Media : SUARA MERDEKA
Hari/Tanggal : Jum?at, 11 Juni 1999
Pemilu 1999 ini pada akhirnya akan menempatkan
bipolarisasi partai-partai berbasiskan Islam di satu kubu, versus partai-partai nasionalis dan sekuler pada kubu yang lain. Hal itu nanti akan terlihat jelas pada saat SU MPR. Dengan mengecualikan eksistensi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya perkirakan akan keluar dari jaringan kubu politik Islam ?tidak seperti yang ditunjukkan parta NU pada tahun 1955 saat di Masyumi?,
bipolarisasi itu relatif mereproduksi sejarah politik Pemilu 1955 serta polemik-polemik yang menyertai sesudahnya. Persis seperti polemik di Badan Konstituante sebagai hasil Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 itu.
Dalam menganalisis akan kemungkinan itu, saya tidak sendirian.
Pertama, seorang Marcus Mietzner, Indonesianis kita dari universitas nasional Australia (ANU), menyatakan, kompetisi pemilu di Indonesia bakal menempatkan secara
vis-ā-vis dua kubu aspirasi utama; sekulerisme dan Islam. Sebagai sebuah realitas budaya politik, kedua subkultur politik itu memang pernah bernasib sial. Bung Karno dan Pak Harto pernah membenamkan ke dalam struktur masyarakat Indonesia.
Kedua, secara dini pada saat sejumlah parpol belum diverifikasi Tim 11 yang diketuai Prof Nurcholis Madjid, Dr Riswanda Irawan mengklasifikasi ke- 64 parpol dalam empat kategori besar: 1. Partai Keagamaan; Islam dan Kristen, 2. Religius Demokratis, 3. Nasional Pragmatis, dan 4. Nasionalis Demokratis (Tajuk No. 16, 1 Oktober 1998).
Ketiga, dalam buku Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, secara telanjang Al-Chaidar (1999:16) membagi partai-partai yang tumbuh bak jamur di musim euforia politik itu dengan kacamata teoritik Qur?anik; yakni partai Allah (hizbullah) dan partai Syaitan (hizbussyaitan), dengan menyatakan, dalam Al-Qur?an digambarkan secara sederhana dan semua warna dinyatakan dengan hitam-putih.
Di samping diilhami oleh ketiga pemikiran tersebut, tulisan ini dipengaruhi secara terbatas atas tesis yang telah dikembangkan Geerzt (1981) maupun Feith & Castle (1970). Konstruksi pijakan kategorisasi didasarkan atas variabel basis ideologi, subkultur politik, maupun kecenderungan kinerja ke- 48 parpol yang diperlihatkan selama ini.
Kubu Islam
Ada tiga jawaban mengapa politik perkubuan itu bakal muncul kembali dalam jagat politik kita setelah Pemilu 1999.
Pertama, menguatnya kembali isu-isu primordial (
primordial attachment) di kalangan parpol Islam sebagai reaksi atas terkonsolidasinya kekuatan nasionalis, tradisionalis-sekuler, dan kekuatan non-muslim dalam wadah PDI-Megawati.
Sulit diingkari, betapa pun secara eksplisit asumsi ini ditolak, namun kesepakatan pembagian sisa suara (stembus accoord) hasil Pemilu 1999 di antara partai-partai yang berasaskan Islam ditempuh, antara lain demi membendung arus deras PDI Perjuangan. Siapa tidak grogi jika PDI-P bersama sang fenomenal Megawati dalam setiap kampanyenya di seluruh Tanah Air memerahtotalkan massa. Di Bandung dan Jakarta, diperkirakan seperempat juta massa tumplek blek di jalanan.
Dengan fenomena itu, kekhawatiran kemenangan Mega menghinggapi benak elit-elit politik kalangan Islam. Dalam sebuah tulisan di tabloid Abadi (18-24 Shafar 1420) milik Partai Bulan Bintang (PBB), misalnya, Hartono Mardjono melukiskan kesepakatan ke- 8 parpol Islam itu sebagai ?kesepakatan yang bermakna dalam dan luas?. Mendalam karena tidak saja ia sekedar kemungkinan akan bertambahnya kursi yang bakal diperoleh partai-partai Islam yang dapat diukur secara takaran kuantitatif, tetapi juga lebih bermakna kualitatif bahkan bermakna spiritual.
Penyerahan sisa-sisa suara yang dimiliki partai-partai Islam kepada salah satu partai Islam lainnya pasti terjadi dengan rasa keikhlasan, sehingga akan menghadirkan tambahan wakil rakyat yang pasti beragam Islam pula karena semua calon yang diajukannya adalah muslim.
