Membaca Buku Disela-sela Perjalanan Liburan

Sabtu, 26 September 2009 , 18:14:35 WIB
Membaca Buku Disela-sela Perjalanan Liburan

Di sela-sela perjalanan liburan lebaran 1430 H ini, saya juga sempatkan untuk membaca roman atau buku. Roman adalah cerita fiksi, kalau dewasa ini mungkin disebut novel. Penulisnya kebanyakan angkatan Balai Pustaka, atau penulis-penulis susastra era setelahnya. Sejak 18 September 2009 hingga 6 Syawal 1430 H ini sudah tiga roman dan buku saya baca.

Membacanya tidak sedetilnya membaca buku teks kuliah. Saya sempatkan di sela-sela menunggu pesawat yang hendak menerbangkan kami. Di dalam kapal cepat saat di perairan Kepulauan Riau, atau dalam waktu-waktu senggang menunggu tamu di rumah, yang sebenarnya tidak banyak waktunya.

Itu pun bila selama itu tidak sedang "diganggu" Fairly anakku atau Mamanya. Semuanya saya lakukan dalam situasi yang benar-benar memanfaatkan waktu tersisa saja. Membaca itu mencuri-curi atau mengais-ngais waktu saja. Tidak ada waktu yang saya sediakan secara khusus untuk membaca roman/buku yang saya bawa itu. Bagi saya, membaca itu harus dalam situasi menyenangkan. Maka memang harus kita punya perasaan senang belaka. Apalagi yang dibaca roman/novel. Jadi mesti senang !

Secara sengaja buku atau roman tadi saya bawa dari Jakarta. Kebiasaan saya sejak lama setiap melakukan perjalanan harus bawa buku. Seperti juga setiap minggu saya harus menghabiskan setiap buku, apapun bukunya. Itu belum termasuk buku teks untuk mengajar/kuliah. Kebiasaan ini meniru orang-orang hebat yang biografi/otobiografinya pernah saya baca. Bahwa kalau mau sukses dan menguasai segala sesuatunya, kuncinya ada pada seberapa banyak/ seringnya kita membaca. Apapun bahan bacaan kita. Ya, saya menjalani anjuran bijak bestari itu.

Saya mengambil manfaat dari apa yang saya lakukan. Selanjutnya, siapa menabur angin akan menuai badai. Pengetahuan yang kita punyai kini merupakan persemaian di waktu lampau. Demikian halnya apa yang kita tanam hari ini tunaiannya akan dapat di masa depan. Ini soal karma bertuah. Saya percaya !

Saya tidak pernah membatasi ikhwal bacaan apa yang paling baik. Buat saya, semua bacaan itu baik asalkan bermutu. Saya pernah jadi pecinta Kho Ping Ho, bahkan menjadi pecandunya. Saya juga suka membaca buku-buku politik, saya harus membacanya mengingat saya adalah dosen ilmu politik. Saya mengagumi para pengarang kesohor spt Sidney Shilden untuk cerita-cerita fiksi. Saya membaca karya-karta pengarang kita awal-awal abad 20, seperti Merari Siregar, Abdul Muis, Hamka, Ajip Rosyidi, atau Mochtar Lubis, dan seterusnya. Roman "Pujangga Baru" atau "Balau Pustaka" pun saya meminatinya.

Karya-karya susastra Indonesia saya membacanya. Besarnya minat membaca karya susastra bagi saya, tak lepas dari dorongan guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP dan SMA. Namanya Jazuli Fr (SMP), lulusan IKIP Malang. Juga Suwondo (SMA), seorang teaterwan, nyentrik, sekaligus pembaca puisi yang baik.

Dari kedua beliau saya pun membaca karya NH Dini "Pada Sebuah Kapal", "Namaku Hiroko", atau "Sebuah Gang Di Kotaku" (yang disebut terakhir ini saya agak lupa). Hebatnya, seorang NH Dini bisa membawa kita ke alam pengembaraan yang mondial. Pembaca diajak serta menggumuli transnasionalisasi pergaulan antarbangsa tokoh-tokohnyanya. Saya terpikat karenanya.

