Napak Tilas dan Nostalgia Perjalanan Hidup Ketua Bawaslu di Semarang

Kamis, 24 September 2009 , 11:44:40 WIB
Napak Tilas dan Nostalgia Perjalanan Hidup Ketua Bawaslu di Semarang

Berada di rumah sendiri terasa lebih damai. Setelah selama seminggu saya bersama keluarga malang melintang mengunjungi banyak tempat. Dari Jakarta ke Batam, dari Batam ke Pulau Bintan, seterusnya ke ibu kota Kab. Bintan Timur: Kijang.

Pada 1 Syawal 14.30 H balik lagi ke Batam, terus ke Hang Nadim. Terbang ke Cengkareng, transit 3 jam berangkat ke Semarang. Esok paginya dari Semarang ke rumah orang tua (almarhum) di Kota Pekalongan, terus ke Kesesi Kab. Pekalongan.

Pada esok harinya ke Yogyakarta, Klaten, dan kembali lagi semalam ke Semarang. Saya merasa ada saatnya santai sejenak di rumah. Sepagian di rumah, sebelum nanti siang rencananya akan mengajak anak berkeliling Kota Semarang. Sekarang menikmati saja dulu santai di rumah sambil menyelonjorkan kaki. Ngobrol dengan adik, staf yang saya bawa dari Jakarta, dan para tamu yang hadir di rumah. Pagi hingga siang ini open house di rumah saya!

Terasa lebih nyaman berada di rumah sendiri. Selama 2 tahun terakhir saya lebih sering berada di Jakarta. Sebelum di Bawaslu sendiri, atau setahun sebelumnya, praktis saya sudah berada di Jakarta. Ada pekerjaan advokasi UU Pemilu, juga sejumlah pekerjaan meneliti perilaku dan kapasitas anggota DPR dlm menyusun undang-undang.

Selain itu, sejumlah pekerjaan juga saya lakukan, sehingga mengharuskan saya separuh di Jakarta serta sisanya di Semarang. Di Semarang sendiri antara 2007-2008 masih mengajar di program sarjana dan magister.

Pada saat yang sama saya masih melakukan penelitian otonomi daerah di 40 kabupaten/kota se-Jateng dan DI Yogyakarta. Yang terakhir ini dibiayai Jawa Pos, bekerja sama dengan Uni Eropa, Kemitraan, dan Pemprov Provinsi Jateng dan DIY. Juga jadi konsultan pembentukan Panwas Pilkada yang dibentuk DPRD. Soal ini lebih dari 25 daerah saya terlibat di dalamnya. Di luar itu, ada pekerjaan-pekerjaan lain bersifat pribadi dengan sejumlah orang. Alhamdulillah !

Saya bersyukur, selepas saya purna tugas sebagai Ketua Panwaslu Jateng untuk Pemilu 2004, Allah menganugerahkan rezeki dengan berkah berlimpah. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut, plus saving sejak tahun 1997 hingga posisi terakhir, saya belikan sejengkal tanah dan membangun rumah di kawasan Tembalang, dekat tempat saya bekerja sebagai dosen di kampus Undip, Semarang.

Selepas dari Panwaslu dulu sebenarnya saya dan istri mau nyicil/kredit rumah. Tapi rasa-rasanya tidak memuaskan setelah ditimbang2. Di samping tidak luas, juga konstruksi serta modelnya mesti dipasrahkan ke pengembang. Sambil tengok sana sini tanah murah yang kira-kira terjangkau sesuai isi kantong dan kemampuan, kami menjatuhkan pilihan di lahan yang sekarang kami tempati ini. Dari awal saya sepakat dengan istri, kawasan favorit kami adalah Tembalang.

Selain bebas banjir karena di daerah ketinggian, juga hawa kawasan Tembalang kami rasa masih lebih asri, sejuk, dan jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Suatu ketika, sekitar 2006 akhir, saya baca iklan kecik di harian Suara Merdeka, saya temukan iklan ikhwal dijualnya sebidang tanah. Seperti saya ungkap tadi, setelah tidak jadi mengambil kredit rumah, kami cari-cari tanah untuk bangun rumah tinggal kami.

Seumur2 saya belum pernah baca iklan kecik di media manapun. Saya tidak tertarik sama sekali. Namun entah mengapa, akhirnya saya paling rajin membacanya. Ya itu, karena keinginan menggali info tanah, akhirnya jadi asyik juga. Setiap pagi begitu datang koran, yang saya buka dulu iklan kecik khususnya iklan jual beli tanah, bukan headline atau berita politik spt kebiasaanku sebelumnya.

Kala itu berita politik tdk menarik lagi. Tergantikan iklan2 kecik. Setiap pagi sambil membawa stabilo, kalau ada info menarik, terjangkau, saya tandai dengan stabilo. Setelah semua kotak dibaca, langkah berikutnya pelajari barang sebentar, sebelum akhirnya klarifikasi sesuai nomor kontak. Bila cocok, janjian ke lokasi. Itulah yang terjadi kemudian.