Peristiwa itu perlu dicatat, demikan lanjut Mas Ton, panggilan akrab Hartono Mardjono, tokoh penting sayap Islam, karena saat ini sudah ada parpol tertentu yang mengklaim dirinya nasionalis, tetapi justru mencalonkan lebih dari 50% calon-calon non-muslim. Padahal dalam berbagai pidato dan spanduk, partai tersebut menggunakan kata-kata yang seolah islami, bahkan membawa-bawa kata-kata ?Allahu Akbar?.
Kendati secara eksplisit tidak menyebut nama parpol, agaknya siapa pun tahu, tulisan Mas Ton agaknya menunjuk PDI-P. Dari rekonstruksi tulisan Mas Ton itu pula, setidak-tidaknya tiga harapan bisa didapat.
Pertama, setidak-tidaknya stembus accoord akan dapat melahirkan konsep-konsep pemikiran islami, sebagai sumbangan parpol-parpol Islam dalam mengatasi dan memecahkan berbagai masalah nasional yang tengah dihadapi bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, kesepakatan itu serta multiplier effect-nya bagi umat dan parpol Islam telah tersedia sarana fisik yang akan dijadikan kendaraan perjuangan bersama. Ketiga, dengan inilah parpol Islam dapat lebih efektif menyusun konsep bersama, mengartikulasikan prinsip-prinsip ajaran Islam untuk ditransformasikan ke dalam tatanan hukum-hukum positif di negeri ini. Bila kini telah dibuat serta berlaku sebagai hukum positif, maka kompilasi hukum Islam di bidang-bidang perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan shodaqoh, bukan merupakan hal mustahil bila dalam waktu dekat ini juga bisa dibuat dan dijadikan hukum positif. Kompilasi Hukum Islam di bidang muamalat (perdata), khususnya yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan keuangan.
Faktor Gus Dur
Jawaban
kedua, kekhawatiran kalangan parpol Islam makin tegas pada saat performa politik Gus Dur lebih banyak berkiblat kepada Mega. Jika Gus Dur-Mega berkoalisi lantas membentuk pemerintahan baru, sudah pasti sekulerisme akan digaransikan sebagai platform politik kaum sekuler itu.
Dengan demikan, persekutuan Gus Dur-Mega dapat merusak kepentingan politik Islam di Indonesia, yang sejak dekade awal 1990-an signifikan bagi kepentingan umat. Hal itu bakal menjadi kenyataan Solahudin Wahid, tokoh terpenting dari kubu Islam, lewat beragam tulisannya yang selalu ingin mengimbangi pemikiran-pemikiran kakak kandungnya itu.
Corak yang relatif menonjol lewat polemik yang pernah dimuat di Media Indonesia, Kompas, dan Jawa Pos, yang cukup konsisten di Indonesia. Bahkan menurut pandangan Solah, Gus Dur adalah sang Kemalis, pengagum Kemal Pasha, seperti halnya Bung Karno yang hendak memproyeksikan negara Indonesia sebagai Turki kedua Asia.
Dalam wawancara dengan majalah Sahid (Februari 1999), Solahudin menandaskan, jika Gus Dur leading pada Pemilu 1999, Gus Dur ingin mewujudkan semua jalan pikirannya selama ini, seperti ingin membuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Bersamaan dengan itu, peluang deformalisasi Islam serta semua produk struktur dan kultur Islam (di) Indonesia akan didekonstruksikannya.
Itu artinya, secara diametral akan berlawanan dengan kepentingan kubu Islam yang amat menitikberatkan perlunya pemahaman dan praktek kebangsaan dan kenegaraan berdasarkan nilai-nilai Islan yang sudah tertuang dalam beberapa hukum positif di Indonesia.
Dengan pilihan-pilihan pertemanan pada kalangan non-muslim dan kaum nasionalis secara luas, serta pada saat yang bersamaan relatif menjauh terhadap kalangan Islam Modernis, Gus Dur hampir mempertaruhkan kemampuan pikiran-pikiran besarnya dalam mewujudkan semua cita-cita besarnya.
Jika kemudian ia menemukan momentum, langkah strategis yang ia tempuh adalah instrumentasi politik mutakhir di Indonesia lewat Pemilu 1999. tiada jalan lain, dalam rangka merealisasikan ide-ide besarnya itu, kecuali menjalin aliansi ideologis, aliansi strategis, dan aliansi taktis dengan kelompok sekuler di Indonesia pada Pemilu 1999 ini, saya anggap sebagai episode terakhir dari jalan pikiran Gus Dur sejak mengemukanya secara deras subkultur ?Islam Politik? di Indonesia pada awal dekade 1990-an.
