiskan pada pemegangan terhadap norma agama dan norma sosial lainnya sebagai orientasi politiknya. Massa kedua berorientasi pada rasionalitas. Dan, massa ketiga memilih konotasi unjuk kekuatan. Selain ketiganya, menurut saya masih terdapat massa cair atau massa mengambang (liquid mass, wings voters). Mereka lebih suka nonpartisan, meskipun tetap ingin berpartisipasi dalam setiap proses-proses politik, termasuk dalam pemilu. Pawai Dalam hal ini, pawai mungkin efektif dilakukan, meski hendaknya elit partai politik menerapkan kampanye yang mendidik dengan titik-titik tekan yang koordinatif di antara satgas dan aparat keamanan. Pawai dan arak-arakan diperbolehkan. Namun yang perlu diingat, massa kalkulatif sering tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan politiknya, dan cenderung tidak digarap oleh banyak partai, kecuali bagi mereka yang sejak semula telah jadi partisan pada sebuah partai politik. Di samping itu, pemilih pemula dan massa mengambang (wings voter), selama ini belum tersentuh secara maksimum. Untuk itu, langkah pembuatan selebaran, seri pendidikan politik, atau pamflet-pamflet politik pum sesungguhnya disukai oleh massa pemilih ini. Dan satu hal yang perlu diingat, identitas politik di antara massa kalkulatif dan massa mengambang itu, kurang suka dengan cara-cara unjuk kekuatan, bahkan cenderung sinis jika melihat massa alternatif berarak-arakan di jalan. Bagi mereka, partai yang berkampanye dengan menanam sejuta pohon, misalnya, di samping sesuai dengan humanisme global, seluruh lingkungan politiknya juga bisa merasakan secara riil. Partai politik sejenis ini justru akan banyak mendapat simpati kelas-kelas menengah dan terdidik dalam jangka menengah dan panjang, karena tidak akan terjebak dengan janji-janji politik. ?    Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang.