Agenda Ketua Bawaslu 7 Oktober 2009
Senin, 12 Oktober 2009 , 16:50:56 WIBHak Angket DPR Semalam, seusai pembukaan lokakarya, saya didaulat oleh segenap anggota Panwaslu Provinsi untuk menjelaskan kelanjutan atau perkembangan hak angket DPR terkait masalah DPT. Dari kalangan Panwaslu daerah, termasuk tadi malam, saya ditanya perihal keputusan Panitia Hak Angket DPR RI tentang Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara Untuk Memilih, atau yang lebih populer dikenal sebagai “Pansus DPT”.
Mereka menanyakan perkembangan dan hasil keputusannya. Maklum saja, karena mereka bersama Ketua dan Anggota Bawaslu pernah diundang di muka sidang Pansus DPT tersebut pada 10 September 2009 yang lalu. Mereka juga pernah didatangi oleh Pansus beberapa minggu sebelumnya. Sungguh layak bila segenap anggota Panwaslu provinsi menanyakan keputusan hak angket DPT dimaksud. Sebelum jauh saya menjelaskan kepada mereka, izinkan saya menjelaskan beberapa poin terkait dengan hak angket DPR dimaksud. Berdasarkan kertas kerja berjudul “Laporan Panitia Hak Angket DPR RI tentang Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memilih”, yang ditulis pada 29 September 2009, yang fotokopinya juga saya dapatkan.
Sejumlah poin saya ingin kutipkan sebagian saja, sbb.:
- DPR RI memandang bahwa hak sipil dan hak politik WN dalam Pemilu merupakan salah satu pilar utama dalam tatanan negara demokratis. Konstitusi menjamin pemenuhan hak konstitusional WN baik untuk memilih ataupun dipilih dalam suatu Pemilu yang free and fair elections. Dalam Pemilu 2009, DPR menilai bahwa terdapat permasalahan yang cukup serius terkait dengan penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu Legislatif. Lingkup permasalahan tersebut berkisar pada banyaknya WN yang sebenarnya mempunyai hak pilih namun luput dari DPT;
- Panitia hak angket DPR RI telah melakukan kunjungan kerja ke-15 (lima belas) daerah yakni Jatim, Sumut, Sulsel, Bali, Papua, Sulut, Jateng, Lampung, Kalsel, Kaltim, Banten, Sumbar, Kepri, NTB, dan Maluku Utara. Di samping itu Panitia Angket telah melakukan kunjungan kerja ke Malaysia. Dalam setiap kunjungan kerja, mereka bertemu dengan KPU dan Panwaslu setempat serta para pihak lainnya;
- Dalam poin ketiga Fakta-Fakta Yang Ditemukan, Panitia Hak Angket menyatakan bahwa berdasarkan data, fakta, dan keterangan yang didapat, DP4 yang diserahkan Pemerintah dan Pemda dinilai tidak komprehensif, tidak akurat, tidak valid, dan mengandung margin of error yang cukup tinggi; yang dimulai dari kinerja PPDP yang dinilai tidak optimal hingga pengakuan KPU yang mempunyai alasan persoalan anggaran (honorarium). Demikian pula KPU daerah yang juga memiliki persoalannya tersendiri terkait dengan internalitas mereka seperti tidak diumumkannya DPS ke DPT, terjadinya pergantian anggota KPU di daerah, dan lain-lain; dan
- Pada poin kedua belas, sambil mengutip simpulan para ahli yang telah diundang memberinya kesempatan bersaksi, Panitia Hak Angket menyatakan bahwa pihak penanggung jawab permasalahan DPT adalah KPU sebagai lembaga yang bertugas memutakhirkan, menyusun, dan menetapkan daftar pemilih; sementara pada poin kedua kesimpulan, Panitia menyatakan bahwa KPU patut dinilai tidak mampu dalam melakukan pemutakhiran Daftar Pemilih yang kemudian menghasilkan DPS dan DPT Pileg yang tidak akurat.
