Menerima Kunjungan Tamu-Tamu dan Sohib-Sohib Karibku Di Semarang

Minggu, 27 September 2009 , 13:01:20 WIB
Menerima Kunjungan Tamu-Tamu dan Sohib-Sohib Karibku Di Semarang

 

Usai Subuh (Sabtu, 26 Sept 2009) kabut turun di sekitar rumah kami. Tapi tak berapa lama kemudian ia disapu sinar mentari yang menyemburat dari ufuk timur. Cuaca jadi cerah sumringah menyambut pagi. Di arah selatan, tampak menjulang Gunung Ungaran. Sungguh indah pemandangan pagi dan menjelang siang ini. Sayang, tempat wisata di Gunung Ungaran tidak tampak dari sini. Tertutup oleh bukit yg di sebelahnya.

Secara administrasi pemerintahan, kawasan wisata itu masuk wilayah Kabupaten Semarang. Orang menyebut daerah itu sebagai "Puncaknya" Semarang, yang dikenal sebagai Bandungan. Suatu istilah yang mengasosiasi daerah Puncak untuk orang Jakarta. Jarak rumah saya dengan Gunung Ungaran sekitar 40 km, atau 1 jam perjalanan.

Saya coba mengambil alat penglihat jarak jauh (kekeran). Dengan alat pengindera jarak jauh kondisi Gunung Ungaran tampak tidak indah. Gundul, gersang, tandus, dan kecoklatan yang tampak dari sini.

Coba dengan mata telanjang, ia terlihat indah. Gunung atau pegunungan tampak jauh lebih indah dari warna aslinya bila ditatap dari jarak yang jauh. Dipandang dari jarak dekat malah terpampang berantakan. Sama seperti sebuah lukisan. Jangan pandangi lukisan dari jarak yang dekat. Karena yang akan tampak nantinya adalah bopeng-bopeng dan benjolan-benjolan warna dan tekstur kasar yang tidak indah dipandang mata.

Sembari menikmati Gunung Ungaran, saya menyeruput teh sedap dengan beberapa kue-kue kecil yang disajikan istri. Terasa nikmati sekali. Di depan saya duduk seorang aktivis sosial, yang kini buka "warung": nama inisialnya adalah FA. Kami berbincang sekenanya tentang lebaran. Juga mobilnya yang disatroni maling.

Hobinya nonton bola Liga Eropa dan Liga di Negara2 Eropa. Dia juga hapal semua pemain klub Eropa bersama asal-usulnya. Kami bicara juga tentang konstelasi politik di Jawa Tengah usainya Pemilu. Nasib kawan, senior, dan yunior-nya. Kami perbincangkan pula kandidat-kandidat walikota dan wakil walikota Semarang, yang mulai marak dengan spanduk dan baliho di beberapa sudut kota.

Sesekali Gunung Ungaran menatap kami, sambil kami melirik ke arahnya, sungguh pemandangan yang menyejukan mata. Mengingat pemadangan tempat tinggal saya di Jakarta sejauh mata memandang hanya gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya.

Pemandangan di sini masih sangat indah dan menawan tak ada jemunya kami menatap. Kami terus berbincang banyak hal. Kali ini tampaknya serius soal masa depan reformasi. Kami berbeda pendapat untuk sejumlah hal. Tapi sepakat untuk hal lain. Bahwa reformasi telah membuahkan hasil.

Perjuangan reformasi dikontribusi setiap orang. Kecuali yang benar-benar tidak setuju dengan reformasi itu. Reformasi berhasil merestrukturisasi sistem. Sejumlah produk lama direvisi, tata kelola pemerintahan diperbaiki. Juga pemilu dibuat sedemokratis mungkin, dimulai dari aturan mainnya, berikut penyelenggaranya.

Tapi orang ramai masih meragukan berkah reformasi. Terutama di akar rumput, reformasi bisa diartikan "repotnasi". Harga menanjak naik, sementara harkat menurun (katanya). Apakah kita patah arang dengan reformasi?

Jangan pernah, tapi kita mesti dorong terus. Sampai kapan? Sampai keinginan kita guna memperbaiki keadaan terus dilakukan. Apa yang sudah dirintis dan berhasil, seyogyanya dipertahankan.

Apa yang msh dirasa kekurangannya, terus dikontrol. Jalannya kekuasaan perlu dikontrol terus. Seperta juga kepada Bawaslu, KPU, parlemen, eksekutif, lembaga semi-negara, penegak hukum, dan seterusnya, sedapatnya dikontrol terus.

Karena dalam aspek reformasi merupakan buah interaksi antarkekuatan. Transaksi antara keinginan bertahan dg kemauan memperbaiki keadaan, agr didorong dg hasil akhir kebaikan perbaikan situasi. Merdeka ! Hidup reformasi tiada henti !