Pagi itu saya telepon ke nomor alamat kontak. Orang yang di seberang agaknya siap melayani saya survey & ngecek ke lokasi di Tembalang. Luas tanah diukur, panjang dan lebarnya dicek ulang. Saya cocokkan dengan apa yang tertulis di dokumen sertifikat asli, yang sebelumnya saya minta agar dibawa serta saat janjian td. Cocok ! Tawar-menawar. Harga sesuai kesepakatan. Transaksi dan kepemilikan tanah resmi sudah di tangan. Tidak langsung kami bangun karena kami sedang kumpulkan biaya untuk membangun rumahnya dan berdoa.

Maunya di atas tanah itu langsung dibangun rumah. Namun keinginan masih terganjal oleh kemampuan kantong. Tapi dengan keterbatasan itu semangat kerja keras terus berkobar-kobar. Bak para pahlawan di tahun-tahun 45. Juga dengan doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan ke haribaan Allah. Bagi saya dan istri, kerja keras bernama ikhtiar serta doa (ora et labora) harus berimbang. Namun kerja lebih di depan daripada berdoa. Kerja merupakan prasyarat adanya rezeki, sebagai pintu rezeki dari Allah.

Kalau dihayati dari doa pasca sholat Dhuha terbaca jelas betapa Allah akan membukakan pintu-pintu rezeki dari perut bumi dan terkoyaknya pintu rezeki dari langit. Allah memang maha kaya. Semua yng diminta hamba-Nya pasti dimakbulkan. Bagi kami, Allah memberi dari yang sekadar yang kita minta. Percayalah, karena kami telah membuktikan !

Tepat pada hari Natal 2007, kami pindah ke rumah baru. Kepindahan ini mengakhiri sekian kali kami tinggal di kontrakan. Kalau dihitung-hitung, setelah berkeluarga sejak Februari 2003, kami sudah pindah kontrakan rumah di sebanyak tiga tempat.

Pertama, sepulang dari resepsi nikah di Kijang Bintan pada 2001, kami langsung menempati bilik kecil di Genuk Karanglo Jalan Sriwijaya Semarang. Benar-benar sangat menyedihkan, sepetak kamar kami sewa setahun Rp800 ribu. Tempatnya sumpek, slum area, depan rumah terdapat kandang ayam.

Ketika makan pagi, siang, atau malam, baunya sangat menyengat. Di saat seperti itu saya pasti muntah dulu. Sejak kecil saya paling sensitif dengan bau kotoran ayam. Sewa rumah di situ saya berbagi tempat dan "fasilitas" dengan seorang tukang soto ayam, seorang pelajar STM, dan dengan pemilik atau tuan rumah seorang kernet bus Patas Coyo jurusan Tegal-Semarang.

Benar-benar terjadi, sepasang pengantin baru berbulan madu di dekat kandang ayam. Gaji per bulan sebagai dosen tidak cukup untuk menyewa rumah (kontrakan) yang layak huni. Sedih rasanya kalau saya teringat masa-masa itu. Biarlah itu menjadi cerita bagi kami berdua.

Ruang 3x5 meter memberi arti bagi saya dan istri. Tentu bersama kenangan "mengasyikkan" di dalamnya. Saya masih ingat, kami seringkali terjaga ketika tukang soto ayam pagi-pagi buta tengah menyiapkan barang-barang dagangannya. Atau bila tetangga sebelah rumah menghidupkan motor sehingga asapnya sebagian masuk ke kamar kami.

Perlu diketahui, antara rumah yang salah satu kamarnya kami sewa tersebut dibatasi oleh lorong sempit yang juga sebagai parkir motor para penghuni. Nah, kalau berangkat atau pergi selalu terdengar deru motor yang asapnya pasti masuk ke kamar-kamar sekitarnya. Tentu saja ke kamar kami.

Tiap jelang pagi kami tentu berebut fasilitas rumah. Kalau tidak pagi-pagi benar kami mandi, bisa-bisa kami mandi dengan sisa air seadanya. Demikian juga bila masuk ke kamar mandi, harus antre dulu. Benar-benar "mengasyikkan". Byk cerita yang lain, tapi biarlah hanya kami yang bisa mengingat-ingatnya.

Belum genap setahun tinggal di kandang ayam, kami pindah kontrakan tak jauh dari sana. Permohonan kredit ke Koperasi Karyawan disetujui pihak managemen. Tak banyak barang yang saya angkut dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Satu-satunya barang berharga saat itu adalah kasur busa yang kami beli setelah pulang dari Bintan. Kasur itu merupakan modal pengantin baru kami. Selebihnya buku-buku kami yang lebih merupakan penyempit ruangan 3x5 meter.