Bagi Gus Dur, seperti ditulis Andree Feillard dalam buku NU
vis-ā-vis Negara (1990), justru tidak cerdas jika ia bergandengan tangan dengan yang seharusnya ia dekonstruksikan. Bagaimana bisa secara efektif jika kekuatan itu ke dalam (within), namun pada saat yang bersamaan ia hendak beragenda lain. Jadi, dalam rangka merealisasikan paham-paham dari Gus Dur, langkah paling tepat ialah menyusun kekuatan. Dan kekuatan ia dapatkan bukan dari kelompok Islam, namun justru berada di kelompok nasionalis-sekuler.
Ketiga, jalan asimetris yang diperlihatkan Gus Dur dan kubu Sekuler di satu sisi, serta kubu Islam di sisi lain, sesungguhnya edisi terakhir dari sebuah rivalitas konflik dari akar sejara politik yang panjang. Pertama-tama bahwa Gus Dur mewakili kelompok subkultur politik Islam Tradisionalis dengan basis utama di NU. Hampir pasti bahwa sejak menyurutnya politik tradisionalis pada awal dekade 1990-an, daya akomodasi negara terhadap subkultur politik ini makin terabaikan.
Secara politik praktis, para aktor subkulturnya politiknya itu lebih banyak kegagalannya, daripada yang sebaliknya. Selalu ia dikalahkan Islam Modernis di PPP. Meski memiliki kontribusi massa yang besar dalam setiap pemilu Orde Baru, namun aktor politik NU tidak pernah memimpin PPP. Politisi NU selalu dikalahkan oleh unsur Muslimin Indonesia (MI), yang diyakini sebagai instrumen politik terpenting bagi Muhammadiyah, subkultur Islam Modernis. Baru belakangan ini saja orang NU, Hamzah Haz, leading. Itu saja, kata kebanyakan elit politik NU yang berada di PKB, karena untuk mencegah ekodus dari PPP.
Di tingkat parlemen pun demikian juga. Jika anda membuka-buka referensi sejarah tahun 1970 hingga 1989-an, terlihat betapa para politisi NU lebih banyak tersisih akibat kalah dalam permainan politik. Untuk jabatan kanwil-kanwil Depag di seluruh Indonesia, yang sesungguhnya layak dipegang oleh nahdliyyin, oleh Menteri Agamanya (yang kebanyakan bukan nahdliyyin) tidak diberi peluang yang selayak-layaknya.
Padahal, seperti Muhammadiyah juga, lembaga NU seperti pendidikan (ma?arif) sejak Madrasah (SD), Tsanawiyah (SMP), ?Aliyah (SMU), di samping universitas.
Kehampaan kesempatan memegang kunci struktural itulah, salah satunya, yang memotivasi pendirian PKB. Bagi NU, kevakuman itu tidak mungkin jika berkoalisi dengan Islam-Modernis, namun sebaliknya, secara pragmatis peluang itu terdapat jika ia bergabung dengan Nasionalis-Sekuler.
Di samping itu, kaum sekuler lebih untung (koalisi itu) jika bersama Gus Dur bersama kapal PKB-nya. Di samping karena persoalan ideologis yang ditampakkannya selama ini, hampir pasti PKB relatif menempatkan Islam sebagai sub-ideologi nasional.
Artinya, formalisasi Islam seperti yang dikhawatirkan oleh kelompok Islam Modernis telah tergaransikan oleh performa PKB. Hal itu sejalan dengan pikiran kaum nasionalis yang sering bersikap objektif-ideologis. Kaum sekuler menyatakan, ketika berhadap-hadapan dengan persoalan kebangsaan Indonesia, identitas dan ideologi pada subkultur politik apa pun harus disubordinasikan dengan ideologi Pancasila. Ordinasi ideologi Pancasila harus membawahkan subideologi Islam. Inilah yang disebut dengan sekularisme.
Jalan Tengah
Ada faktor jalan tengah yang sesungguhnya dapat memediasi setiap arus deras dan ekstrem di Indonesia. Tiga karakter yang dimiliki kelompok itu adalah pluralisme, yang tidak secara ekstrem berposisi pada konflik ideologis. Karakter itu hanya bisa dipenuhi oleh kalangan Golkar sebagai penganut paham nasionalis-pragmatis. Tapi persoalannya, ia terhalang reputasi masa lalunya yang justru menjadi sasaran bagi reformasi. Selain pluralis, jalur tengah dalam ideologi yang mewakili kalangan terdidik dari struktur demografis serta ekonomi kita ialah pemilih subkultur politik nasional-religius.