Peran Bawaslu dan Panwaslu
? Bagaimana posisi Panwaslu dan Bawaslu dalam laporan tersebut? Setidaknya sejumlah poin terkait dengan kiprah Bawaslu dan Panwaslu sebagian dapat disebut di sini, sbb. :
- Pada poin ketujuh huruf a, Panitia menyatakan bahwa Bawaslu telah mengirimkan surat teguran No. 308/L/Bawaslu/X/2008 tanggal 24 Oktober 2008 terkait dengan pengumuman DPT yang dilakukan tidak serentak. Pada poin keempat simpulan dinyatakan dalam laporan tersebut ditulis bahwa Bawaslu telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada KPUuntuk membentuk Dewan Kehormatan (DK) karena adanya dugaan telah terjadi pelanggaran kode etikyang dilakukan oleh para anggota KPU terkait dengan tahapan penyusunan daftar pemilih. Dalam perjalanannya hingga saat ini tidak ada tindak lanjut atas rekomendasi Bawaslu dimaksud. Oleh karena itu patut dinilai bahwa KPU tidak serius menangani permasalahan DPT Pileg 2009. Berikutnya pada point 5 kesimpulan bahwa Ketidakakuratan DPT Pileg berpotensi bagi terjadinya penggelembungan suara di beberapa daerah termasuk DPT Luar Negeri; dan
- Pada poin tujuh dan delapan disimpulkan Panitia bahwa dalam menjalankan tugas menyusun DPT Pileg yang sesuai peraturan perundang-undangan, KPU patut dinilai tidak mampu melakukan pemutakhiran data pemilih dengan baik dan akurat. Selanjutnya pada poin delepan diyatakan diduga telah terjadi tindak pidana pemilu terkait dengan pengubahan secara sepihak isi dan komposisi DPT Pileg yang dilakukan oleh pihak rekanan percetakan DPT (Jasindo Tiga Perkasa Tbk) yang berdomisili yang berdomisili.
Rekomendasi
? Selengkapnya rekomendasi Panitia Angket DPR, sbb:
1. Kepada pemerintah selaku penyedia DP4 diminta untuk melakukan: a. perbaikan sistem kependudukan secara komprehensif sesuai UU No 23 Tahun 2006 b. evaluasi kinerja terhadap lembaga yang bertanggung jawab dalam penyediaan data kependudukan dan DP4 dan menetapkan sanksi terhadap pejabat yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan.
2. Kepada KPU selaku penyelenggara Pileg 2009 diminta: a. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pemutakhiran data pemilih, penyusunan DPS, dan penyusunan DPT pada Pileg 2009 b. Pertanggungjawaban KPU sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk Pemberhentian seluruh anggota KPU (komisioner) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Fraksi PDIP, Fraksi BPD, Fraksi PAN, dan Fraksi PBR).
Terdapat catatan dari beberapa fraksi sebagai berikut:
? Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PKS: pemberhentian Ketua KPU dalam tempo yang sesingkat-singkaktnya. ? Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB: pemberhentian Ketua KPU dan beberapa anggota KPU yang kurang profesional, melalui pembentukan Dewan Kehormatan (DK) KPU terlebih dahulu. ? Fraksi PDS: Pemberhentian hanya dikenakan kepada anggota (komisioner) KPU yang diketahui tidak profesional.
3. Kepada DPR RI direkomendasikan untuk menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (Fraksi BPD)
4. Kepada Polri dan Kejakgung RI agar segera melakukan pengusutan terhadap adanya dugaan pelanggaran tindak pidana baik yang dilakukan oleh badan hukum maupun perseorangan terkait Ketentuan Pidana Pasal 77 jis 94 UU No 23 Tahun 2006 serta pasal 150 KUHP terutama dugaan adanya manipulasi data pemilih dalam pencetakan DPT Pileg 2009 yang dilakukan konsorsium perusahaan percetakan PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk).
5. Kepada Pimpinan DPR RI diminta untuk menugaskan Komisi DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, dan Aparatur Negara untuk menindaklanjuti dan mengawasi pelaksanaan Keputusan Rapat Paripurna DPR RI atas hasil rekomendasi yang diajukan Panitia Angket DPR RI sesuai kewenangan yang dimiliki
6. Kepada Pemerintah diminta untuk segera mengeluarkan Perppu sebagai tindak lanjut atas keputusan Rapat Paripurna DPR RI terhadap hasil rekomendasi yang diajukan oleh Panitia Angket DPR RI (kaitkan dengan rekomendasi no 2 huruf b di atas).
