Ketua Bawaslu: Silaturahmi Ke Sejumlah Tokoh Di Semarang
Jum'at, 25 September 2009 , 15:23:07 WIB
Hari ini (Kamis, 24 Sept 2009) acara saya tidak lain adalah bersilaturahmi ke sejumlah tokoh di Semarang. Pertama-tama tentu saja ke Rektor Undip: Prof Susilo Wibowo. Hari ini adalah hari pertama masuk kerja setelah cuti bersama lebaran.
Saya berharap bisa bertemu dengan semua orang yang saya mau cari. Saya diterima di ruang beliau di kampus Tembalang. Saya tak tidak akan berlama-lama di kampus kami. Jarak rumah saya dengan kampus Undip tak lebih dari satu km.
Selain ke rektor, saya akan silaturahmi ke para Pembantu Rektor di lingkungan Undip. Sayang belum semuanya sudah berkantor kembali, akhirnya saya pergi dulu ke senior-senior yang lain.
Setiap tahun saya selalu sowan ke senior. Sekenanya saja, pokoknya yang ada di ruang kerja yang dapat saya temui. Itu kalau yang di kampus, kalau di luar kampus langsung saja kejar ke rumah mereka.
Syukur ada, jika tak ada pun setidaknya kedatangan saya akan disampaikan oleh istri-istri mereka, anak-anak mereka, atau pembantu-pembantu mereka (bila ada, atau sudah kembali ke bos-bos mereka).
Senior saya banyak, dengan latar belakang beragam. Ada yang jadi akademisi, seperti di kampus tadi, kyai, pengacara, bahkan preman dan setengah preman. Ada anggota parlemen, pejabat eksekutif, atau setengah eksekutif dan legislatif. Sedapatnya saya temui mereka hari ini.
Satu-satu memberi kesan. Ada yang mendalam, biasa saja, namun ada juga yang mengenaskan. Ada sepuluh orang yang berhasil saya temui. Lebih baik tidak saya sebut identitasnya, karena sebagian di antaranya sudah dikenal publik.
Seorang senior yang dari awal jadi pengusaha sekarang sudah menjadi petambak sukses. Awal tahun ini dia bangun hotel di kawasan Kota Lama Semarang. Konsep hotel berbasis pada heritage, syari'ah and convention. Saya tidak tahu bagaimana menerjemahkan konsep tersebut dalam detil-detil implementasinya karena tampaknya saling bertentangan satu sama lain.
Dia bangun hotel dengan sistem BOT jangka 25 tahun (dan dapat diperpanjang, katanya) dengan sebuah yayasan berbasis keagamaan. Bangunan lama dibiarkan karena dilindungi sebagai cagar budaya, sebelahnya merupakan bangunan baru. Saya bangga dengan konsep dia tentang perhotelan.
Saya juga mengunjungi seorang senior yang biasa-biasa saja. Hidupnya santai, puas dengan apa yang diperolehnya selama ini. Dia merasa sudah cukup dengan apa yang didapatnya. Dia bilang bahwa hidup itu mengalir saja. "Hidup itu seperti air. Kemana pun ia mengalir, ikuti saja ke mana arahnya.
Tidak perlu ngoyoworo. Tidak perlu dikejar-kejar itu rezeki. Kalau Gusti Allah sudah mengatur kita, saya yakin semuanya akan hadir rezeki itu di depan kita !", katanya berfilsafat. Beberapa hal saya kurang sepakat dengan kosep hidupnya. Tapi biarlah, toh setiap orang punya hak menentukan nasib sesuai dengan keinginannya. Itu adalah hak asasi. Negara harus menjamin hak asasi sementara kita harus menghormatinya. Termasuk ketika dia konsisten dengan jalan hidupnya.
Untuk ukuran PNS yang sudah lebih 15 tahun mengabdi, seperti yang saya amati dari PNS lain, tentu tidak akan sesederhana yang senior saya ini alami. Konsisi rumahnya bersahaja, bahkan mungkin orang menilainya amat bersahaja. Namun apapun, saya akan menghormati karena konsistensinya, termasuk konsisten dengan"kebersahajaannya" itu.!
Saya hormat kepada beliau itu karenanya saya datang pada lebaran ini karena memang orangnya lurus. Lurus sekali. Mungkin saking lurusnya, saya lihat anaknya yang paling kecil terlihat tak terurus.Anaknya yang paling besar malah di Jeddah bekerja sebagai TKW. "Anaknya yang nomor dua masih cari pekerjaan ! ", tukas istrinya, sambil berharap kalau-kalau saya bisa membantunya. Nah, lho !
Ada senior saya yang kurang beruntung dalam politik. Karir politiknya tidak seberuntung yunior-yuniornya. Pemilu 2009 ini dia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Jateng. Dia dapat Dapil sekitar kawasan tengah Jateng. Setengah milyar habis untuk modal nyaleg.
Sawah, tanah, dan mobil sudah amblas. Gagal dia, kalah dengan caleg lain di bawah usianya. Kegagalan dia sebabnya bukan kali ini saja. Pada Pemilu 2004 yang lalu, saat dia nyaleg di Kota Semarang, dia juga gagal. Kala itu dia diminta "mengalah" oleh bos partai, sambil "memberi kesempatan" ke kader lain.
Tapi sebenarnya itu cara bos itu ngadali dia. Saya sedih mendengar bahwa dia dikerjain oleh bosnya. Itu pun bukan pula kejadian kali pertama. Karena pada Pemilu 1999 nama dia sdh tercantum dalam daftar caleg dengan no urut peci. Dia diturunkan ke no sepatu di detik2 terakhir pendaftaran tanpa sepengetahuannya. Dengan kejadian siklus lima tahunan itu saya sarankan agar berhenti saja jada aktivis partai. Dia tertawa terbahak-bahak mendengar saran saya sebagai yuniornya.
Setelah gagal jadi caleg, apa aktivitasnya? Istrinya menjawab, belakangan sedang sibuk bersama sejumlah warga membangun Taman Pendidikan al-Qur'an (TPQ) di depan rumah. "Itu, TPQ yang mau rampung !", istrinya menunjuk ke arah depan rumah. "Lho, boleh juga kalau Abang sbg Rektor TPQ !", saran saya yang diikuti gelak-tawa yang bersangkutan, istri, dan saya !!
Saya cukup puas keliling kota. Saya sampai di Jalan Pandanaran, Semarang. Ratusan bahkan ribuan orang memadati sepanjang jalan itu. Saya tidak heran karena di jalan itu saban tahunnya memang ramai akan pengunjung. Saya lihat mobil bernomor Jakarta memenuhi bahu jalan.
Mereka adalah para pemudik yang berburu bandeng presto. Keistimewaan bandeng ini karena duri lunaknya dan rasanya yang gurih khas. Jadi orang tidak perlu repot-repot bisa lahap makan dagingnya tanpa khawatir tertusuk durinya. Kota Semarang sebenarnya tidak hanya dikenal dengan bandeng presto-nya.
Di sini terkenal pula Lunpia. Makanan ini terbuat dari rebung bambu muda, diisi dengan bumbu-bumbuan yang “echo”, dan makan dengan dicocolkan ke kuah kental rasa cabe. Sungguh nikmat. Di samping itu, di kota ini terkenal dengan wingko babat. Rasanya legit. Saya warga di sini, jangan sampai ada yang salah memilih ya? Pilihlah makanan yang paling lezat !
Selain berebut di Jalan Pandanaran, para pemudik juga berebut ke Gedung Lawang Sewu. Saya tidak tahu mengapa disebut gedung Lawang Sewu. Mungkin karena jendelanya berjumlah seribu. Belum terdengar berapa jumlah sesungguhnya dari pintu atau jendela. Memang Lawang Sewu merupakan ujung jalan Pandanaran.
Sekilas kala lewat di lokasi itu, sambil menyaksikan dari saat menunggu lampu merah di kawasan Tugu Muda, orang berebut foto bersama, ada yang saya lihat masuk ke dalamnya. Mungkin ingin uji nyali juga, karena beberapa kali Lawang Sewu menjada lokasi syuting film-film horor. Dulu ada tv swasta yang khusus mengangkat perburuan hantu secara reality show. Sayang sekali, gedung itu tidak dikomersialkan, dengan misalnya disulap jd hotel. Orang Semarang mengenal Lawang Sewu sebagai sarang hantu. Sayang sekali memang !
Di Semarang terbit harian baru. Namanya "Harian Semarang". Tagline-nya Semarang Banget ! Diterbitkan oleh pengusaha lokal: HS. Terbitnya koran ini melengkapi media yang telah terbit sebelumnya. Suara Merdeka terbit pagi, Wawasan terbit sore hari, di bawah bendera Suara Merdeka Group. Juga Jawa Pos Radar Semarang dan Meteor milik Jawa Pos Group.
Dengan terbitnya koran baru, persaingan media kian ketat. Di Jateng sendiri sudah terbit lama Solo Pos milik Grup Sahid. Area edar di sekitar Solo Raya. Di sebelah pantai selatan sdh lama hadir Kedaulatan Rakyat, yang terbit dengan varian-variannya seperti Merapi Pos.
Maka kalau mau menembus pangsa yang sudah ada, koran ini mesti berebut ceruk (pasar) yang makin sempit. Mungkin, dengan tagline "Semarang Banget", koran ini ingin mewakili (semata-mata) Semarang dan sekitarnya. Kita lihat sj nanti.
Malam ini saya silaturahmi ke tetangga. Tidak semua tetangga memang. Selain ternyata belum semua tetangga sudah kembali dari kampung, sehinga muskil seluruh rumah didatangi satu per satu. Ini saking banyaknya. Ambil saja tokoh-tokohnya.
Di kali waktu bisa dipenuhi untuk keperluan lain. Kami tinggal di lingkungan perumahan. Sebagian besar para penghuni di sini adalah PNS di lingkungan Pemkot Semarang. Sebagian yang lain adalah karyawan swasta. Sisanya merupakan beragam profesi. Satu hal yang membedakan lingkungan di sini dengan lainnya ialah kekompakannya. Warga di sini terhimpun dalam kepentingan yang baik.
Saya masih ingat saat-saat kami baru di sini dulu. Kala itu kami datangi satu-dua tokohnya. Sebagai warga baru kami mesti mendatangi, sebisanya. Yang penting niat baik, selebihnya kebersamaan. Sengkuyung. Bertetangga yang baik itu bagian dari iman !