Media : SUARA MERDEKA
Hari/Tanggal : Senin, 25 Oktober 1999
Oleh: Nur Hidayat Sardini
Untuk mengetahui watak seorang anak, anda harus tahu siapa dulu kedua orang tuanya dan dalam suasana bagaimana anak itu terlahir. Jika pepatah Prancis kuno itu kita dijadikan acuan, maka cara yang sama bisa kita ajukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana corak pemerintahan presiden KH Abdurrahman Wahid ?yang dibantu wakil presiden Megawati Soekarnoputri? setelah dipercaya lembaga MPR.
Corak, warna, dan ?jenis kelamin? pemerintahan Gus Dur bakal ditentukan beragam faktor.
Pertama, ia adalah manivestasi dari suatu ikhtiar dari rekonsiliasi nasional, dengan semua kekuatan politik sedapat mungkin terakomodasi di dalamnya. Kabinet Gus Dur adalah Kabinet Pelangi: ada elemen nasionalis, Islam tradisionali, dan modernis, di samping kalangan pragmatis. Soalnya bukan semata-mata dia adalah figur fleksibel, namun kebutuhan dan semangat mencegah disintegrasi teritoriallah yang memaksanya menempuh langkah demikian.
Dalam konteks ini, Gus Dur memperhatikan pertimbangan antara Jawa dan non-Jawa, partisan dan nonpartisan serta pertimbangan profesionalitas dari masing-masing figur.
Kedua, resultante dan konsekuensi logis (baca: akibat) dari pembayaran utang Gus Dur kepada para pendukungnya. Sehingga ia menjadi presiden di republik ini, di sini, politik ?dagang sapi? ala Harold Laswell: who gets what, when, how berlaku.
Istilahnya, siapa yang menyetor modal besar yang bakal mendapatkan defiden gede pula. Kepada kekuatan Poros Tengah, utang gede itu harus secepatnya dilunasi. Kuitansi uang itu telah terserak di meja Gus Dur. Dan itu artinya beberapa posisi di kabinet akan diduduki kekuatan yang digagasi Amien Rais itu.
Wajar saja jika kelompok ini menuntut lebih, karena sejak awal Poros Tengah yang punya hajat atas pencalonan diri Gus Dur, dibandingkan dengan, misalnya, PKB, yang mengambil langkah ragu-ragu.
Lebih-lebih, seperti Partai Keadilan (PK) sebagai anggota dari poros ini, dalam paket prosesi power sharing selama sidang umum belum mendapatkan apa-apa. Tentu konsensi dan pos penting di kabinet akan segera mendapat tempat.
Namun, jika kebutuhan pemulihan dan pembangunan ekonomi yang menjadi alasan yang mendesak, sesungguhnya duet itu kurang kompatibel ideal dan tidak ideal. Diri keduanya sekedar memiliki ?sifat-sifat Bung Karno?, dan sebaliknya ?tidak memiliki potensi dan sifat-sifat Bung Hatta?, yang sering dikatakan mewakili tipe kepemimpinan administrator maker atau sifat teknokratisme (dan ini diperlukan buat pembangunan di Indonesia).
Padahal dengan kapal terbang Indonesia yang tengah terus menghujam ke tanah (menuju kehancuran), modal dasar ideologis kuranglah cukup. Justru dalam situasi seperti itu, ?Bung Hatta-Bung Hatta? baru lebih banyak dibutuhkan.
Skenario apa yang akan timbul jika tipe kepemimpinan seperti itu mewarnai kabinet Gus Dur? Boleh jadi, normalisasi dalam kehidupan politik (dan ideologis) agar segera terwujud meskipun masih samar, belum atau tidak untuk persoalan dan pemulihan bidang ekonomi.
Idealnya sih antara Prsiden dan Wapres berposisi untuk saling komplementer. Usulan Gus Dur (solidarity maker) semula, bahwa ia akan lebih senang jika yang mendampinginya sebagai wapres Akbar Tandjung (administrator maker), tak lain adalah bukti betapa Gus Dur juga melihat kebutuhan pembaharuan ekonomi nasional memerluka tipe Bung Hatta tadi, yang sekaligus menyangkut masa depan dan kredibilitas pemerintahannya di mata rakyat.
Sosok Gus Dur dan Mega sama-sama bertipe kepemimpinan solidarity maker. Demi kesuksesan pemerintahannya, mutlak buat Gus Dur menunjuk tim ekonomi dan kaum teknokrat guna mengisi jabatan-jabatan strategis di kabinetnya.
Maka langkah yang dapat segera diambil adalah menyesuaikan antara kebutuhan realitas pembangunan ekonomi dan kebutuhan struktur kabinet yang ramping, lincah, dan mencerminkan ikhtiar solusi dalam rangka mengeluarkan Indonesia dalam krisis multidimensi.
Restrukturisasi kabinet juga diperlukan, karena kabinet yang beranggotakan banyak, sekedar ?kesatuan politik?, selain terlihat lamban akan memperlihatkan inefisiensi dan inefektivitas. Kecuali itu, amat rentan dari bolong-bolong miskoordinasi.
Profil Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Habibie yang beranggotakan 36 menteri saya kira memperlihatkan titik-titik lemah yang saya sebut itu.