Dari guru bahasa di SMP saya meminati susastra. Saking terhipnotis beliau, saya pembaca setia majalah Horison. Majalah ini cukup bergengsi pada zamannya. Saya masih ingat pada 1982-an ketika perdebatan sastra konstekstual di majalah itu. Terlibat polemik antara Arief Budiman, Ariel Heryanto, Umar Kayam, dan serta Agung Abdurrahman Saleh. Kalau hari Jumat saya biasa pergi ke kota.

Di samping mau beli majalah atau buku di kota, seringkali saya main di kawasan itu, atau nonton film di bioskop Fajar. Maklum liburan sekolah saya, karena sekolah Islam, adalah hari Jumat. Naik sepeda ke sekitar Alun-Alun Kota Pekalongan, sekalian ke Pasar Senggol guna mencari-cari bahan bacaan. Kalau tertarik saya beli. Kala itu saya kenal dengan semua penjual buku atau majalah loakan di Pasar Senggol itu. Tempatnya pasar jual beli barang bekas itu ada di belakang Bioskop Fajar (sekarang sudah tdk ada).

Guru bahasa dan susastra-ku di SMA juga memberi kesan yang lebih mendalam. Orangnya nyentrik, rambut gondrong, dan perokok berat. Tapi dari kedua guruku tada memang perokok berat semuanya. Guru SMA-ku membawa saya pada dorongan ngebet susastra. Saya tahu nama Pramoedya Ananta Toer dari beliau.

Karya-karya Pram, saya tidak pernah baca pada waktu itu. Maklum, semua karyanya kan dilarang beredar. Tapi Pak Wondo punya sinopsis karya Pram. Judul-judul "Bumi Manusia", Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca", dikenalkannya kepada kami. Saya pernah main ke rumahnya yang sederhana di Wirodeso Pekalongan demi pinjam roman-roman tadi.

Beliau tidak mau memberinya. Atau beliau sendiri juga tidak punya? Ah, saya tidak tahu. Saya pernah kejar mengapa tidak boleh? Sementara Pak Wondo ini amat suka kalau muridnya pinjam roman koleksinya. Tapi khusus Pram, beliau memang pelit bicara. Beliau bilang: "Nanti Mas Nur akan tahu sendiri jawabannya kalau pernah kuliah di Semarang!", katanya banget, singkat !

Pak Wondo benar. Saya menguji semua ucapan beliau. Saya buktikan ketika saya kuliah. Rupanya karya-karya Pram dilarang. Dia pernah dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Kenapa dia dibuang? Karena keterlibatanya sebagai aktivis kiri. Orde Baru membatasi geraknya, juga karyanya. Saya jadi tahu pula, dia disia-siakan di dalam negeri tapi mashyur di antero dunia.

Lebih 50 karyanya telah diterjemahkan ke bahasa asing. Kian yakinnya saya ketika saya menjabat sebagai Pemred majalah mahasiswa Opini. Saya bersama kawan mewawancarai Pram di Jakarta. Saya tahu bahwa dia orang yang dinilai terlibat dalam persoalan lain yang berseberangan dengan pemerintah.

Saya tidak peduli dengan garis politik orang. Yang saya pahami kala itu bahwa setiap yang berbau lalim musti diresistensi. Meski saya tidak seradikal teman-teman saya yang kemudian terjun ke PRD atau SMID, saya mengiyakan dengan perjuangan mereka. Toh, perubahan politik dimulai dari apa yang sudah dikerjakan mereka. Termasuk mungkin Pram. Termasuk pula guru bahasa saya tadi. Salut kepada mereka !

Saya baca tetralogi karya Pram setelah kuliah. Karya Pram ini seolah sudah jadi bacaan wajib. Saya masih ingat, karya Pram ini hanya dimiliki aktivis secara terbatas. Saya termasuk yang tidak ekslusif mengkoleksi karya-karta Pram. Saya bisa baca karena pinjam dari seorang temen, yang mmg punya koneksi luas di lingkaran yang memiliki akses dengan bacaan-bacaan Pram itu. Saya pun bukan pembaca paling hebat atau paling teratas dari karya-karya Pram. Saya cuma pembaca pinggiran belaka. Tapi yang jelas, dekade 1990-an buku-buku karya Pram itu dicetak tidak se-lux edisi-edisi yang sekarang bisa juga dibeli di toko buku. Karena yang dipentingkan bukan kulitnya, tapi isinya. Lazim sekali selebaran (pamflet) pun kala kuliah juga laku keras di kalangan aktivis.

