Perjalanan Kembali Ke Jakarta Dengan Kereta Api

Senin, 28 September 2009 , 22:08:03 WIB
Perjalanan Kembali Ke Jakarta Dengan Kereta Api

Akhirnya liburan panjang lebaran 1430 H ini harus diakhiri. Sore ini (Minggu, 27 Sept 2009) kami kembali ke Jakarta dengan KA Argo Muria Jurusan Stasiun Tawang Semarang menuju Stasiun Gambir Jakarta. Perjalanan dengan kereta pasti lebih lama. Sesuai tiket, berangkat pk. 16.00 WIB, tiba di tujuan pada pk. 21.30 WIB. Beda dengan pesawat udara, waktu tempuh paling lambat 1 jam, bahkan Garuda sering mengklaim jarak tempuh waktu Smg-Jkt cuma 45-50 menit.

Sengaja kami ke Jakarta naik kereta, bukan pesawat. Kami punya maksud tersembunyi. Biasanya kami naik pesawat. Selain hemat karena murah, juga ingin membiasakan kepada anak kami agar tidak terpaku pada pesawat. Sebabnya dia mulai bisa membedakan antara naik pesawat dengan kereta. Sekian kali naik pesawat, dia sudah bisa memilih dan membedakan antara kelas ekonomi dengan kelas bisnis/eksekutif Garuda. Kebiasaan seperti itu tidak boleh berlanjut. Anak mesti diedukasi dengan dimulai dari hal-hal yang murah dulu. Juga jangan terlalu dimanja. Biar dia juga merasakan yang tidak enaknya dulu, baru pada saatnya, enak dapat dia rasakan. Artinya, ada pengertian perjuangan yang berlaku gradatif yang mesti dia mengerti.

Di luar itu, cari variasilah. Via udara, via laut pun sudah, naik darat dalam arti bus antarkota apalagi. Malah dengan kereta saya bisa menyampaikan pesan-pesan ke anak. Dengan pergi bersama kami bisa ngobrol banyak hal. Pokoknya pertimbangannya banyak. Kalau istri bisa langsung memahami.

Dia sendiri lebih sering naik kereta ketimbang pesawat. Lagi pula kondisi kereta seperti yang kami tumpangi ini amat bagus. Toiletnya bersih dan tak berbau, cermin perawatannya yang baik. Sejak masuk hingga di dalam gerbong selama perjalanan tampak tertib. Tidak semrawut. Kebersihan juga terjaga. Keamanan, kenyamanan, dan pelayanan semoga saja melengkapi manajemen perkeretaapian kita. Kita perlu mendorong PT KAI agar terus berbenah diri. Semoga !

Saya baca berita di Media Indonesi hari ini (27/9). Direktur Lalulintas Polri Djoko Susilo menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas selama arus mudik dan arus balik pada Lebaran 2009 ini, dalam 12 hari terakhir, mencapai 576 org. Angka ini turun dibanding tahun 2008 yang mencapai 629 jiwa.

Adapun jumlah kecelakaan sebanyak 1.434. Sebanyak 1.372 (70,79%) terjadi pada kendaraan bermotor roda dua. Kita tentu bersedih atas kasus-kasus kecelakaan lalu lintas tsb. Sekeping nyawa tetap menjadi kewajiban kita untuk menjaganya.

Kita dalam konteks ini adalah pihak-pihak atau mereka yang ditugaskan negara untuk menjaga kelestarian nyawa dari warga bangsa ini, di samping para pengguna jalan itu sendiri. Mesti ada politik transportasi kita sehingga mereka yang mudik berkenderaan motor roda dua berpindah ke pengguna moda kereta api, misalnya.

Ada usulan agar pemerintah melarang penggunaan motor untuk alat mudik lebaran. Ini karena tingginya kecelakaan lalu lintas berbasis sepeda motor roda dua. Usulan ini rasanya tidak adil. Para pemudik tentu tidak mau memaksakan diri dengan bermotor bila masih ada alternatif lain semisal kereta api.

Maka perlu pemerintah menerbitkan politik transportasi dimaksud, yang memuat langkah pemerintah mendorong agar PT KAI menyediakan gerbong-gerbong tambahan dengan tiket yang murah berkat subsidi pemerintah. Jumlahnya gerbong merupakan hasil konversi jumlah pengguna roda dua yang mudik.

