Mengajak Mega Keluar

Selasa, 27 Juli 1999 , 21:06:43 WIB
Mengajak Mega Keluar
Media: Suara Merdeka Hari/Tgl: Selasa, 27 Juli 1999 Peristiwa ?Sabtu Kelabu 27 Juli 1996?, tiga tahun lalu, agaknya telah menjadi fase baru sekaligus titik tolak bagi sejarah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan juga bagi Indonesia. Bukan saja ia mengubah warna dan kubangan konflik horizontal (antar unsur) di tubuh PDI, sehingga menjadi konflik vertikal antara PDI Mega versus kekuatan negara (state). Namun, peristiwa 27 Juli 1996 beserta segala implikasinya sekaligus telah menginvestasikan konstruksi arus bawah masyarakat (grass root levels). Akhir dari kebangkitan (baca: perlawanan) masyarakat itu, ?meskipun ia bukan satu-satunya kontributor? pada kadar yang boleh jadi terbatas, ia telah mengoreksi wacana demokrasi Pancasila. Pada galibnya, di bawah Soeharto rezim Orde Baru menerapkan ?politik korporatis? (O?Donel, Schimmetter, Whitead, 1992: 9). Politik korporatis menghendaki diisapnya loyalitas kekuatan masyarakat ke dalam struktur-struktur tunggal kekuasaan negara. Sebagai imbalan dan loyalitas tersebut, para agen politik penyangga loyalitas menggadaikan idealisme dan otoritasnya kepada pemegang struktur tunggal dimaksud. Beda dari apa yang telah menimpa pada partai politik dan ormas sebelumnya. Konsep korporatisasi ini berantakan dan menjadi bumerang bagi Orde Baru ketika diterapkan pada PDI. Puncak kegagalan terlihat dari peristiwa 27 Juli 1996. Sikap para pendukung Mega bukannya mengalah atau melunak (blandos), malah mengkristal dengan garis radikal (duro), di luar skenario elit operator politik dan elit puncak dari struktur negara Orde Baru tersebut. Sistematisasi tekanan penguasa kepada PDI- Mega, justru menjadi ajang politisasi, ideologisasi, serta kaderisasi (kawah candra dimuka) bagi solidaritas barisan Mega, yang kini partainya (PDI-P) memenangi Pemilu 7 Juni 1999. Pada konteks ini, dalam diri barisan Mega, ?meminjam istilah La Pierre (1950)? terjadi suatu inner-cohesion-outer-hostility, yaitu suatu perasaan permusuhan muncul terhadap kelompok di luarnya. Oleh karena itu figur Mega tidak sekedar hadir sebagai informal leader, tetapi bagi pengikutnya ia sudah beranjak dalam wujud-wujud, meminjam istilah Max Weber, suatu natural leader. Bagi Max Weber, konotasi natural leader ini eksis pada saat kekacauan fisik, psikis, ekonomis, religius, atau abnormalitas politis lainnya. Sehingga, jika terjadi suatu pertumpahan darah, para pengikutnya sanggup memfasilitasi apa saja yang dimiliki. Mereka percaya, figur natural leader memiliki kekuatan ?gaib?. Maka jangan heran jika fenomena Mega adalah fenomena irasionalitas, serba misteri, mengonotasikan mesianisme (satriya piningit), serta mistifikasi politik. Menguatnya cap jempol dan tanda tangan darah, memperjelas fenomena ini. Merevisi Cara Pandang Demikianlah, PDI-Mega ?berhak? memenangi Pemilu 7 Juni 1999 lalu berkat ideologisasi dan politisasi perjuangan, terutama terbangun sejak tragedi 27 Juli 1996. Wajar jika kini kesempatan baginya untuk mengelola pemerintahan, lima tahun ke muka. Secara kalkulatif, angka 35% kemenangan, suatu saham buat Mega dalam merealisasikan setiap agenda keresahan partainya, juga bagi bangsanya. Untuk ini setiap halang rintang menuju puncak, justru adalah langkah tidak produktif bagi demokratisasi di negeri ini. Suatu kenyataan pula jika angka 65% lainnya belum tentu sepaham dengan angka 35%. Adalah tugas pengelola PDI-P menyinkronisasikan kepentingan angka 35% dengan angka 65%. Jika demikan alasannya, mutlak bagi PDI-P untuk mengambil langkah-langkah inisiatif politik. Untuk tercapainya itu, pertama-tama PDI-P selayaknya bermental kelas juara. Kemenangannya adalah bergesernya wacana pinggiran ke wacana sentral. Sebagai jawara, ia selalu terdepan (actor leader) dari