Di samping itu, kabinet pelangi dibayang-bayangi persoalan kekurangkompakkan. Seperti diketahui, kabinet Gus Dur adalah kabinet yang sekedar memenuhi kompensasi politik, para menterinya diambilkan dari dan berdsarkan komposisi para pendukungnya saat pemilihan presiden.
Sebenarnya, latar belakang demikian bukanlah tidak halal. Namun rekruitmen yang melulu berdasar pada politik ?bayar utang?, dekat mengidap penyakit kronis yang disebut tidak profesional, serta cenderung mengidap kompetensi dan integritas yang rendah.
Padahal dalam situasi seperti tu, tim ekonomi yang solid dan kabinet yang dapat diandalkan kemampuannya amat diperlukan untuk pemulihan ekonomi dan politik.
Lebih-lebih, dalam hal gabungan politik (koalisi), peleburan di antara elemen-elemen politik sehingga terjadi solidaritas dan apa lagi kohensi sosial politik di antara elemen pendukungnya, mustahil terjadi jika tidak dirintis sejak lama atau kemudian dipertemukan dalam satu kepentingan ideologis tertentu ?misalnya, Poros Tengah yang mendukung Gus Dur, dipertemukan singkat sekali tatkala SU.
Jadi, kepentingan di antara elemen pendukungnya yang tentu saja memiliki variasi kepentingan politik boleh jadi rentan terhadap ledakan ?koalisi? politik dikemudian hari.
Kekhawatiran lain adalah persoalan terlalu akomodatifnya sosok Gus Dur terhadap semua kalangan. Betapa pun, rakyat tengah memiliki resistensi tinggi terhadap berbagai persoalan sebagai akibat keterlibatan Orde Baru dalam panggung politik masa lalu.
Ketiga, di mata pelaku pasar, figur Gus Dur lekat dengan serba kejutan. Ia adalah figur yang ?tidak pernah serius?. Makanya, seperti yang juga diyakini sebagian rakyat, di tengah jalan Gus Dur akan menyerahkan pemerintahannya kepada Wapres.
Apa lagi jika melihat kondisi fisik Gus Dur yang pernah mengalami stroke dan operasi mata, kekhawatiran itu cukup beralasan. Jika asumsi ini kuat, keragu-raguan pasar kembali menghinggapi para pelaku terhadap pemerintahan baru Indonesia.
Faktor keempat yang akan menentukan format kabinet Gus Dur adalah persoalan sistemik check and balances. Trias Politika agaknya bakal diterapkan secara konsisten, terutama saat amandemen UUD 1945 sebagai hasil SU. Tentu kinerja lembaga kepresidenan tidak akan sekuat dulu lagi. Kerangka kinerja presiden sudah dikerangkeng sedemikian terbatasnya, sehingga improvisasi politik dengan titik pengawasan amat ketat dari DPR dan MPR sama sekali tidak dapat dihindari.
Kabinet gado-gado Gus Dur misalnya, harus berpegang pada GBHN yang pelaksanaannya telah dituangkan pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) lima tahun yang memuat secara terinci dan terukur, yang ditetapkan bersama presiden bersama DPR.
Sementara penggunann hak perogratif presiden untuk mengeluarkan kepres dan inpres sama sekali diharamkan. Padahal, seperti juga fungsi presiden secara kultural dan lain-lain fungsi sebagai kepala negara, posisi (mulai) presiden keempat betul-betul menggiring menuju Indonesia Baru di satu sisi, serta mengebiri pola fungsi kepresidenan lama di sisi yang lain.
Juga, jika melihat tipe kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, untuk waktu yang agak lama untuk proses adaptasi menuju profesionalisasi lembaga kepresidenan secara psikolgis dirasakan mengkerangkeng figur Gus Dur dan Mega (dua sosok yang amat dekat dengan relasi sosial kemasyarakatannya).
Skenario Kecemasan
Ada dua kelompok yang setidak-tidaknya memiliki sikap traumatis dan emosional terhadap Orde Baru.
Pertama, kalangan mahaiswa. Jika Gus Dur masih memakai orang-orang lama, mahasiswa adalah musuh kabinetnya. Jika enam visi reformasi tidak dikelola secara sungguh-sungguh oleh kabinet yang baru kelak, sudah pasti bakal berhadapan dngan kalangan mahasiswa.
Kedua, segmen massa akar rumput dengan basis utama di PDI Perjuangan. Karena pernah mengalami tragedi 27 Juli 1996, sampai kini pun tatkala di kuping kader PDI Perjuangan didengarkan sosok-sosok tertentu yang percaya di Orde Baru, maka tatkala itu pula perasaan meradang akan menghinggapi.
Memang, demikianlah dalam diri barisan Mega, meminjam istilah La Pierre (1950) terjadi suatu inner-cohension-outer hostility, yaitu perasaan kolektif yang di dalamnya terdapat kohesi sosial sesama anggota, sementara perasaan permusuhan muncul terhadap kelompok di luarnya (baca: Orde Baru).
Belum lagi jika pengusutan PDI Perjuangan untuk menjadi oposisi di dalam dan luar parlemen buat pemerintahan Gus Dur. Jika figur Mega kurang berperan di sini, kesan oposisi akan kian menguatkan perlawanan terhadap pemerintahan Gus Dur.