Jawaban saya
Kepada segenap anggota Panwaslu yang mengerubuti saya pada usainya pembukaan lokakarya ini, saya tegaskan sikap saya baik dalam kapasitasnya sebagai ketua atau anggota Bawaslu maupun dalam kapasitas saya sebagai pribadi (warga negara), sbb. :
1. Sebagai Ketua/Anggota Bawaslu, tentu saya senang kalau setiap rekomendasi dari Pengawas Pemilu ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai UU No. 10 Tahun 2008 jo UU No 22 Tahun 2008, bahwa Pengawas Pemilu (Bawaslu dan Panwaslu) meneruskan temuan dan laporan kepada instansi yang berwenang. Bila pelanggaran yang bersifat administrasi dan pelanggaran kode etik, maka Pengawas Pemilu menindaklanjutinya kepada KPU untuk ditindaklanjuti serta bila pelanggaran bersifat tindak pidana Pemilu maka ditindaklanjuti kepada Penyidik Polri untuk seterusnya ke Kejaksaan. Demikianlah ketentuan peraturan perundang-undangan mengkerakan penanganann pelanggaran dalam Pemilu 2009;
2. Sehubungan dengan maksud tersebut, Bawaslu pernah menindaklanjuti setidaknya pada 3 (tiga) kasus: a. Pada 17 Juli 2009, Bawaslu menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu perihal spanduk sosialisasi cara pemberian tanda centang yang disebarkan oleh KPU yang kami nilai condong kepada salah satu pasangan calon. Seorang anggota KPU dan seorang staf yang menangani pekerjaan itu kami rekomendasikan untuk diajukan ke DK KPU. Namun jawaban KPU menyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu; b. Pada 20 Agustus 2009, melalui surat No. 624/Bawaslu/VIII/2009, Bawaslu menindaklanjuti dugaan keterlibatan asing dalam program dukungan teknis bagi penyelenggara Pemilu nasional 2009 tanggal 18 Maret 2008 dan annex II. Hingga sekarang KPU belum memberi jawaban; dan c. Pada 21 Agustus 2009, melalui surat No. 628/Bawaslu/VIII/2009, Bawaslu menindaklanjuti perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu kepada Ketua dan anggota KPU, dengan konstruksi hukum sebagai berikut: - Penetapan DPT oleh KPU yang ketiga kalinya pada 6 Juli 2009 merupakan tindakan yang dapat dikualifikasi telah melanggar pasal 29 ayat (5) UU No 42 Tahun 2008, karena mengingat kewajiban menetapkan DPT selambat-lambatnya 30 hari sebelum pemungutan suara pada 8 Juli 2009; - Bahwa adanya asas kemanfaatan bagi semua pihak yang menjadikan KPU mengadkomodasi masukan/rekomendasi berbagai pihak untuk mengubah DPT, yang dijadikan sebagai alasan pembenar bagi KPU, dalam penilaian kami tidaklah dengan serta merta melegitimasi untuk mengubah DPT di luar batas waktu yang ditentukan pasal 29 UU No 42 Tahun 2008 - Poin di atas sekaligus untuk menegaskan bahwa KPU telah kami duga melanggar prinsip-prinsip kewenangan berdasarkan hukum, yakni bahwa seharusnya KPU melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas dieprintahkan dan dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam pasal 29 ayat (5) UU No 42 Tahun 2008 jo pasal 11 huruf a dan pasal 12 huruf a dan huruf c Peraturan KPU No 31 Tahun 2008. - Bahwa tindakan KPU dimaksud mengundang Tim Kampanye semua pasangan calon melakukan pengecekan ulang DPT di KPU pada 6 Juli 2009, sehingga merupakan tindakan yang melanggar asas dan prinsip dasar penyelenggaraan Pemilu sebagaimana diatur pasal 11 huruf a, huruf f, dan huruf g Peraturan KPU No 31 Tahun 2008. - Bahwa seharusnya KPU tidak membuka peluang kepada siapa pun termasuk dan apalagi bagi pasangan calon untuk turut serta dalam proses penetapan DPT setelah melewati batas waktu perbaikan daftar pemilih. Dengan demikian tindakan KPU untuk mengundang atau setidak-tidaknya telah melayani kedatangan tim kampanye guna melakukan pengecekan ulang DPT di KPU pada 6 Juli telah dapat dikualifikasi melanggaran prinsip profesionalitas penyelenggaraan Pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf e Peraturan KPU No 31 Tahun 2008. - Bahwa ketidakprofesionalitasnya KPU ditegaskan lagi dengan tindakan KPU yang mempersilakan kepada masing-masing relawan Tim Kampanye sejumlah pasangan calon guna mengecek DPT di setiap provinsi, fasilitasi KPU dalam hal penggunaan listrik dan tempat kepada mereka, atau setidaknya pada 80 unit komputer dan 10 laptop di kantor KPU. - Bahwa dengan adanya protes dari Tim Kampanye dan kelompok masyarakat mengenai DPT, maka dapat dianggap bahwa KPU belum memenuhi prinsip administrasi yang akurat sebagaimana diatur pada pasal 18 Peraturan KPU No 31 Tahun 2008, yang pada intinya menegaskan bahwa KPU memastikan seluruh informasi yang disampaikan kepada publik berdasarkan fakta, dikumpulkan, disusun, dan dipublikasikan dengan cara yang sistematis, jelas dan tidak rancu, serta memberikan informasi mengenai pemilu secara lengkap, rinci, dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Dengan mendasarkan pada poin 2 huruf c di atas, tentu kami ingin agar rekomendasi yang kami teruskan kepada KPU segera ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni dengan menggelar persidangan Dewan Kehormatan (DK) KPU yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Hanya saja karena UU No 22 Tahun 2007 menggariskan bahwa pembentukan DK KPU diputuskan oleh KPU, sementara Ketua dan Anggota KPU sendiri adalah calon “terlapor”, maka inilah persoalan yang akhirnya terjadi. Bagaimana mungkin seseorang akan “mengadili” dirinya sendiri dengan langkah penetapan suatu mekanisme untuk dirinya sendiri. Ini hal yang sebenarnya tidak logis, tapi itulah UU telah menentukan hal sedemikian.