semua parpol dan kekuatan yang ada. Boleh jadi semua sepakat, selama berkawah candradimuka, politik diam Ibu Mega mengundang simpati. Namun setelah itu, diam bisa mengundang apriori, bahkan antipati. Oleh karena itu kebijakan antipublik dari PDI-P secepatnya direvisi menjadi pro publik. Ploitik pro publik menyaratkan pula adanya desakralisasi basis kepemimpinan. Selama ini irasionalitas, serba misteri, menyelimuti kepemimpinan kharisma Megawati. Ada 3 langkah yang layak dipertimbangkan PDI-P dengna mentaltas jawara. Pertama, merobak gaya kepemimpinan kharismatis menjadi gaya kepemimpinan rasionalitas. Selubung ?teka-teki silang? di sekitar Mega dan PDI-P mendesak dilakukan. Soalnya, tidak produktif bagi demokratisasi jika selubung itu masih sulit tersibak. Dalam politik ?teka-teki silang? (politik enigma) jangan setiap orang dibuat penasaran, tidak mengerti apa hendak dilakukan ibu Mega jika kelak menjadi presiden. Politik enigma dan anti publik semacam itu juika tidak menumbuh suburkan spekulasi, klik-klikan, serta serba rumor, maka ia mengundang absurditas dan tidak sehatnya demokrasi yang ingin kita bangun. Kedua pendahulu BJ Habibie secara cerdas memanfaatkan kondisi enigma ini demi melestarikan kekuasaannya. Siapa pun tidak ingin era Soekarno dan era Soeharto terantuk di bumi Indonesia untuk kali ketiga. Kedua, dalam kaitan itu PDI-P seharusnya menjelaskan atas berbagai selubung pertanyaan seputar teka-teki silang tersebut. Dengan keyakinan tinggi ia menjawab relasi PDI-P dengan tuntutan reformasi konstitusi, utamanya amademen terhadap UUD 1945, dwifungsi ABRI/TNI, pengusutan terhadap dugaan KKN mantan presiden Soeharto dan kroninya, seperti yang diiinginkan kalangan reformis, yang rupa-rupanya berada pada angka 65% suara. Agar tidak jadi ?bom waktu? pada kemudian hari PDI-P dituntut kejelasan sikap atas fenomena ?caleg-caleg bermasalah?, utamanya yang menyangkut asas keterwakilan (representativeness) berdasar agama. Ketiga, secara bersamaan ia harus memimpin wacana skenario kerja pemerintahan yang baru, yang aspiratif terhadap seluruh segmen masyarakat. Ia harus leading actor: keluar dari sarang politik untuk njajah politik milang reformasi. Visi, misi, platform politiknya harus disampaikan sendiri, bukan oleh orang-orang di sekitarnya. Memang figur presiden tidak harus mengetahui secara detail per detail kebijakannya. Namun dalam batas-batas minimum, agar efektivitas pengambilan keputusan tercapai visioner, sesuatu yang mutlak harus juga harus ia kemukakannya di depan publik politik di Indonesia. Rakyat selama ini bukan memintanya berbicara ekonomi dan politik terlalu panjang dan berbusa-busa, melainkan strategi umum yang sekarang diharapkan. Sebagai calon sang ?sopir? dari bus Indonesia, berhak juga kita tahu mau dibawa ke mana arah dan jalur busnya (no tax no vote). Karena dalam mengendarai sebuah bus, tidak ada yang namanya dua kendali dan sopir. Jika dalam penyampaian platform PDI-P, ia tidak sekedar menyerahkan cek kosong kepada sang kernet atau timnya. Namun, itu tidak cukup jika dalam kondisi tertentu. Misalnya, bus mengalami oleng, Mega dituntut pula untuk banting setir. Jika sudah begitu tak cukup waktu untuk menyerahkan kendali bus kepada tim politik dan ekonominya. Indonesia ke depan adalah Indonesia yang serba mungkin (turmoil and change) mengingat dinamika sosial-politik, mengedepannya tuntutan disintegrasi beberapa daerah, serta meningkatnya warna lokal plus terangkatnya subkultur-subkultur politik di Indonesia. Jika sudah demikian, Indonesia oleng bukannya serba tidak mungkin. Justru karena ia natural leader tadi, ia semestinya berpeluang menjadikan Indonesia agar lebih baik, dan bukan untuk arah yang sebaliknya. Nur Hidayat Sardini, staf Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik (Puskodak) FISIP Undip.