Istilah subsidi kan kini tak lagi populer. Saat bersamaan pemerintah mesti melarang penggunaan sepeda motor sebagai alat mudik dan balik dalam lebaran. Mengapa harus kereta api? Karena moda ini lebih masif, hemat ruang, dan relatif bisa jangkau cegah kemacetan (maaf, Ka Bawaslu hanya ingin gunakan usulan ini sebagai bentuk kepedulian sebagai warga negara, tanpa bermaksud lain).

Oh, iya ! Ada keuntungan plus bila kita naik KA. Tapi ini hanya berlaku bagi kita yang pecandu buku lho. Terasa nikmat sekali begitu kereta mulai berangsut pergi, penumpang di kiri kanan sudah larut dengan pikiran ataupun aktivitasnya masing-masing, kita buka buku yang sudah disiapkan dari rumah. Seperti dalam perjalanan ini, saya habiskan satu novel di hampir seluruh waktu sesaat kereta mencapai separoh perjalanan Semarang-Jakarta.

Saya asyik membaca novel "Harimau ! Harimau !" karya Mochtar Lubis. Ini sebagai ulangan atas langkah yang sama pada tahun 1984 di SMP dulu. Sewaktu ke TB Gramedia Java Super Mall Semarang kemarin, saya membeli sejumlah buku termasuk novel itu. Saya terkesan akan bernasnya pesan yang ingin disampaikan sang penulis.

Di bagian-bagian akhir cerita, Mochtar Lubis yang dikenal sebagai Sang Kepala Batu Granit ini menyatakan dalam tubuh kita itu adalah keangkuhan kita, arogansi, ego sektoral, selfish kita. Juga kita merasa lebih tinggi dari yang lain !

Saya mencoba memahami makna terdalam dari pesan yang disampaikan Lubis itu. Ini jadi bahan refleksi dan wasiat bagi saya pribadi. Karena dalam Islam pun kita tidak boleh sombong. Sebuah nash yang masih saya ingat dari guru tafsir Al-Quran yang mengatakan bahwa jika dalam diri kita masih ada rasa congkak, maka pada kita dekat api neraka. Kira-kira begita yang masih saya ingat dari madrasah dulu.

Laporan perjalanan yang saya tulis kemarin menyinggung roman "Larasati" dari Pramoedya Ananta Toer. Ada catatan menarik: "...revolusi atau perjuangan apa saja bisa lahir dan mencapai keagungannya kalau setiap pribadi tampil berani: tidak hanya berani melawan semua bentuk kelaliman, tapi juga bisa melawan keangkuhan dirinya sendiri !". Begitu bernas catatan Pram. Moga kita tidak berlaku sedemikan !

Peluang bersalah, congkak, dari tubuh dan jiwa saya amatlah besar. Saya takut kalau tanpa saya sadari, orang lain terluka hati. Saya merasa, Lebaran ini makna relegius jadi dalam bagi saya pribadi. Saya sempat bersimpuh dan menangis di depan makam ayah bundaku. Suatu ketika, di suatu pagi saat Bapak tidak bisa siapkan uang saku kuliah bulanan untuk saya berangkat ke Semarang, saya bentak-bentak beliau dengan kata-kata menyakitkan.

Saya bilang, jadi Penilik Madrasah kok miskin melulu. Biayai kuliah mampunya cuma....Rp? ribu per bulan. Bapak jawab: "Bapak rela kasih lebih dari itu. Tapi bagaimana adik-adikmu? mereka tidak akan kebagian. Sudah mahasiswa, coba cari cara agar mandiri, sebagai kakak tertua kamu harus bisa mengerti !", katanya.

Akhirnya sambil kuliah, saya pernah dibekali kain batik untuk saya jual dan keuntungannya dapat saya sisihkan bea kuliah. Demikian congkaknya aku kala itu. Maafkan, Pak, atas khilaf-khilaf anakmu, ucapku lirih di depan makam kedua orang tuaku ! Saya sangat menyesal !

Apakah kepada orang lain saya telah melakukan hal yang sama? Melihat aktivitas yang berhubungan dengan begitu banyak orang, saya akan merasa ya, kendatipun saya tidak merencanakan atau berniat. Juga belum tentu saya sadar atas apa yang saya lakukan itu diterima orang lain sebagai "yang menyakitkan" tadi.