4. Artinya Bawaslu dalam kaitan dengan penanganan DPT sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Setiap instrumen yang paling mungkin dilakukan Bawaslu sudah ditempuh. Sejauh yang bisa dilakukan, itulah yang telah dilakukan Bawaslu. Suka tidak suka itulah yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, sebelum Panitia Angket DPR merekomendasikan pada poin-poin di atas, Bawaslu sudah bekerja untuk menegaskan adanya karut-marut DPT sehingga kami ingin agar ada pemeriksaan bagi segenap anggota KPU secara transparan, terbuka, dan akuntabel dimaksud.
Kalau benar bahwa DPR merekomendasikan hal semacam itu, bisalah bila memulainya dulu dari pembentukan DK. Lho, kan DK yang memutuskan KPU, maka DPR seharusnya jeli bahwa yang berhak untuk membentuk DK adalah KPU sendiri berdasarkan (dua pintu) yakni laporan dari Bawaslu atau laporan dari masyarakat. Untuk itu, seharusnya DPR mendesak dulu perlunya revisi dulu sejumlah pasal dalam UU No 22 Tahun 2007 terkait dengan pengaturan pembentukan DK KPU. Nama lembaga Bawaslu dan Panwaslu disebut-sebut dalam laporan Panitia Angket tersebut. Artinya, kalau mau DPR sebenarnya bisa menindaklanjuti atas apa yang kami rekomendasikan.
5. Tiba saatnya saya kemukakan pendapat pribadi saya. Sebenarnya tidak elok bila memberhentikan KPU di tengah masa jabatannya. Boleh dibilang saya termasuk saksi dari jarak yang dekat bagaimana kinerja KPU. Sama seperti Bawaslu, ada kelebihan dan ada yang disebut kelemahan KPU.
Toh kesaksian kami di persidang hasil Pemilu di MK, rekomendasi Bawaslu mengakui adanya persoalan sebagaimana yang akhirnya diputuskan MK. Demikian halnya dengan laporan Panitia Angket ini, setali tiga uang: menyimpulkan minusnya penyelenggaraan Pemilu oleh KPU. Hanya saja, anggota KPU yang sekarang ini produk dari seleksi yang sudah sesuai dengan ketentuan. Bahwa bila di kemudian hari ada penilaian-penilaian seperti yang digambarkan MK dan Panitia Hak Angket, itulah hasil kinerja dari sebuah lembaga yang produk-produknya diterbitkan oleh pemerintah (penjaringan) dan DPR (penyariangan).
Tak layak bila ada kehendak untuk memberhentikan KPU di tengah jalan. Tentu dalam setiap kebijakan yang diterbitkan, adalah yang disebut risiko-risiko. Kalau kemudian anggota KPU itu memperlihatkan kinerjanya seperti itu, ya itulah “kesalahan” yang tidak serta merta dapat dilimpahkan pada kinerja KPU semata, namun seharusnya pihak yang telah menjaring dan menyaringnya.
Lagian Pemilu 2009 tempo hari ada yang terkait dengan persoalan-persoalan teknik administratif dan UU Pemilu yang diundangkan terlambat dilakukan. artinya, persoalan karut-marutnya persoalan DPT juga disumbang oleh lembaga lain pula. Dengan segela hormat, saya ingin katakan, bahwa setiap lembaga punya kontribusi dalam “kekakcauan” DPT itu. Bukan hanya kepada KPU semata jari telunjuk diarahkan.
Anggota KPU hanya bisa diberhentikan kalau meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU. Di samping itu, mereka bisa diberhentikan bila melanggar kode etik atau tindakan kriminal lainnya. Itu pendapat saya, dan tidak bisa disebut mewakili sikap Bawaslu.
Kepada setiap anggota Panwaslu yang mengerubuti saya di forum ngobrol tersebut, saya katakan demikian. Saya tidak tahu apakah mereka mengerti atau tidak. Tapi sebagian besar mereka memahami garis pikiran saya.
(Dio, 12 Okt 2009)