Jangan Mematikan Kreativitas Anak Muda

Senin, 07 Juni 1999 , 20:04:45 WIB
Jangan Mematikan Kreativitas Anak Muda
Media: Tabloid Berita Mingguan BENTENG Hari/Tgl: 07 ? 13 Juni 1999 Ada dua perspektif jika kita membahas posisi komunisme di Indonesia. Pertama, komunisme adalah sebuah paham yang pernah dieksperimentasikan dalam sejarah Indonesia sepanjang abad ke- 20 ini. Tentu ada luka sejarah terutama buat umat Islam karena eksperimentasi yang dilakukan para agen komunisme (baca: PKI) itu. Ribuan ulama, kyai secara biadab dibantai PKI di tanah Jawa. PKI punya alasan segudang untuk membantai para ulama dan kyai di tanah Jawa, misalnya, karena pemimpin Islam dianggap PKI sebagai ?kerikil dalam sepatu?. Baik karena para ulama secara konsisten menolak sekularisme dan bahkan atheisme yang selalu dilontarkan elit-elit PKI, maupun secara konsisten (istiqomah) para kyai dan ulama di tanah Jawa memiliki akses ekonomi cukup kuat sepanjang abad ke- 19 itu. Sementara eksperimen politik yang diidekan PKI adalah ?sama rata sama rasa?, sehingga pembantaian terhadap para kyai dan ulama dianggap melapangkan jalan bagi terwujudnya ?masyarakat tanpa kelas?. Dibandingkan yang TNI/ABRI alami, misalnya, derita umat Islam di Indonesia lebih mengerikan akibat eksperimen PKI dimaksud. Tapi lewat berbagai buku-buku sejarah di bangku SD hingga SMA, ini terutama pada era Orde Baru, terlihat seolah-olah hanya TNI/ABRI-lah yang paling dirugikan oleh polah tingkah politik PKI. Makin jelas asumsi saya jika anda termasuk orang yang paling rajin menonton film Penghianatan G 30 S/PKI, yang ditayangkan di TVRI saban tahun pada saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Dalam film itu dideskripsikan betapa bahayanya PKI. Dan TNI/ABRI akan terdepan untuk mencegah bakal lahirnya bahaya latensi kaum komunis di Indonesia. Maka dieksploitasilah kematian 7 pahlawan revolusi dalam film arahan sutradara Arifien C. Noor sedemikian eksploatif dan menimbulkan sentimentalisme di kalangan rakyat. Kedua, sejak Orde Baru runtuh banyak desakan dari kalangan ilmuwan sejarah maupun tokoh masyarakat untuk merevisi teks-teks sejarah Indonesia. Mereka pandang penulisan sejarah yang dilakukan Orde Baru tidak objektif, tendensius dan sekedar mempahlawankan figur Soeharto sebagai pelaku sentral dalam setiap sejarah yang terjadi. Dalam film G-30 S/PKI, misalnya, bagaimana Soeharto digambarkan sebagai juru selamat, sehingga ?keberhasilannya? mampu menegakkan kelahiran Pancasila kembali (mungkin yang dimaksud bukan Hari Kesaktian Pancasila, tapi Kesaktian Soeharto dalam menumpas pemberontakan PKI?). Apa yang dimanipulasikan Soeharto sehingga setidak-tidaknya mengaburkan pengertian hari kelahiran Pancasila dan mengaburkan Bung Karno sebagai penggali mutiara Pancasila. Jika sekarang ada kekhawatiran akan bangkitnya kembali komunisme di Indonesia dan kita dituntut untuk selalu waspada, saya kira boleh-boleh saja. Toh kewaspadaan bukan saja kepada bahaya laten komunisme, tapi pada semua ide0ide yang bakal menimbulkan destrutivitas sosial di belakang hari. Kalau kemudian ada Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang banyak menampung eks Gestapu, saya kira karena kesalahan Orde Baru sendiri saat mengelola negara ini. Sebagai kekuatan politik, PKI hampir bisa dijamin tidak akan tumbuh. Di samping sandaran kiblat komunisme dunia sudah hancur satu per satu, juga ?dugaan? kekuatan komunisme itu tumbuh bukan karena ideologis lagi, tapi karena hasil management of fear yang dikelola Orde Baru. Lahirnya PRD semata-mata persoalan respon anak muda Indonesia atas kesewenang-wenangan Orde Baru. Banyak sisi-sisi dari hasil pembangunan tidak menguntungkan sebagian besar rakyat: tanah digusur, pengangguran meningkat, kepastian masa depan anak-anak muda tidak jelas. Sebagai orang kampus dengan bacaan yang luas, seperti Bung Karno dulu juga begitu saat menghadapi kolonial Belanda, mereka berontak terhadap zamannya. Dan harus diakui, jatuhnya Soeharto juga berkat keresahan anak-anak muda seperti Budiman Sujatmiko itu. Dan barangkali Amien Rais, Megawati, Yusril, atau siapa pun tokoh politik di era multipartai ini harus berterima kasih kepada Budiman dan juga Sri Bintang Pamungkas. Belum tentu juga Habibie bakal jadi presiden sekarang ini. Tanpa keduanya dan juga mereka yang jadi martir Orde Baru, harapan menuju Indonesia Baru boleh jadi sekedar utopia. Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, dan Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES), Semarang.