Kedua, di sekitar jalan Sriwijaya, Semarang. Di kontrakan yg baru, kami sedikit leluasa. Ada dua kamar, satu kamar mandi plus tempat buang hajat. Yang paling disukai istri, di tempat itu airnya sungguh melimpah, jernih, dan layak untuk mandi--meski kalau untuk masak dan minum kami tetap beli air kemasan galonan di warung sebelah.

Lokasinya di gang kecil, belakang RM Pojok Salero Masakan Padang, Jalan Sriwijaya. Tak jauh dari SPBU dekat Mapolda Jateng. Rumah makan ini terakhir saya lewat sudah tidak ada lagi. Mungkin sewanya sudah habis.

Di rumah itu saya merasa taraf hidup kami lebih baik dari sebelumnya. Yang paling tidak saya suka, pemilik rumah yang tinggal di sebelah, orangnya cerewet. Dia suka mendikte kami, juga ngipas-ngipasi istri. Misalnya, istri seorang dosen kok tidak punya motor, mengapa tidak punya rumah, atau fasilitas lainnya semacam mobil pribadi. Rupanya ke suaminya juga cerewet. Sering suaminya suka curhat ke saya. Banyak dia cerita kondisi rumah tangganya. Saya jadi pendengar yang baik juga. Rupanya "Suami-Suami Takut Istri sedang curhat !"

Rumah itu membawa hoki kami. Lama nama saya tidak terdengar dari pergaulan, banyak temen yg ingin mengulurkan tangan. Tapi saya menampiknya dengan halus lagi sopan. Akhirnya saya diminta aktif di LSM yang akan dibentuk dalam Pemilu Gubernur Jateng. Saya aktif sementara di sana. Sembari itu saya aktif kembali menyelesaikan studi magister saya di UI, Jakarta. Sejak menjelang dan sehabis pengantin baru, saya ingin cepat-cepat menyelesaikan thesis saya yang tersisa.

Tapi di suatu pagi saya ditelpon oleh Rektor Undip Prof. Eko Budihardjo untuk menghadap. Eh...rupanya ada peluang jadi anggota Panwaslu. Ada pengumuman yang diterima rektor. Siang itu juga saya menghadap. Saya mendaftar saja ke Kejaksaan Tinggi Jateng sebagai pihak yang menyeleksi. Saya penuhi semua persyaratan yang ditentukan. Saya diterima, dan saat pemilihan ketua saya dipilih keenam anggota yang lain. Jadilah Ketua Panwaslu Jateng pada Pemilu 2004. Merdeka !

Tampaknya di rumah itu kami punya sejarah. Dari rumah itu kami tak lagi dirundung urusan-urusan domestik lagi. Tidak lagi seperti yang kami alami sebelumnya. Lebih banyak say terlibat dalam urusan-urusan publik, paling kurang mengokohkan orbitasi saya sejak saya menjadi "pengamat politik", seperti komentar dan tulisan saya di media massa.

Orang mengenal saya sebagai Ketua Pengawas Pemilu. Saya mengusung kepentingan agar Pemilu 2004 di Jateng taat pada aturan, agar Pemilu itu berasas Luber dan Jurdil. Dapat dikatakan sukses pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan di Jateng pada waktu itu. Hanya kadang kala ada sisa dari setiap yang disebut sukses.

Saya pernah dua kali dilaporkan ke Polisi, satu di antaranya jadi tersangka di Solo. Teror dan cobaan suap pernah saya terima/alami. Saya lampaui saja dengan baik. Dari rumah itu istri saya hamil kemudian melahirkan anak kami yang pertama. Kami namai dia Fairly Visnumurti Hidayat. Suku kata pertama Fairly: dari kata-kata free & fair election.

Ketiga, kontrakan di Papandayan, Semarang. Kami pindah rumah seusia 16 hari anak kami yg pertama. Kami perlu pindah mengingat di tempat lama sangat bising. Kami tinggalkan bersama 3 tahun kenangan suka dan duka. Orang bilang Kawasan Papandayan daerah orang elite. Benar saja karena memang banyak orang besar tinggal di sana.

Tetapi yg namanya rumah kontrakan, ya tetap orang "kontraktor". Di sana kami lebih tenang, karena Papandayan di dataran tinggi. Tidak bising. Anak kami tumbuh lebih baik, jauh dari hiruk pikuk kota bawah. Setiap pagi kami sempatkan jalan-jalan bersama Fairly. Di kawasan perumahan elite Palm Hill, Bukit Papandayan, atau masuk ke kompleks Akpol.

Semuanya menyenangkan. Di sana kami 3 tahun, sebelum akhirnya kami pindah pada Natal 2007. Itu setelah hampir setengah tahun kami bangun rumah. Sekarang semua kenangan terungkap setiap kali saya termenung saat-saat seperti sekarang. Kami ingin ini jadi kenangan terindah dalam perjalanan hidup kami sekeluarga !

(Dio, 24/09/09)