Media : SUARA MERDEKA
Hari/Tanggal : Senin, 13 September 1999
Sebuah fraksi dibentuk, tak lain, adalah dalam rangka memediasi dari kepentingan partai politik (parpol). Sementara untuk parpol sendiri, ia dibentuk guna memandu kepentingan dan ekspresi politik dari kaum pemilih (konstituensi) tertentu. Sejauh man agregasi dan artikulasi kepentingan para pemilihnya, partailah yang (semestinya) bertanggung jawab untuk mengelola. Dengan demikian, kehadiran sebuah fraksi dimaksudkan sebagai kepanjangan tangan kepentingan politik para pemilihnya.
Berkaitan dengan dua entitas tersebut, kehadiran sebuah fraksi di parlemen (DPR/D) agaknya mencemaskan untuk kepentingan politik massa yang diwakili.
Pertama, ia membuka peluang bisa kepentingan elit fraksi dengan masa pendukung parpol yang telah memilihnya. Karena jika sudah berada pada kerangka dan wacana fraksionalisme, maka pasar wacana politik adalah permainan gagasan, silat lidah, serta orientasi on the blog bagi kepentingan fraksi an sich, dan bukan kepentingan partai ataupun kepentingan pendukungnya.
Sejauh kntrol partai (induk) longgar, itu merupakan peluang bagi elit fraksi untuk memelintir garis kebijakan partai. Kondisi ini dapat diyakini terjadi jika elit fraksi yang memang sejak awal kurang terlibat secara emosional dengan para pemilihnya. Sistem pemilu bukan distrik seperti sekarang membuka peluang terhadap praktik-praktik demikian.
Kedua, buat kepentingan demokratisasi jangka panjang, kehadiran sistem kaukus di parlemen jauh lebih produktif dibandingkan fraksionalisasi seperti sekarang.
Artinya, jika telah terpilih bagi wakil rakyat pertanggungjawaban sudah tidak diarahkan pada institusi awalnya, namun sudah melebur (melting pot) dalam satu lembaga wakil rakyat.
Dengan fraksionalisasi, ?jenis kelamin? dari elemen partai akan diketahui, sehingga mendekatkan sikap sektoralisme baik dari kalangan wakil rakyat sendiri maupun bagi rakyat yang akan mengadukan setiap persoalan, misalnya.
Di era Orde Baru, jika rakyat mengadukan suatu masalah tidak kepada F-ABRI atau FKP, misalnya, hampir pasti materi aduannya tidak akan ditindaklanjuti, atau malah-malah akan dianggap subversif.
Konflik Sosial
Persoalan fraksionalisasi di lembaga DPRD, selain mengikuti pola ?kecemasan? demikian, juga rentan terhadap berbagai persoalan yang boleh jadi akan dapat timbul di belakang hari.
Potensi konflik politik, dalam kader terbatasnya, sejauh-jauhnya akan berubah menjadi manives ketika kinerja politik diperlukan. Seperti diketahui, dengan otoritarisasi pengelolaan bagi masyarakat daerah berdasarkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 di bidang pengelolaan otonomi daerah, dinamika lokal semakin artikulatif.
Setelah pengelolaan masyarakat ditinggalkan pemerintah pusat, terbuka peluang bagi kekuatan masyarakat di daerah untuk menggantikannya. Dalam negara demokrasi, penempatan pengelolaan tersebut sejauh mungkin dilakukan secara demokratis.
Adanya entitas pemilu tak lain adalah praktik rekruting siapa-siapa pengganti dari pengelolaan pos-pos jabatan yang ditinggalkan pemerintah pusat tersebut. Maka kata ledakan partisipasi politik dalam masyarakat bakal tak terelakkan dan makin kasat mata saja.
Secara sosiologis konflik timbul karena praktik mobilitas sosial di tengah-tengah masyarakat. Mobilitas sosial didefinisikan sebagai tindakan untuk meraih jabatan-jabatan publik yang strategis, dengan atau tanpa mengubah struktur sosial yang ada. Persaingan untuk mengubah itu, buat saya, akan menimbulkan kompetisi ketat, bahkan diwarnai laku yang tidak sehat, di antara para pelakunya.
Oleh karena itu, meminjam istilah Weber, konflik vertikal dan horisontal bakal menemukan dua dimensinya sekaligus.
Secara vertikal struktur terbawah dari masyarakat yang selama ini tunakuasa (power less) ingin menduduki jabatan-jabatan publik tertentu di pemerintahan.
Kemenangan PDI Perjuangan di Jawa Tengah saya kira adalah pihak yang paling berhak untuk menggantikan posisi-posisi itu, terlebih ?dendam? ketertindasan selama ini telah ditanam Orba.
Secara horisontal, antar kekuatan masyarakat akan saling menghadapkan demi mewujudkan ambisi-ambisi itu. Sekurang-kurangnya, kekuatan yang selama ini menikmati berkah kekuasaan, baik dari kalangan militer, Golkar, maupun yang secara terbatas dimiliki kalangan Islam, akan berhadapan dengan massa pemenang pemilu tersebut.
Dengan demikian, saya prediksikan, knflik di Jateng pada era mendatang adalah konflik klaim antara ?pemenang pemilu? versus ?kekuatan politik berkah? Orba.
Koalisi Antarpartai
Di Jawa Tengah, koalisasi antarpartai dalam parlemen telah terbentuk. Saya mengategorikan dalam:
- Pertama, kekuatan nasionalis-religius. Mereka terdiri atas PAN dan PNI massa Marhaen.
- Kedua, Islam-prinsip, dengan anggota PPK, PK, PBB, dan PNU.
- Ketiga, kekuatan militer (TNI/Polri).
- Keempat, Islam-tradisionalis, dengan kekuatan PKB di dalamnya.
- Kelima, nasionalis sekuler, dengan motor utama PDI Perjuangan, terdiri atas PKP, PNI Front Marhaenis, dan PNI.
- Keenam, kekuatan nasionalis-pragmatis dengan Golkar sebagai intinya.
Seperti yang pernah saya tulis di rubrik ini (SM, 11 Juli 1999), pada akhirnya keenam sayap politik itu ?meminjam Marcus Mietzner (1998) yang banyak mendasarkan pada tesis lam Geertz? dapat direduksi dalam tiga varian atau subkultur politik: santri, abangan, dan pragmatis.
Kata Mietzner lagi, dinamika saling mendukung akan tampak saat pembahasan hal-hal substansial, seperti persoalan agama, pranata yang menyangkut kepentingan norma, serta persoalan top leader seperti jabatan kepala daerah dan jabatan publik politik lainnya.
Mungkin, dinamika politik akan menempatkan berbagai kekuatan tersebut dalam aliansi dan realiansi dengan dimensi ideologis, strategis, dan taktis.
Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, Semarang.