Perjalanan Ke Yogyakarta, Lebaran 1430 H, Hari ke-3.
Selasa, 22 September 2009 , 21:35:56 WIB
Hari ini kami bertandang ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebelum ke DIY, saya mampir ke saudara di daerah Gantiwarno, Klaten. Di sana ada saudara kami. Dari Klaten kami ikut open house di Bpk. M., seorang pejabat tertinggi di sebuah departemen yang masuk dalam triumvirat.
Kami bermaksud silaturahmi kepada beliau karena memang sosoknya yang bersahabat. Pantas saja begitu banyak orang yang ingin ber-open house ke kediaman beliau, yang rumahnya tak jauh dari Monumen Yogja kembali. Saya didampingi anggota Panwas Jateng AM, RAW, dan EP, serta Panwas DIY AH dan Ibu EW. Juga Ketua Panwas Klaten H.
Di Desa Gedongan Kec. Gantiwarno Kab. Klaten, saya jadi teringat gempa 5,9 skala richter pada 29 Mei 2006. Desa itu termasuk yang parah terkena gempa. Saya sekeluarga waktu itu juga ikut datang seminggu setelah gempa. Rumah simbah kami roboh. Tetangga sekitar lebih parah lagi dengan korban jiwa di atas selusin jiwa. Gempa Yogja dan Klaten ini merusak juga situs Candi Prambanan. Menurut berita di koran-koran, kerusakan yang menimpa candi itu cukup parah. Sebabnya kekuatan gempa itu mencapai skala gempa 7,1 skala richter.
Cuma karena gempa di sini episentrumnya di sekitar 8 km dari pantai Parangtritis Bantul, parahnya memang si situ. Gambaran parahnya gempa di sini terlihat dari menyemburnyanya air tanah yang sempat keluar, kita memang harus akrab/membiasakan diri dengan gempa. Karena memang Indonesia berada di daerah sabuk gempa.
Kami sempat mampir di Warung Tempo Doeloe. Rumah makan khas Jawa a la kampung masa lampau. Menu yang disajikan beragam, dengan cita rasa desa Jawa. Menariknya restoran ini berdiri di atas bangunan khas Jawa masa lalu. Konstruksi dari serba kayu. Tata cara pelayanan juga Jawa centris. Kami melahap semua yang disajikan. Tamu yang datang kebanyakan wisatawan lokal, saya melihat juga turis asing seperti Jepang dan bule.
Kita memang kaya akan kuliner. Banyak hal yang selama ini mungkin tidak kita kenal, ternyata tersedia di sini. Dari segi gizi tak kalah kandungannya. Sayuran, lauk-pauk, atau minuman fermentasi, juga memadukan khas tradisional polesan modern. Saya rekopmendasikan kapan waktu anda datang ke tempat ini. Saya juga ingin mampir juga. Insya allah !
Menjelang petang kami kembali ke Semarang. Kami senang bisa melewati jalan tembus. Dari Yogya, Klaten, lewat ke Boyolali. Menembus ke Jatinom terus masuk kota susu itu, seterusnya ke Salatiga. Sepanjang jalan Klaten-Jatinom-Boyolali, di kiri dan kanan terhampar tegalan nan subur.
Tanaman tembakau, jagung hibrida, padi padi gogo, kacang tanah, kacang panjang, dan palawija lainya, tampak menghijau dan sedap dipandang. Selepas magrib kami masuk Kota Salatiga. Pak Harno, Ketua Panwas Klaten, yang sejak dari Klaten memandu kami, selepas masuk Boyolali melepas kami. Tinggal kami sendiri. Saya tidak asing dengan jalan di sini. Sewaktu menjabat Ketua Panwaslu Jateng dulu, saya sering lewat di sini tatkala inspeksi, supervisi, atau melakukan tugas-tugas lain.
Tampak pemudik sudah mulai kembali ke Jakarta. Jalanan sudah mulai dipadati kendaraan plat B. Sepanjang Boyolali hingga Salatiga padat merayap. Bahkan pada beberapa menit mobil kami tak bisa bergerak sama sekali di sejumlah ruas tadi. Polantas sibuk mengatur para pengguna jalan. Mereka dibuat repot oleh pengguna jalan yang saling serobot, tidak mau sedikit mengalah, sementara mereka yang sebenarnya bisa sedikit sabar, tidak juga bersabar.
Kondisi lalu lintas kita masih semrawut. Budaya suatu bangsa, kata pepatah, dapat tercermin dari jalanan kita. Tergambar jelas bagamana kita suka menyerobot, menerabas, suka kebiri hak orang lain, potretnya ada di sana. Saya sih yakin semuanya harus berangkat dari kesadaran.
Ada Polantas pun, bila lagi-lagi mentalitasnya seperti itu, ya sami mawon. Karena hukum dijalankan ketika ada yang mengawasi, maka Polantas tak kurang akal: di sejumlah titik Polri pasang patung polantas. Maksudnya? Mungkin untuk takut-takuti pengguna jalan agar menaati peraturan berlalu lintas. Ini persis yang dilakukan Pak Tani yang memasang orang-orangan guna menakut-nakuti burung di sawah !
Berkendara di jalan bagai berjihad. Di sini juga berlaku hukum rimba. Siapa kuat siapa dapat. Yang besar menerkam yang kecil. Siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kecil jaminan keselamatan. Yang bisa menyelamatkan kita di jalanan adalah improvisasi kita atas berkendaraan di jalanan itu.
Semuanya digantungkan pada nasib kita. Bukan sistem keselamatan yang menjamin kita. Sudah tahu lebaran musim mudik, masih gampang didapati badan jalan yang batas garis putih tak diperbaharui. Garis jalan sudah buram, tidak juga diputihkan sama sekali. Rambu-rambu lalulintas tampak tak terbaca jelas, kusam dan tidak memandu bagi penggunanya. Sulit dipahami ikhwal semacam itu berulang sejak lama. Entah akan sampai kapan pula. Sebagai pribadi, hati-hatilahlah di jalan. Sak bejo-bejone wong sing hati-hati lan waspada di jalan !
(Dio, 22/09/2009)