Perbincangan terinterupsi kala istri menyilakan kami sarapan pagi. Di meja makan topik berganti ikhwal pribadi. Saya mendorong Bung FA agar tekun dalam meniti karier. Kalau sudah benar-benar ingin menjadi pengacara, janagn tanggung-tanggung. Dia setuju dengan saranku soal perlunya konsistensi sikap.

Saya tahu karena FA ini dulu sering unjuk rasa. Setiap kali ada yang tidak disepakati mereka demo. Saya termasuk yang dibuatnya risi kala dia bersama gengnya yang tergabung dalam ormas HK, mendemo KPU Jateng saat saya menjadi Ketua Panwaslu Jateng 2004; padahal ketika itu hubungan kami dengan KPU ini sedang disorot terkait dengan sejumlah kasus.

Tapi saya tidak bisa mencegah orang mengekspresikan aspirasinya. Sebagai pribadi, saya hormat ke dia. Dia pekerja keras, terbukti dari kuliahnya yang nol biaya dari orang tua. Juga keberhasilannya menggondol S2 Ilmu Politik UI, Jakarta.

Anak asli Cilacap ini terbilang sukses untuk ukuran hidup sebayanya. Tapi saya sedih kehidupan pribadinya. Sampai kini dia masih melajang. Di soal itu, dia terbengong kalau ditanya. Akhirnya kami pindah ke tempat semula di teras depan.

Tak berapa lama kami duduk di teras depan, datang bersama keluarga karibku: Bung AS. Mereka datang dari Jepara, tandang ke rumah dalam rangka silaturahmi Idul Fitri. Profesi sehari-hari AS adalah dosen sejarah di Undip. Tapi lebih banyak dia tinggal di Jepara.  Dia sedang menempuh studi doktor di Unpad. Disertasi yang akan diangkatnya tentang perubahan sosial di Jepara.

Kami sudah akrab sejak mahasiswa. Bahkan dia pernah jadi wakil komisi penalaran Senat Mahasiswa Undip (1994-95), sementara saya adalah ketuanya. Kami bahu-membahu dalam banyak hal. Kalau ada penelitian yang bersifat "keroyokan" saya sering melibatkan dia. Saya disarankan agar segera mengambil studi doktor.

Apa yang selama ini saya pegang, katanya, tentu ada durasi waktunya dan dipastikan bakal kembali ke kampus. Kecuali hendak terlibat dalam parpol. Saya terhenyak kalau ditanya tentang studi S3 yang terbengkalai karena kesibukan saya akhir-akhir ini. Paling mati kutu !

Saya mengetahui AS ini amat produktif. Hampir sama dengan FA tadi, AS juga giat dalam menentukan hidup. Beda di antara keduanya, yang satu lurus dan mahir dalam budaya tulis, satunya lagi mahir dalam bersilat lidah. Tepatlah bila yg terakhir ini berprofesi sebagai pengacara. Tapi keduanya dapat disamakan dalam satu hal: yang satu sehabis kehilangan Avanza, satunya lagi Rocky. Tapi keduanya langsung bisa beli lagi: Rush dan Gallant !

Saya termasuk yang kalah dengan mereka di soal-soal seperti itu. Sampai sekarang pun saya tidak atau belum punya mobil. Namun kata mereka, tidak perlu punya mobil, yang diperlukan adanya mobil.

Saya sungguh senang di antara sohib-sohibku telah sukses meniti karier. Ini melengkapi sahibku yang lain, yang kemarin juga datang di tempatku ini. Saya termasuk yang senang bila melihat orang senang. Dengan senang melihat orang senang, kita jd senang selamanya !

Di sela2 diskusi yang mengasyikkan, datang tetangga belakang rumah. Namanya Ad. Dia mengenal saya sejak lama. Saya pun mengenal sejak lama pula. Kami pernah berdekatan tinggal kost-nya, di Wonodri. Saya kos di sebelah atasnya dia. Sewaktu kami mau bangun rumah di sini, dia yang kali pertama kami hubungi. Dia jadi semacam penghubung, pengenal kami di depan warga. Di rupanya sedang antar main anak-anak jalan-jalan. Kedatangan Ad tentu menginterupsi diskusi panjang tadi.

Tanpa harus menyesal karena menginterupsi keasyikan kami yang sedang berbincang dengan tamu tadi. Tapi yang namanya tetangga, kami mesti perlakukan berlebih. Apalagi sosoknya cukup berpengaruh di bidang sosial keagamaan. Bagiku dia berjasa sewaktu kami pindah ke sini. Jadi tidak hanya karena kami telah kenal sejak lama. Bukan pula kami pernah tinggal dan berdekatan tinggal kos-nya, di Wonodri.

Saya kost di sebelah atasnya dia. Sekali lagi karena dia tetangga kami. Dia jadi semacam penghubung, pengenal kami di depan warga. Betapapun kedatangan dia kali ini kurang pas waktunya. Kedatangannya telah menginterupsi diskusi panjang tadi. Tanpa harus menyesal karena rumahku biasa datang tamu dan sewaktu-waktu serta terkadang dalam jumlah banyak, membuyarkan diskusi konstruktif dimaksud.

