Media: Suara Merdeka
Hari/Tgl: Selasa, 20 Juli 1999
Setiap formalisasi Islam di Indonesia, apa pun bentuk dan eksistensinya, secara sosiologis justru kerap tidak produktif bagi umat Islam itu sendiri. Di era Orde Baru, formalisasi Islam pernah menempatkan segmen Islam pada pojok-pojok sejarahnya.
Karena hanya ingin mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) dari Bung Hatta dan kehendak merehabilitasi nama besar Partai Masyumi yang pernah dilikuidasi oleh Bung Karno, di awal Orde Baru, umat Islam mengalami dampak penindasan secara mengenaskan oleh rezim Soeharto.
Tidak saja bagi kepentingan dakwah Islam secara kultural yang tertimpa karenanya; namun formalisasi Islam dengan segala dampaknya itu justru mengundang atau memberi kesempatan bagi kekuatan sekuler dan kekuatan negara (state) untuk turut ?bertepuk tangan? dan ?menggebuki? atas nasib umat Islam Indonesia.
Selain itu, formalisasi Islam hanya akan memberi peluang bagi individu-individu untuk mengendarai kapal ideologi yang bernama Islam itu. Bagaimana fasilitas Islam itu terbukti secara empiris, nampak pada kasus pendirian ICMI (1990). Begitu Soeharto tengah ditinggalkan sehingga merasa kehilangan aliansi strategisnya ?yakni kalangan militer AD? yang selama itu menopang kekuasaannya, maka ia mendekati umat Islam.
Secara bersamaan, di kalangan umat Islam secara demografis juga tengah tumbuh sebuah intellectual booming sebagai hasil tanam pendidikan sejak Orde Lama. Tak disangka, dampak tersier pun diperlihatkan pula oleh mereka yang secara bermakna tengah mengalami ?Islamisasi? dari kaum nasionalis, yang muncul belakangan.
Namun, Islamisasi yang terjadi pada subkultur ini agaknya kurang memuaskan, sehingga gejala-gejala dini justru yang lebih tertonjolkan daripada akar-akar komunitas Islam (santri) yang telah mapan, subkultur sebelumnya. Ketidakmerataan di antara keduanya itulah yang pada akhirnya merusak Islamisasi birokrasi ?meminjam istilah Geertz? secara keseluruhan. Dan itu adalah kontraproduktif.
Moratorium Politik
Konsekuensi apa sehingga konfigurasi itu terbentuk? Antara lain terlihat dari kepuasan-kepuasan angka statistik yang kemudian dapat dideretkan sebagai indikator ?kebangkitan? Islam.
Ibarat laron, ajaran Islam dikerubuti, masjid didatangi, dan ceramah agama dipadati, serta stiker keislaman ditempeli di mobil-mobil mewah; serta begitu banyak orang yang sejak semula sesungguhnya Islamo-phobia, mulai bergabung dengan lembaga-lembaga cendekiawan muslim.
Tak tahunya, terutama klimaksnya terlihat saat PDI Perjuangan memenangi Pemilu 7 Juni 1999 lalu, begitu pula banyak orang rupanya sekedar mencari kenyamanan (conscience) di lembaga-lembaga Islam. Tahu pulalah mereka sejatinya tidak Islam secara politik; mereka sekedar ?kader semangka?: terlihat hijau dari luar, namun hati mereka tetap merah. Ya, mereka telah melakukan moratorium politik.
Secara teoretis, seorang Munawir Sjadzali (1995:1) memetakan relasi Islam-Politik dalam ketiga kerangka berpikir. Pertama, Islam dipahami sebagaimana orang Barat memahami agamanya, yang disebut sebagai sekularisme. Kedua, Islam dipahami sebagai menguatnya keterpautan secara menyeluruh antara kepentingan Islam dengan ikhtiar skripturalisasi politik; serta ketiga, Islam lebih terimplementasi secara substansial ketimbang sekedar menampilkan formal terminologinya.
Agar perjuangan Islam semakin tercerdaskan dan produktif di bumi Indonesia, metode perjuangan setidaknya tidak melulu terletak pada kerangka kedua, namun hendaknya lebih dikonsentrasikan pada kerangka ketiga, substansialis. Jika meminjam Afandi (1995), kebutuhan Islam di Indonesia diperlukan lebih banyak lagi pada aspek perjuangan kultural.
Ada dua alasan mengapa metode kultural lebih dibutuhkan saat ini di Indonesia. Pertama, secara fenomenal kemenangan PDI Perjuangan secara diametral hendaknya dipahami sebagai ?kekalahan? politik Islam. Berkaitan dengan gejala ini, bersama kekuatan Orde Baru pada paruh kedua dekade 1990-an, pada saat yang bersamaan politisasi dan ideologisasi PDI Perjuangan mulai terbentuk.
Seperti diketahui, pada tahun-tahun itu figur Megawati dilambangkan sebagai kaum mustadh?afin; sehingga banyak orang mengira tertindasnya pendukung Mega sebagai buah karya para aktivis muslim yang tengah berada di jalur struktural politik Orde Baru.
