Media: Suara Merdeka
Hari/Tgl: Rabu, 18 Agustus 1999
Refleksi Hari Konstitusi 18 Agustus 1999)
Satu hal yang menghinggapi pemikiran tokoh-tokoh muda Islam ketika melihat betapa tidak produktif hubungan Islam dengan negara pada awal-awal Orde Baru (1970-an), generasi semacam Cak Nur (HMI), Gus Dur (NU), Amien Rais (Muhammadiyah), atau Dawam Rahardjo (PPM) melontarkan ide-ide ?desakralisasi?, ?sekularisasi?, serta ?pribumisasi Islam? di Indonesia.
Lewat instrumen lembaga masing-masing, mereka ingin Islam Indonesia tampil dengan wajah ramahnya tatkala berhadapan dengan kekuatan negara (ukhuwah wathoniyah), dengan internal umatnya (ukhuwah islamiyah), serta kalangan di luar komunitas (kafier dzimmi)-nya, tanpa meninggalkan atau justru memaknai nilai-nilai Islam pada derajat setinggi-tingginya.
Dengan kerangka tersebut, kalangan yang belakanga disebut ?neo-modernisme? tersebut berhasil mengubah saling antagonistik; Islam-negara menjadi protagonistik.
Sisi kontributif mereka buat Indonesia, sekurang-kurangnya terletak pada cara pandang (world view) saat menempatkan Islam, Indonesia, dan rakyat dalam satu kerangka kerja pluralisme.
Sebagai misal, dalam berjuang tidaklah suatu mutlak belaka bila penetrasi struktural sebagai tujuan akhir dari masyarakat yang diidamkannya, karena rupanya langkah-langkah kultural jauh lebih efektif ketimbang jalur yang disebut struktural tersebut.
Jadi, ?banyak jalan menuju surga?. Agaknya, Indonesia harus berterima kasih kepada kalangan neo-modernisme, karena sekurang-kurangnya Islam di Indonesia yang terbangun kini adalah suatu konkretisasi prinsip-prinsip ?jalan tengah? (tawasuth), keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), serta amar makruf nahi munkar.
Di samping sisi itu, kalangan ?neo-modernisme? berhasil membangunkan wacana berpikir umat Islam di Indonesia. Bahkan dalam upayanya mendekonstruksi berpikir itu, mereka mengangkat tema-tema sakral dan teologi Islam (tauwhid) seperti ?tiada Tuhan selain Tuhan? dari Cak Nur, serta mengganti uluk Islam salam assalamu?alaikum menjadi selamat pagi.
Pada pandangan mereka, kecuali zat Allah (al-Khalid) itu, sesungguhnya yang terserak di dunia ini adalah makhluk Tuhan. Karena makhluk, tiadalah yang abadi. Termasuk ketika mereka harus memandang bahwa yang bernama karya pikir manusia pun, sejatinya juga tidak haram disentuh (dibongkar).
Maka demikianlah, dogma, doktrin, serta karya-karya yang kadang-kadang sejatinya bukan bagian dari risalah Islam namun telah terlanjur diyakini umat sebagai ajaran Islam, juga terkena proyek dekonstruksi kalangan neo-modernisme.
Piagam Madinah
Saya ingin menempatkan titik tolak itu sebagai bahan renungan untuk mengangkat, betapa konstitusi pun memiliki peluang untuk direvisi, diubah, ataupun dirombak sama sekali.
Jika selama ini (subkultur politik atau umat) Islam telah menyerahkan ?warna teologi? kepada negara, tidaklah hal yang sama semestinya juga dilakukan kalangan subkultur politik-subkultur politik lain?
Soalnya, ada segmen-segmen dari masyarakat kita yang belakangan ini ?kurang sehat? jika dari kalangan Islam, yang relatif bernafsu itu ?dibandingkan dengan kalangan partai pemenang pemilu, misalnya? dalam ikhtiarnya untuk mendesak agar secepatnya UUD 1945 diamandemen.