Sebagai tuan rumah tentu tidak boleh menyesal didatangi orang. Lebih-lebih ini dalam suasana lebaran. Tetangga pula yang datang. Tema pembicaraan teraduk-aduk antara urusan serius dengan urusan kampung. Satu bicara rencana bangun portal, rapat RT, atau ronda malam, satunya angkat topik kabinet SBY, masa depan demokrasi, hasil Pemilu, atau reformasi.

Meski tidak secara lalu lintas mengganggu forum, tapi suasana jadi tidak kondusif. Akhirnya FA undur diri senyampang menjanjikan hendak datang lagi atau ketemu di Jakarta karena dia ada rencana ke Jakarta dalam waktu dekat. Saya tunggu !

Tak berapa lama datang saudara tua. Namanya Ch. Dia memang sering ke rumah saat saya ada di Semarang ini. Dia memang rajin kontak ke aku saban waktu, sehingga tahu kapan saya berada. Kedatangan Ch menghidupkan suasana. Namun rasa-rasanya sudah cukup siang, para tamu yang datang duluan akhirnya pamitan.

Tinggallah saya dengan Ch ini. Gaya kekyaian Ch biasa menonjol. Wajar karena dia lulusan IAIN Walisongo. Dia juga pengelola ponpes sekaligus pengurus yayasan pendidikan agama di lingkungan tinggalnya.

Ch memang berasal dari keluarga keturunan kyai. Dari kampung moyangnya di Pekalongan, darah kyai sudah mengalir padanya. Merasa sudah agak lama di bertamu, para tamu pamit pulang. Tinggal saya dengan Ch bercakap ria. Ngalor-ngidul perbincangan. Tapi justru sayalah yang lebih banyak memberikan informasi ke dia daripada sebaliknya.

Malam harinya datang bertamu ke rumah saya ke rumah Ketua Panwaslu Jateng AM dan Ketua Panwaslu Blora WN. Selain dalam rangka lebaran, mereka ingin menyampaikan banyak hal terkait dengan perkembangan terkini ikhwal pengawasan. Mereka menanyakan bagaimana status Panwaslu (Pileg dan Pilpres) dalam Pilkada.

Apakah Panwaslu yang sekarang yang akan diberdayakan sebagai Panwas Pilkada. Pertanyaan ini dikemukakan ke saya sejak lama. Seperti biasa saya jawab dengan apa yang telah dan akan dilakukan Bawaslu. Kalau keinginan Bawaslu, demi efisiensi pula, bahwa Panwaslu yang sekarang adalah juga menjadi Panwas Pilkada. Tinggal menerbitkan SK saja yang pada akhirnya mempermudah/mempercepat proses. Kalau harus memulai rekruitmen dari nol sama sekali, dibutuhkan waktu yang lama. Lebih baik konsentrasi diarahkan pada upaya-upaya yang langsung terkait denganpenyelenggaraan Pilkada. Ini seperti daftar pemilih, yang kami yakini masih akan jadi bermasalah dalam Pilkada. Tapi sikap kami agaknya berbeda dengan maunya KPU. Bawaslu pernah mengajak KPU membahas itu. Kami ajukan Surat Edaran Bersama (SEB), tapi katanya langgar UU. Mereka minta lagi ke Bawaslu ikhwal Surat Keputusan Bersama (SEB). Mereka meyatakan masih juga langgar UU.

Saya jelaskan detil persoalan ke kedua Ketua Panwaslu ini. Saya informasikan koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan Depdagri, agaknya akan menyelesaikan persoalan-persoalan seperti yang dikemukakan anggota Panwas yang sekarang. Setelah lebaran ini forum sejenis akan digelar guna mengagendakan sejumlah persoalan yang msh menggantung.

Dari selentingan yang saya dengar, dalam waktu dekat ini akan ada keputusan yang memastikan. "Kita tunggu saja bagaimana hasilnya. Cuma bagi saya, meneruskan tugas kepada anggota Panwas yang sekarang menjadi Panwas Pilkada pada akhirnya menguntungkan pemilu!", kata saya kepada keduanya, "karena Bawaslu juga tidak mungkin membentuk Panwaslu di sebanyak 246 pada 2010 dalam waktu bersamaan.

Ada kondisi kegentingan yang memaksa sehingga perlu ada langkah hukum yang signifikan!". Sepertinya kita tinggal menunggu sikap Pemerintah dan KPU: apakah siap dengan "SEB"/"SKB", Surat Edaran Bersama (SEB)/Keputusan Bersama (SKB), atau yang lainnya.

Tinggal kita tunggu sampai waktunya apakah menempuh/mendorong menyetujui pemda. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga hari menjelang tengah malam. Tapi saya senang melayani tamu-tamu yang datang. Melayani tamu itu bagian dari iman.

(Dio, 27/09/09)