Dua minggu yang lalu di TB G di Bogor, saya sempat beli karya Pram. Judulnya "Panggil Saja Aku Kartini", "Midah", "Larasati", dan "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels", di samping "Pengakuan Casanova", "Senja di Jakarta" dari Mochtar Lubis. Saya sudah melahap semua itu dalam perjalanan liburan lebaran 1430 ini.

Baiklah, saya tertarik untuk sementara ini pada dua karya Pram yang saya sebut terakhir tadi. Bukan apa-apa. Saya hanya ingin napak tilas dengan guru Bahasa dan Susastra-ku di SMP dan SMA saja. Bahwa karya Pram dilarang dibaca karena ada "sesuatu". Nah, some thing wrong-nya itu apa? Saya hanya ingin buktikan "thesis" kedua guru saya tadi.

Saya mulai dari karya roman Pram bertajuk "Larasati". Dalam Larasati, Pram memotret dinamika negara muda Indonesia pasca proklamasi. Perspektif yang dibangun Param dari seoang perempuan bernama Larasati (Ara). Digambarkannya bahwa Larasati adalah seorang sri panggung dan bintang film nan menawan.

Dia bisa "apa saja" sebagai modal revolusi. Dari seorang aktris, sisi-sisi hipokritisme berjulang. Keloyoan dan kekonyolan perjuangan bisa bersumber dari seorang pejuang, yang bila di malam hari "nelisup" ke selimut2 bidadari, sementara di siang hari bak pahlawan yang sebenarnya juga tidak sesuci yang kaum itu dikenal sebagai "pahlawan" belakangan.

Ada kisah-kisah asmara sesaat dan abadi dari seorang pecinta. Mungkin, dugaan saya, ini berbanding terbalik dengan mainstream kita selama ini bahwa yang namanya pejuang itu sosoknya dilukiskan sebagai "hero" atau "manusia setengah dewa" yang tak tersentuh dengan "dosa". Pram berhasil memotret sisi-sisi kemanusiaan perjuangan. Sesuatu yang dalam teks-teks resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah kita berlumur kesucian. Pram hadirkan konstekstualisasi individu-individu secara utuh. Di satu sisi pejuang, di sisi lain pecinta.

Dalam "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels" (JRPJD), Pram mengungkap peristiwa-peristiwa genosida mengerikan dalam pembangunan jalan raya pos, atau yang dikenal sebagai Jalan Daendels yang terkenal itu. Orang mengenal jalan itu sepanjang Anyer hingga Panarukan, sementara Pram menyambungnya dari Jakarta hingga ke Bogor pula. Ratusan bahkan mungkin jutaan manusia Indonesia jadi korban proyek ambisius dan berdarah-darah dari Gubernur Jendral Mr Herman Willem Daendels (1809). Gagasan Daendels muncul sewaktu dia lakukan perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) ke Semarang dan Jawa Timur (Oostthoek: Pasuruan-Selat Bali) pada 29 April 1808. Betapa kejamnya kerjapaksa dan tanampaksa yg diterapkan kala itu.

Juga betapa lemahnya kemampuan bangsa ini dalam menghadapinya. Digambarkan Pram bahwa sebenarnya tidak saja bangsa berkulit putih yang memaksakan kekejaman dimaksud, namun keterlibatan berkulit coklat ada di dalamnya pula. Daendels memperpanjang jalan pos guna memperluas tanampaksa kopi yang cocok untuk tanaman itu. "Tanam paksa ini kemudian dihidupkan kembali semasa Orba.

Hanya yang ditanampaksakan adalah tebu. Barangkali juga sama seperti semasa Orba, semasa Kompeni harga diturunkan atau dimanipulasi semasa panen. Boleh jadi, karena selama rakyat kecil pribumi tidak berdaya, maka jadi sumber datangnya kekayaan bagi pihak yang sebelum berhasil membuat mereka tidak berdaya...", hal. 25-26. Selanjutnya saya undang pembaca menelusuri isi buku JRPJD.

(Dio,26/09/09)