Pekalongan, Kota Yang Telah Hilang Segalanya

Sabtu, 20 November 1999 , 21:23:08 WIB
Pekalongan, Kota Yang Telah Hilang Segalanya
Media : Joglo Semar Hari/Tanggal : Sabtu, 20 November 1999 Perkembangan sebuah kota akan terlihat setidak-tidaknya dari tiga parameter utama (Deri, 1964: 3). Pertama, kemajuan bidang ekonomi. Tidak semata-mata ekonomi bagi kelas atas, namun yang lebih penting dapat menjadi gantungan hidup bagi rakyatnya. Sektor informal, misalnya, apakah sudah mendapat dalam penataan kota. Kedua, ukuran politik, sosial, dan budaya. Spasialisasi keluarga untuk berekspresi dalam proses-proses pengambilan keputusan tingkat strategis, sehingga menentukan kemaslahatan umat, adalah ukuran dalam bagaimana apresiasi bagi warga kota mendapat tempat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Bila pemerintah kota telah, sedang dan merencanakan ini, setidaknya ketika ukuran itu telah dihargai. Ketiga, proses humanisasi dalam penataan kota. Dalam konteks ini, peninggalan masa lalu kota yang memfasilitasi sejarah masa lalunya, terbukti antara lain, terpeliharanya bangunan bersejarah, museum yang menghargai wajah kota (lama, di masa lalu), adalah bentuk dari upaya untuk menghargai sebuah kota. (Benar, jika Prof Eko Budihardjo menyatakan bahwa kota yang telah kehilangan peninggalan sejarahnya, sama saja dengan ?sebuah kota yang sudah tidak punya ingatan lagi?). Secara totalitas apa yang terjadi di Pekalongan justru telah mengingkari ketiga parameter tersebut. Pertama, di bidang ekonomi, kejayaan batik telah dimusnahkan kapitalisme lokal, regional, yang berkoneksi dengan kapitalisme global. Kebenaran keberadaan industri kecil batik hampir tidak tersentuh oleh fasilitas pemerintah. Ada kalanya bahkan entitas Pemerintah justru kekuatan penghalang (bahkan pemakan, penindas) dari potensi ekonomi rakyatnya. Fenomena rekomendasi pejabat lokal saat-saat Pemilu (Masa Orde Baru) adalah bukti dari betapa kekuatan pemerintahlah yang sesungguhnya penindas bagi ekonomi rakyatnya. Kedua, sejak era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, secara totalitas pula masyarakat Pekalongan tidak pernah bersekutu dengan kekuatan negara. Bahkan dengan budaya ?pak ora?-nya, masyarakat Pekalongan yang lebih didominasi oleh kepemimpinan informal, telah menjadi kekuatan alternatif di luar jaringan birokrasi negara. Oleh karena merasa kuat secara ekonomi di era kolonial, Orde Lama dan awal-awal Orde Baru, maka secara politik masyarakat kota ini mandiri dan terus ingin berhadap-hadapan (vis a vis) dengan kekuatan penguasa. Ketiga, pembangunan semestinya harus menjadi berkah bagi pengembangan budaya masyarakatnya. Saksi sejarah, berupa bangunan kuno, kini telah disingkirkan dari jalan Merdeka, THR telah hilang diganti Sri Ratu, Bioskop rakyat (Remaja dan Merdeka) diganti Sri Ratu. Penataan kota ini amat tidak ramah dengan humanisasi. Sebagai putra daerah, ada perasaan yang cemas jika melihat pekembangan kota Pekalongan ini. Tidak saja ia telah menjadi bagian dari masa lalu, tentu dengan ketenangan segala masa kejayaannya, kota ini telah diidentifikasi secara jelas dengan konotasi-konotasi tak sedap lainnya. Sebagai kota kerusuhan sosial (jadi masih untung jika sekedar disebut sebagai yang tertinggal dari Kota Tegal, misalnya). Tetapi dari segi ekonomi, sosial budaya dan politik, juga sejarah masa lalunya, kota ini telah kehilangan segalanya. Jika sudah demikian, bagaimana baiknya? Pertama, mengidentivikasi secara detail masa ?kejayaan? masa lalu kota Pekalongan. Jadikan ia sebagai spirit demi menatap ke depan kota ini, lebih-lebih dalam menyongsong otonomisasi daerah yang masih dua tahun lagi. Demikian pula, potensi lokal baik ekonomi, sosial, dan budaya yang bisa dikembangkan dari kota ini. Saya kira masih terbuka luas. Inventarisasi semua potensi yang ada secara detail dan dengan melibatkan semua komponen anak bangsa, belum terlambat. Singkatnya, perlu gerakan yang secara strategis dan sinergis demi mengembangkan kota ini. Kedua, mendampingi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Kontrol masyarakat, baik lewat lembaga legeslatif maupun kontrol Perguruan Tinggi, di samping kalangan LSM yang selalu mengadvokasi kepentingan rakyat dan saat yang bersamaan mengatur langkah-langkah Perintahan. Mutlak dilakukan, karena selama ini pemerintah berjalan sesuai keyakinan diri sendiri, sementara masyarakat berjalan tanpa uluran yang optimum dari rakyatnya. Penempatan pemimpin informal dalam setiap kasus di Pekalongan ini, jangan sekedar ?pemadam? kebakaran dari setiap kebijakan dan peristiwa yang sudah terlanjur terjadi. Ketiga, untuk menata kembali kota ini dari ?puing-puing keruntuhan? investasi di bidang pendidikan agaknya sebuah keniscayaan. Keberadaan STAIN, Unikal, jangan sebatas tempat asyik mempelajari teori. Akan mubadzir belaka jika dari PT itu tidak dilibatkan dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan. Demikian pula sekolah-sekolah kejuruan perlu dibenahi. Bila perlu, karena potensi industri tekstil dan pembatikan di Pekalngan ini masih menjadi potensi yang dapat dikembangkan. Maka tidak salah jika di kota ini hendak dirintis sebuah Politeknik yang semata-mata mempelajari ilmu pembatikan dan pertekstilan. Sementara keterlibatan kalangan PT pula harus diarahkan pada panggalian potensi kelautan dan pantai Pekalongan. Sebagai kota Pantura, kota ini sudah teridentifikasi sebagai kota pesisir. Mengapa tidak mulai sekarang potensi ini dikembangkan, baik dari segi potensi laut, perikanan laut, maupun pariwisata? Keempat, gerakan bangga terhadap kota Pekalongan. Jika di Banyumas ada gerakan ?Seruling Mas?, di Sumatera Barat ada ?Gebung Minang?, mengapa Pekalongan tidak dimulai gerakan-gerakan semacam itu. Potensi para perantau di Jakarta, Bali, Semarang, dan sebagainya, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kota Pekalongan. Dalam hal ini, memang diperlukan kepemimpinan Pekalongan yang visioner. Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, dan putra Pekalongan.