Nah, ironisnya, sementara kalangan militer (TNI) sudah memberikan lampu hijau terhadap peluang amandemen UUD 1945, PDI-P justru masih ?setengah hati?. Bahkan, alasan penolakan tersebut sudah menjurus pada laku-laku set back Orde Baru, seperti kesan-kesan islamophobia.
Dalam suatu kesempatan diskusi (4 Agustus 1999), Prof Dimyati Hartono menyatakan belum perlu jika kita mengamandemen UUD 1945, karena hanya akan memicu tampilnya sentimen keagamaan, semisal upaya memunculkan Piagam Madinah.
?Ada faktor sejarah yang harus kita perhatikan. Kalu kita buka kemungkinan seluas-luasnya untuk mengubah UUD 1945, itu memungkinkan munculnya kembali pemikiran-pemikiran lama. Saya pikir, hal-hal semacam itu kalau kita membuka peluang terlalu lebar, beresiko. Rasanya, mengelaborasi lebih bisa memenuhi kebutuhan, tanpa harus menanggung resiko yang lebih besar?.
Saya ingin mencatat keberatan Prof Dimyati dari dua sisi. Pertama, boleh-boleh saja orang menolak usul amandemen UUD 1945, namun kurang fair jika mengaitkan ketidaksetujuannya dengan persoalan-persoalan lama yang saya kira sudah dianggap selesai dalam sejarah kebangsaan kita.
Berpikir Orde Baru itu tampak sekali saat Dimyati menempatkan Piagam Madinah (Mistaq al-Madinah) sebagai entitas political blaming, setara dengan ekstrem kanan, ekstrem kiri, serta istilah-istilah represif Orde Baru lain.
Jika wacana represif Orde Baru ingin segera kita akhiri, bukan melulu tanggung jawab Golkar dan militer yang seharusnya kita tuntut, tapi dari para politikus partikelir sekaliber Prof Dimyati itu pun sesungguhnya memiliki tanggung jawab luar biasa besar.
Jangan-jangan, para oknum Orde Baru yang secara fasih dikutuki di koran-koran tiap hari sebagai biang kerok keterpurukan republik tercinta ini, rupanya pada saat yang sama diam-diam mereka (yang mengutuki itu) hendak melestarikan nilai-nilai Orde Baru. Karena kebetulan tatkala Orde Baru berjaya, mereka belum safe menduduki tempat-tempat kunci dan strategis pada posisi struktural.
Jangan-jangan pula, Prof Dimyati curiga dulu meski belum tahu isi yang sebenarnya sesuatu yang lazim dan sindroma Orde Baru. Jika saja Prof Dimyati mau membuka-buka sejarah Islam profil kota Madinah (al-Madinatul Munawaroh) bersama Piagam Madinahnya yang dibangun Muhammad SAW; saya yakin, ia justru akan jatuh cinta dengan keduanya, seperti juga Bellah (Madjid, 1999) yang mengilustrasikan kota Madinah sebagai ?kota sangat modern, bahkan terlalu modern untuk waktu dan tempat?.
Nabi telah merintis konstruksi masyarakat madani, yakni suatu masyarakat yang berperadaban karena taan (dana yadina).
Masyarakat madani, demikian lanjut Cak Nur, reformasi total terhadap masyarakat tunakenal hukum (lawless) Arab era jahiliyah dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi penguasa. Konstruksi itu persis yang dikehendaki PDI-P di bawah Ibu Mega yang ingin taat hukum.
Di bagian lain, Piagam Madinah ialah dokumen konstitusi yang berisi pluralisme dan toleransi yang sedemikian dijunjung tinggi, tanpa membedakan warna kulit, agama, apalagi sekedar berbeda ideologi politik.
Sebelum Magna Charta, apalagi Pernyataan Sejagat HAM, piagam itu sudah dipraktikkan Nabi; dan ia ?meminjam istilah Bellah? bukan ?suatu fabrikasi ideologis yang tidak historis? (Madjid, 1999).
Jelas sekali, Prof Dimyati sejatinya kurang bisa berdiri pada posisi yang tepat untuk mengerti sejarah Islam, namun buru-buru berkomentar negatif.
