Merayakan Lebaran 1430 H di Kota Kijang, Bintan, Kepulauan Riau (1)

Jum'at, 18 September 2009 , 22:50:47 WIB
Merayakan Lebaran 1430 H di Kota Kijang, Bintan, Kepulauan Riau (1)

Bagi saya lebaran 1430 H kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila sebelum ini merayakan lebaran di Kota Semarang atau di tempat kelahiran saya di Kota Pekalongan, kali ini saya hendak merayakan lebaran di Kota Kijang, Bintan, Kepulauan Riau. Lebih tepatnya di kota kelahiran dan masa kanak-kanak istri saya tercinta yang memang asli berasal dari daerah ini.

Jauh-jauh hari saya sudah pesan tiket pesawat untuk saya, istri, anak, dan seorang pengantar. Dan, pagi ini seusai sahur, kami packing barang-barang. Seusai shalat Subuh, senam ringan guna merenggangkan otot, rutinitas pagi hari membaca koran, kemudian mandi dan menunggu jemputan, seterusnya kami berangkat ke Cengkareng.

Ya, hari ini, Jumat 18 Sept 2009 dari Bandara “Soetta” (Soekarno-Hatta) Cengkareng, saya sekeluarga terbang menuju Bintan melalui Bandara Hang Nadiem Batam !

Sebenarnya merayakan lebaran di Bintan ini tidak murni dari keinginan saya. Jujur saja, saya lebih sreg merayakan lebaran di Semarang atau di kampung halaman Kota Pekalongan. Tapi saya harus berbuat adil juga.

Istri protes karena sudah 6 tahun ini dia tidak pernah berlebaran bersama orang tua serta keluarga besarnya. "Ingat, Mas ! Sewaktu Mas Nur janji di depan orangtuaku seusai akad nikah dulu, Mas Nur janji kalau lebaran itu diselang seling. Tahun ini di Jawa, tahun berikutnya di Bintan, demikian seterusnya. Nah, ini sudah 6 tahun sejak kita menikah, sekalipun belum pernah merayakan lebaran di Bintan !", kata istri, beri argumentasi dg bawa-bawa nama orang tua lagi.

Akhirnya saya mengalah. Ini setelah saya gagal negoisasi dengan formula seperti ini: berpuasa 2-3 hari jelang lebaran di Bintan, H minus satu baru ke Jakarta dan Semarang. "Bagaimana sih, Mas ! Mumpung orang tuaku masih hidup. Pokoknya tahun ini di Bintan !", sergahnya.

Bolak balik negosiasi selama ramadhan perihal tempat merayakan lebaran, akhirnya berakhir dengan kompromi yang tampaknya saling menguntungkan. Win-win solutions ! Formulanya seperti ini: tanggal 18 September s/d 1 Syawal di Bintan, sehabis sholat Ied langsung cepat-cepat ke Batam untuk seterusnya ke Cengkareng dan A. Yani Semarang. Begitulah akhirnya!

Selesaikah? Belum. Karena rupanya terkait dengan jatuhnya 1 syawal 1430 H. Saya dan istri ikut-ikutaan debat "ru’yah" dan "hilal" seperti antar-Ormass Saban tahun itu. Kepentingan kami terkait dengang pembelian tiket.

Kalo tidak cepat2, bisa kehabisan kami “overload”. Saya cek kalender resmi. Jatuhnya 1 Syawal adalah pada Minggu 20 Sept 2009. Rencana kami, 18 September take off ke Hang Nadim Batam. Dari Batam ke Bintan sampai tanggal 1 Syawal yang jatuh pada 20 September tsb, dan pada hari itu juga, tepatnya seusai shalat Id, kami dari Bintan ke Batam lagi. Dan seterusnya ke Cengkareng dan Semarang.

Dengan dasar itu kami pun beli tiket untuk 4 orang. Rupanya ada kabar bahwa 1 Syawal jatuh pada Senin 21 September. Melihat itu kami mengubah tiket Batam-Jakarta menjadi Senin 21 September. Eh, belakangan, Depag mengumumkan bhw 1 Syawal akan jatuh pada 20 September. Kembali kami menyesuaikan apa kata Depag. Dalam batin, dari dulu kok susah sekala ya menentukan 1 syawal. Saya pikir, orang Amrik sudah pernah nginjak-injak bulan 30 tahun yang lalu, orang Indonesia lihat bulan dalam sekali setahu saja kok belum bisa-bisa2 amat ya????