Di sana ada Partai Amanat Nasional (PAN) bersama Amien Rais, dengan ide-ide besarnya yang hampir semua sumber-sumber politiknya ia miliki; intelektualitas, otentisitas, strukturalis, di samping dekat secara platform dengan kalangan, baik nasionalis (meski terbatas) maupun agamis.
Jika di antara kubu pertama dan kedua relatif memiliki latar belakang dan akar konflik ideologis, tidak demikian dengan Nasionalis-religius. Aliansi taktis dan strategis hampir tidak dikenal. Kalau pun terjadi konflik, lebih dikarenakan persoalan taktis belaka. Seperti berantakannya komunike bersama PKB-PAN-PDI Perjuangan, yang pada akhirnya bukan kegagalan ideologis-strategis, tetapi soal zig-zag Amien belaka.
Agenda Polemik
Agenda isu yang akan mewarnai dinamika politik lima tahun mendatang, saya kira berlingkup pada ketiga aliansi tersebut. Aliansi ideologis adalah persekutuan politik tingkat asasi dengan mendasarkan diri pada kepentingan primordialisme tertentu. Kepentingan ideologi terpecah menjadi 10 ideologi sekuler dan 2 ideologi Islam.
Sedangkan aliansi strategis didefinisikan sebagai orientasi tingkat advokasi politik dengan titik tekan pada kepentingan ?subkultur politik?, ?politik aliran?, dan ?basis ideologi?, yang saya tempatkan pada; 1. Reformis-Radikal, 2. Nasionalis, 3. Nasionalis-Oportunis, 4. Tradisionalis, 5. Tradisionalis-Sekuler, 6. Kristen, 7. Nasionalis-Radikal, 8. Tradisionalis-Religius, 9. Tradisionalis-Kanan, 10. Islam-Kanan, 11. Islam-Modernis, 12. Islam-Pragmatis, 13. Nasional-Religius, serta 14. Nasionalis-Pragmatis sebagai orientasi perjuangan ke- 48 partai poltik yang ada.
Sementara, yang dimaksudkan aliansi taktis adalah pelaksanaan kerangka pemahaman aliansi ideologis dan strategis dalam bentuk-bentuk tindakan politik. Operasionalisasi tertentu saja mempertimbangkan kondisi-kondisi sesaat pada waktu para aktor politik bermain dalam lapangan politik, seperti
lobying,
bargaining position, di samping ?politik dagang sapi?.
Diprediksikan, pemilihan presiden ke- 4 pada SU MPR mendatang akan berjalan seru. Puncaknya pada saat pemilihan kandidat Presiden ke- 4. Fenomena Mega, misalnya, dilihat kalangan Islam bukan sekedar sebagai Mega yang menang dalam Pemilu 1999, tapi ia mengundang dan mengandung ideologi tertentu. Itu sebabnya bagi kalangan sekuler versus Islam, ia adalah potensi polemik tingkat aliansi ideologis tersendiri.
Dengan demikian, tingkat kompromi agar Mega diterima di kalangan Islam juga terasa sulit. Dari kalangan itu pula ada figur Gus Dur yang relatif nonakseptabel. Bahkan, juga terjadi di kalangan kubu Islam, meski tidak separah Megawati.
Barangkali daya tolak Gus Dur adalah kesehatannya yang tidak memungkinkan. Hal itu sekaligus dapat menjelaskan, mengapa persoalan yang semakin menyangkut aliansi ideologis, komprominya makin sulit. Demikian seterusnya, makin aliansi strategis dan taktis, solusinya makin gampang.
Di samping itu, perseteruan antara kedua kubu sekuler dan Islam akan dijumpai saat pembahasan agenda-agenda kemaslahatan umat Islam. Jika Gus Dur dan mainstream politik kaum sekuler akan mengevaluasi beberapa kebijakan ?formalisasi? Islam, seperti yang selama ini dikhawatirkan kubu Islam, polemik akan makin panjang dan asasi.
Kejadian
deadlock dasar negara di Badan Konstituante pada 1959 dan walk out-nya beberapa ulama PPP saat mengesahkan aliran kepercayaan atau UU Perkawinan (1970-an), boleh jadi akan terulang dalam sidang-sidang DPR lima tahun ke depan.
Sebagai pemenang (sementara) pemilu 1999, saya kira Megawati (juga Gus Dur dari PKB) memiliki peluang untuk membuka semua file ?Politik Islam? lima tahun ini, walaupun akan membayar mahal di belakang hari. Jika tidak didemonstrasi oleh kubu dan pendukung Islam, sudah pasti konstituensi massanya akan berpikir ulang untuk mencoblos PDI-P dan PKB pada pemilu berikutnya.
?
Nur Hidayat Sardini, Staf Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik (Puskodak) FISIP Undip, Semarang.