Menunda Kemajuan
Kedua, selain mereproduksi isu-isu yang secara fasih sering dilontarkan oleh para penguasa militer Orde Baru, alasan Dimyati tidak mempertimbangkan betapa sesungguhnya membuka wacana dialogis tanpa kecurigaan tertentu itu lebih sehat dan produktif bagi masa depan Indonesia, ketimbang menutupnya namun yang tercipta kemudian justru stabilisasi yang semu dan koersif.
Kegagalan kita dalam 54 tahun mengelola republik ini ?sehingga memberikan kontribusi bagi kehancuran ekonomi, politik, dan sosial budaya? adalah ketidakberanian para elit politik dalam membuka kerangkeng dogmatis untuk diangkat dalam wacana natural dan dialogis.
Setiap individu dan generasi muda yang ingin membuka area-area sakral, termasuk UUD 1945, selalu saja dihentikan dengan indtrumen partikularistik militeristik (Orde Baru).
Dihambatnya peluang berbeda pendapat, buat saya, amat memberikan kontribusi tertundanya kemajuan bangsa ini. Dalam sejarah bangsa kita, UUD 1945 berperan dalam ikhtiar menghambat kemajuan itu. Di sana bertumpah kekuasaan monolitik, terutama jika menempatkan posisi lembaga kepresidenan.
Kedua pendahulu BJ Habibie menikmati betul setiap kelemaha UUD, sehingga menumpuklah kekuasaannya tidak sekedar sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, namun sudah menyatu dengan fungsi-fungsi lain seperti mandataris MPR.
Belum lagi presiden yang terlahir karena kondisi Indonesia yang abnormal seperti sekarang, amat mungkin memupuk kekuasaan presiden sedemikian akumulatif.
Jika sudah begitu, perilaku sekelas seorang diktator amat difasilitasi UUD 1945. jadi tidak sekedar persoalan elaborasi atau aturan di bawah UUD 1945 yang ?salah? semata, karena bagaimana hilirnya salah jika dari hulunya saja sudah tidak tepat.
Karena demikian, mendesaklah agar UUD 1945 diamandemen, bahkan diubah sama sekali. Itu juga belum jika mempertimbangkan efek kultural karena ketiadaan check and balances dari konstitusi kita tersebut.
Dengan terpaksa harus dikatakan, seperti yang telah ditunjukkan oleh kalangan neo-modernis, Islam telah memulai wacana dialog terhadap wilayah-wilayah yang dianggap tabu sekalipun, karena menyentuh area teologi Islam ?sesuatu yang sesungguhnya amat ukhrawi.
Harga yang harus dibayar pun, bagi para penggagasnya, bahkan sebagian telah dianggap oleh sebagian kalangan Islam lain telah murtad. Jika UUD 1945 ditempatkan sekedar sebagai ?teologi negara?, tidaklah lebih haram daripada teologi agama.
Artinya, dekonstruksi terhadap hal-hal yang selama ini dianggap tabu, maka itu artinya sejalan dengan konotasi tradisional (taqlid), status quo (hafazha), konservatif (qadim), orientasi ke masa lampau (raja?a), serta bersikap statis (jumud). Itulah sekurang-kurangnya yang telah berhasil dilampaui kalangan umat Islam.
Jika misalnya sebuah lembaga ?yang mengklaim sebagai tink tank PDI Perjuangan di Jateng? dalam salah satu programnya hendak menolak setiap usulan untuk mengamandemen UUD 1945 (Suara Merdeka, 18 Juli 1999), pada saat bersamaan sesungguhnya ia sedang mendukung penundaan kemajuan bangsa ini.
Kalimat filosofisnya, ia tidak memahami bahwa manusia yang tertutup dengan perubahan adalah semangat memberangus perubahan. Sementara hakikat kemanusiaan adalah makhluk berkeinginan (homo volens), berpikir (homo sapiens), bermain (homo indens), serta bukan manusia mesin (homo mechanicus).
Lembaga tersebut kurang memahami filsafat manusia yang disebut sebagai binatang berbicara dan berpikir (hayawan al-nathiq).
Nur Hidayat Sardini, pengampu mata kuliah Pemikiran Politik Islam dan Sistem Pemerintahan RI, FISIP Undip, Semarang.