Gerimis menyambut kedatangan kami di Bandara Hang Nadim, Batam. Tapi hentakan badan Garuda tak begitu terasa, mungkin karena selebihnya meluncur dengan terkendali karena licinnya landasan pacu.

Di tangga turun balkon bandara, anggota Panwaslu Kepri ibu Lendrawati sudah siap menjemput dan membantu kami. Bu Lendra sudah menyediakan mobil yg akan membawa kami dari Bandara Hang Nadim ke Telaga Punggur.

Secepatnya Bu Lendra membantu, terlihat dari kecekatannya mengantar kami dapatkan tiket. Dapatlah kami kapal Baruna Dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, kami menuju arah ke selatan.

Sepengetahuan saya Pulau Bintan terdiri atas 2 daerah otonom setingkat kabupaten/kota. Terdiri atas Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan. Sementara itu, di Tanjung Pinang sendiri terletak ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Gubernur sekarang, Ismeth Abdullah, merupakan gubernur pertama.

Tak berapa lama lagi, tepatnya Juni 2010, akan digelar Pemilu KDH dan Wakil KDH. Sepanjang jalan dari ibukota kota seribu gurindam itu sampai Kampung Budi Mulya, tempat mertua tinggal, sudah mulai marak billboard, spanduk, poster, dan umbul2 tanda menarik simpati. Yang paling mencolok adalah gambar Ismeth Abdullah dan Husrin Hood. Mungkinkah mereka akan bersaing dalam Pilkada nanti? Ketua Bawaslu dibatasi oleh kode etik.

Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, hujan gerimis menyambut kami di Bandara Hang Nadiem, Batam. Ternyata sepanjang jalan dari Batam hingga di Kijang Bintan ini hujan bertambah deras. Saat di tengah laut pun kami diterpa hujan. Untung boat kami kokoh dan memang dirancang untnk tahan ombak dan guncangan besar.

Seturun di darat hujan masih juga belum reda. Bisik-bisik penumpang yang saya dengar tadi di kapal, baru 2 hari ini hujan turun. Berhenti lalu nanti datang lagi. Hujan bagi Kepri terkadang malah lebih baik daripada panas yang mengeringkan kering kerontang. Karena hujan menjamin tidak akan ada kebakaran hutan dengan asap yang berakibat lebih fatal. Asap bikin malu kalau “nyelonong” ke negeri jiran. Dengan hujan, semuanya jadi sejuk dan damai. Kita tdk jadi malu atau memalukan. Apalagi ini jelang lebaran. Hujan menambah berkah.Menambah damai alam sekitar.

Ada yang khas dari Pulau Bintan ini. Ada nilai strategis bagi kejayaan nusantara di masa lalu. Gugus kepulauan Bintan sekarang ini, dulunya merupakan pusat perkembangan kebudayaan Melayu yg cukup penting. Pengaruhnya hingga ke Madagaskar ke Barat dan Formosa ke timur.

Titik sentral dari kebudayaan tersebut adalah Bahasa Melayu. Bahasa ini adalah cikal bakal Bahasa Indonesia yang kita kenal dewasa ini. Di kurun tertentu, kawasan ini sekaligus adalah pusat kesusastraan Melayu. Raja Ali Haji berada di sentral pusaran pengembangannya. Pusatnya tidak di Malaysia atau Singapura yang kita kenal sekarang ini melainkan di tanah di mana sekarang saya berada. Saya ikut bangga karenanya.

Suasana ramadhan di Bintan lebih terasa. Penghormatan kepada yang menjalankan puasa sangat terasa. Sejak perjalanan dari Batam hingga di Pulau Bintan, sulit bagi saya mendapati orang yang sedang makan atau merokok di tempat-tempat umum. Ini beda dengan di Jakarta, yg dengan mudahnya kita bersua dengan orang yg tak berpuasa.

Tapi rasanya juga tidak pas ya membandingkan Jakarta dengan Bintan? Jakarta kan kota megapolitan, sementara Bintan sebuah pula dg eksotika tersendiri. Apa Bintan pulau yg tak bersentuhan dengn modernitas? Ah, bukan ! Bukan itu masalahnya. Sebenarnya pulau ini juga plural dengan modernitas penghuninya. Namun sebagai pemeluk teguh tradisi agama sudah menjadi bagian dari ethos masyarakatnya. Sejarah panjang kawasan ini merupakan penempa kuat bagi masyarakat di sini.

(Dio,18/9/09)