SENGKETA PEMILU MK bak Keranjang Sampah, Bawaslu bagai Hakim Garis
Kamis, 06 Agustus 2009 , 22:26:36 WIBMedia : Kompas Hari: Kamis, 6 Agustus 2009 | 04:11 WIB
Ada yang membuat gerah Abdul Mukhtie Fadjar, salah satu hakim konstitusi, saat mendengar keterangan Badan Pengawas Pemilu, Rabu (5/8). Meski disampaikan tanpa nada tinggi, tetapi dengan nada lirih dan lembut khas Mukhtie, tak mengurangi ketajaman kata-kata Wakil Ketua MK tersebut.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kata Mukhtie, terlihat begitu berhati-hati menyampaikan kesaksian di sidang sengketa pilpres di MK, bahkan terkesan menghindari melakukan penilaian. Padahal, dalam melakukan pengamatan terhadap proses pemilu mestinya Bawaslu melakukan penilaian. ?Apakah sudah sesuai perintah UU atau belum?? katanya.
Ia kecewa atas sikap Bawaslu. Apalagi Bawaslu merupakan lembaga permanen, beda dengan Pemilu 2004 yang hanya bersifat ad hoc Panitia Pengawas Pemilu. ?Bawaslu jauh lebih kuat sekarang. Diharapkan mampu mengawasi secara efektif penyelenggaraan pemilu. Kalau kondisi begini, saya khawatir kursi Nurhidayat Sardini gatal diduduki,? ujar Mukhtie.
Mukhtie menyinggung banyaknya persoalan yang tidak terselesaikan di tingkat pidana dan administratif. Bawaslu mengakui menerima laporan persoalan DPT malah tidak berani menyimpulkan. Apakah telah terjadi pelanggaran massif dan sistematis ataukah tidak.
?MK ini jadi keranjang sampah. Sampah-sampah yang seharusnya diselesaikan di bawah dibawa ke sini,? ujar Mukhtie. Mukhtie mengutip eksepsi kuasa hukum KPU yang meminta agar MK menolak permohonan pemohon karena yang dipersoalkan bukanlah obyek perselisihan hasil pemilu. Namun, hal itu sulit dilakukan MK mengingat banyak persoalan tidak terselesaikan.
?Untuk memperoleh pemilu jujur adil, terpaksa sampah itu diolah Mahkamah. Entah jadi apa nantinya,? kata Mukhtie.Terkait kerja Bawaslu yang demikian, Mukhtie mempertanyakan kehendak Bawaslu sebenarnya. ?Apakah mau dibubarkan saja?? tanya Mukhtie.
Ketua Bawaslu Nurhidayat Sardini mengakui banyaknya persoalan yang tak terselesaikan oleh lembaganya. Dia beralasan, hal itu semata-mata karena terbatasnya kewenangan Bawaslu. Bawaslu hanya dapat memberikan rekomendasi, tetapi tidak memiliki kuasa untuk memaksakan pelaksanaan rekomendasi.
?Tugas dan kewenangan Bawaslu itu lebih mirip hakim garis. Tidak tepat kalau dibilang wasit. Sebagai hakim garis, kami mau angkat tangan dan menyatakan telah terjadi pelanggaran 100 kali pun percuma kalau wasit tidak melihat. Mau sampai modar juga begitu. Masih lumayan hakim konstitusi,? elak Hidayat menanggapi sentilan hakim konstitusi Mukhtie.
Bawaslu, jelas dia, cuma memiliki satu kewenangan, yaitu mengeluarkan rekomendasi terkait temuan maupun laporan pelanggaran yang diterima. Untuk pelanggaran administratif dan etik, rekomendasi diberikan kepada KPU. Sementara untuk pelanggaran pidana, rekomendasi itu diteruskan ke polisi.
Hanya saja, tambah Hidayat, rekomendasi ini tidak mengikat sehingga bisa tidak ditindaklanjuti oleh KPU maupun kepolisian. ?Kami tidak berkuasa untuk memaksa,? ujar Hidayat.
Dia meminta agar ada penambahan kewenangan, yaitu eksekusi rekomendasi, khususnya rekomendasi atas pelanggaran administratif pemilu. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengambil kebijakan dan pembentuk undang-undang untuk memikirkannya.
Mencari solusi Secara terpisah, ahli hukum tata negara Universitas Diponegoro, Semarang, Arief Hidayat, menilai penyelesaian sengketa hasil pemilu lewat lembaga peradilan seharusnya tidak menimbulkan implikasi besar bagi masyarakat jika masalah tersebut ditangani satu lembaga peradilan.
Yang terjadi sekarang, MK diberikan kewenangan mengadili sengketa hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Sementara Mahkamah Agung mengadili permohonan uji materi atas keputusan KPU.
?Kalau mengadili sengketa, MK bisa langsung operasional. Misalnya kursi ditentukan, bisa langsung dilaksanakan. Sementara MA itu mengadili aturan sehingga aturan itu yang misalnya dibatalkan, baru akan berlaku ke depan,? ujar Arief.
Kondisi demikian menimbulkan persoalan dan komplikasi desain ketatanegaraan. ?Mestinya supaya tidak menimbulkan kebingungan masyarakat, kegamangan di kalangan partai politik, dan supaya persepsi hukum sama, desain untuk menangani persoalan ini dibuat,? ujarnya. Karena itu, agar tidak terjadi komplikasi seperti sekarang ini, ke depan harus diatur lembaga peradilan yang mana yang harus menangani masalah ini. Kalaupun ditangani oleh MA atau MK, keduanya harus selaras, jangan sampai menimbulkan implikasi luas. ?Atau kalau enggak begitu, permohonan uji materi harus ditangani satu lembaga supaya tidak ada masalah,? ujarnya.Mestinya sengketa pemilu diletakkan saja di MK. Akan tetapi, MA hendaknya memberikan dukungan. (susana rita K/SONya helen sinombor)