Kedua, karena tengah berada di jalur kekuasaan, asosiasi pengertian seolah-olah Islam itu elitis, milik mereka yang tengah berkuasa, tidak memperjuangkan nilai-nilai Islam, serta tidak membela kaum tertindas mulai terbangun dari para pendukung Mega itu. Dan saya haqqul yakin banyak di antara pendukung Mega itu beragama Islam.
Singkatnya, ketika itu kekuatan Islam tidak dapat dijadikan sebagai tempat yang nyaman ketika orang digusur, ditindas, dan tidak diperjuangkan aktivis muslim; saat di mana mereka kemudian lari kepada komunitas Mega. Elit muslim di kampung-kampung pun juga begitu.
Maka wajar saja, saat lembaga Islam semisal MUI dan ke- 38 ormas Islam menghimbau agar mereka tidak memilih PDI Perjuangan yang sebagian besar calegnya nonmuslim, beberapa hari menjelang pencoblosan 7 Juni 1999, himbauan itu (ibaratnya) ?berteriak di tengah gurun sahara?. Elit muslim justru dicuekin para pengikutnya. Jadi sia-sia belaka.
Fraksi Islam
Pada konteks itu, ide pembentukan ?Fraksi Islam? di MPR justru kontraproduktif adanya. Pertama, selain ia akan dipandanga sebagai usaha menghambat pencalonan Megawati, pembentukannya justru memperlebar jarak ?kekuatan Islam? dengan massa akar rumput, sesuatu yang seharusnya makin diakrabi kini.
Bila Mega jadi ataupun tidak jadi R-1, kekuatan Islam di MPR akan dipandang sebagai ?musuh abadi? bagi rakyat bawah, yang dalam pemilu lalu telah terlanjur menjatuhkan pilihannya pada Mega untuk menjadi presiden. Dengan demikian, saling antagonisme akan selalu tereproduksi dalam waktu mendatang.
Kedua, secara teologis dan juga sosiologis, nilai-nilai universalisme Islam (rahmatan lil alamin) makin menemukan relevansinya di Indonesia. Inklisivitas Islam, dengan begitu, akan makin kehilangan elan viltalnya. Dalam jangka panjang, wilayah kanopi suci ajaran Islam, meminjam istilah Peter L Berger, makin sulit diperankan dalam titik-titik dakwah dan ?Islamisasi? masyarakat kita.
Ketiga, jika pengertian pembentukan ?Fraksi Islam? didefinisikan dengan ?penjegalan? terjadap Mega, maka sama artinya dengan ikhtiar untuk merekatkan soliditas kaum penumpang gelap (free riders) reformasi di sekitar Mega. Enak sekali mereka berloncat: dari PNI (Orde Lama) lalu ke Golkar (Orde Baru), serta ke PDI Perjuangan (Orde Reformasi) kini.
Dalam sejarah politik kontemporer, kelompok oportunis sejati ini adalah yang seharusnya bertanggungjawab atas multikrisis di Indonesia. Jika kekuatan Islam masih mengidekan ?Fraksi Islam? dimaksud, saya punya keyakinan isu gender justru akan secara kretif selalu diangkat dan dilawankan sebagai ?Islam? versus isu gender Mega dalam bursa calon presiden ke- 4. Sekali lagi, ini kontraproduktif.
Ada baiknya jika kekuatan Islam tampil secara natural dan wajar. Yang disebut natural dan wajar itu mensyaratkan terbentuknya kaukus politik di MPR kelak, jika tujuannya memang hendak bermain dalam demokrasi. Justru yang ditakutkan jika fraksionalisasi membiaskan antara kemauan pemilih dengan kemauan elit, seperti lazimnya perilaku legislatif era Orde Baru.
Dengan kaukus pula, kekuatan di luar partai yang ingin tergabung dalam aliansi merasa risi (ewuh pekewuh) jika kelak, misalnya, mereka hendak memilih seorang figur presiden yang bukan berasal dari partainya. Karena boleh jadi ia akan terdefinisikan sebagai bukan partai Islam. Di sinilah letak tidak produktifnya pembentuk ?Fraksi Islam? di MPR kelak.
Lebih jauh, bangunan fraksi Islam justru membatasi substansi misi ?politik Islam? itu sendiri. Maksudnya, di samping menampakkan arah institusionalisasi, juga ia bakal mengidap sindroma lama tentang Islamo-phobia. Dalam perkembangan yang lebih sehat, seperti saya singgung di muka, Islam hendaknya ditempuhi dengan cara-cara substansialis, kultural, serta menampakkan wajah rumahnya.
Upaya yang dilakukan Cak Nur, Gus Dur, Amien Rais serta beberapa tokoh muslim dalam awal-awal Orde Baru, terbukti secara empiris telah menghantarkan Islamisasi tingkat wacana Islam Indonesia. Dengan demikian, ide intitusionalisasi Islam di MPR adalah langkah mundur (setback) dari ?pribumisasi? (down to earth) Islam di Indonesia.
Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, Semarang.