Jangan khawatir, ajaran agama yang telah dipoles dengan tradisi khas Indonesia menyediakan fasilitas "penebusan dosa" yang tanpa kita sadari, tanpa kita rencanakan, atau tanpa kita maksudkan sebagai "yang menyakitkan" dimaksud. Fasilitas itu bertajuk maaf ber maafan pada saat lebaran, atau halal bi halal.

Hebatnya tradisi khas Indonesia itu telah membantu mengurangi rasa malu bagi mereka yang sadar bahwa apa yang telah dilakukannya telah dapat menyakitkan orang karena tingkah polah seseorang. Amat rugi bila kita tidak memanfaatkan fasilitas produk sinkretis agama-tradisi itu. Manfaatkan sebesar-besarnya, senyampang masih berlaku..

Orang kuat adalah orang yang bakal dicintai Tuhan. Kuat dalam pengertian di sini tidak sekadar fisik. Tapi yang penting adalah kuat rohani. Ada yang mengartikan kuat mentalitasnya. Orang yang kuat ialah mereka yang mampu menundukkan nafsu dirinya. Sejarah Islam mencatat, peperangan yang paling dahsyat adalah Perang Badar.

Tapi kata sebuah hadist, perang yang paling besar justru perang melawan hawa nafsu. Perang demi menundukkan atau membangun kontrol diri. Selama ramadhan merupakan perang melawan hawa nafsu. Perang dalam arti kerja membangun kontrol diri. Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, diri diartikan sebagai "tirta muksa".

Siapa yang bisa mencapai muksa tadi, menurut saya, sebagai juara hidup. Juara hidup ialah mereka yang berhasil mencapai kesejatian. Itulah kenapa pada tradisi masyarakat kita usainya ramadhan kita perlu pesta ketupat.

Ia adalah simbol atas kemenangan atau perang kita dalam melawan hawa nafsu. Indikator sekaligus instrumen terpenting dalam hidup bila mampu mengulurkan kata maaf. Permaafan itu, katakanlah, sebagai penggenap atas kemenangan peperangan. "Memaafkan adalah suatu kemustahilan bagi orang yang lemah, karena hanya yang kuat yang dapat melakukannya", kata Mahatma Gandi (1869-1948).

Sebuah hadist menyatakan bahwa "manusia itu tempatnya salah dan lupa". Hadist ini merupakan bentuk pengakuan manusia atas kelemahan kodratinya. Ia bisa pula diartikan sebagai kesadaran manusia untuk menempatkan dirinya secara proporsional. Ini mengingat salah dan lupa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseharian kita.

Namun ada nash lain menyatakan ajakan "mencapai kebenaran dan mencegah kemunkaran". Bila tidak dipahami secara benar, maka dalil ini dapat diartikan sebagai "mandat" Tuhan kepada kita untuk "membersihkan" kesalahan orang lain.

Dengan sembarangan orang lain kita sangka telah melakukan ketidakbenaran. Maka yang kita lakukan adalah membersihkan "jiwa" orang lain dimaksud. Inilah "claim of the truth". Suatu pendakuan yang menyatakan dirinya di atas orang lain. Pada orang lain telah salah, tapi pada dirinya itu bersih.

Salah dalam memahami seperti itu bisa berkembang menjadi cara yang memaksakan kehendak. Apalagi bila struktur sosial pihak pertama lebih tinggi daripada pihak kedua, bisa-bisa menenggelamkan butir-butir kebenaran yang amat mungkin bisa dilakukan pihak kedua. Kalau sudah demikian kata maaf tidak memiliki relevansi lagi.

Postur manusia pasca puasa (sebagai muttaqien) jadinya berantakan. Capaian paripurna kemenangan hidup sekadar teks dalam kitab suci. Imam Ghazali menggambarkan, puasa yang tidak berefek pada perilaku sehari-hari terutama setelah usainya ramadhan, akan: "terasa sia-sia ibadah puasa kita. Kita tidak dapat apa-apa, kecuali lapar dan dahaga !" Nauzdubillahi min zalik !

(Dio, 28/09/09)