Agenda Ketua Bawaslu Minggu, 11 Oktober 2009

Kamis, 15 Oktober 2009 , 10:04:38 WIB
Agenda Ketua Bawaslu Minggu, 11 Oktober 2009
Lagi-lagi Bali ? Bali patut dipuji. Apa-apa yang ada di sini merupakan olahan jangka panjang. Bali sebelum kini penuh dengan identitas kerja keras. Suatu kerja yang tak pernah henti di satu titik. Onak dan duri menyertai masyarakat Bali dalam membangun turisme. Saya ada kesempatan diskusi dengan anggota Panwaslu dari seluruh Indonesia yang ikut dalam pertemuan selama di Bali ini. Pak Onny Lebelauw menyatakan kekayaan alam di Papua sebenarnya tidak kalah dengan Bali. Panorama indah hampir ada di setiap pantai di tanah Papua. Demikian juga kata Ketua Panwaslu Papua Barat, Nicodemus Rawar, setali tiga uang dengan Pak Onny. Katanya, sepanjang daerah kepala burung Papua Barat seperti Kuta dan Jimbaran, malah beberapa sudut pantai di antaranya melebihi eksotisme Bali. Perbedaannya, kata kedua sohib kita dari Papua ini, adalah kesiapan masyarakatnya. Masyarakat belum menjadi bagian dari pariwisata itu sendiri. Di samping masyararakat, yang tak kalah penting perannya, adalah pemerintah daerah. Dari sisi objeknya, pantai dan tanah Papua memungkinkan. Dari sisi pengelolaan, itu yang belum tampak benar dari Papua. Dari peran masyarakatnya, pemerintahnya, dan juga komponen lain, Bali memang teratas. Pantas saja bila Bali mendapatkan semua yang ada sekarang ini. GWK ? Seperti yang tampak dari objek wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK). Daerah itu mulanya adalah tandus. Kata Ketua Panwaslu Bali I Wayan Juana, adalah daerah yang amat gersang. Bukit kapur dan karang menghampari kawasan ini. Tapi oleh komponen masyarakat Bali disulap menjadi kawasan yang menarik para wisatawan. Orang berduyun-duyun datang ke objek wisata ini. Mereka memandangi kedua patung besar yang diyakini memiliki nilai spiritual tersendiri. Di patung memancar air yang diyakini pula sebagai air suci. Saat saya ke sana sebagian di antaranya sedang lakukan peribadatan di area memancarnya air suci dimaksud. Sementara dari ketinggian 125 meter di atas permukaan air laut, dengan teropong yang tersedia di kompleks itu, tampak hamparan Bali bawah. Terlihat Pantai Jimbaran dan Kuta. Pasir putih memancarkan sinar tersendiri bila dipandang ari ketinggian di GWK. Kawasan GWK sendiri dibangun dari bukit kapur, yang digali dan terdiri atas blok-blok bukit berkotak, menyerupai kubus-kubus raksasa. Setiap blok antarkubus dipisahkan oleh jalan lempang dan sesekali berkelok ke arah puncak—tempat di mana patung garuda dan dewa berdiri tegap. Orang yang mendaki hingga turun cukup menelusuri lorong-lorong di antara kubus-kubus. Undakan ke atas cukup menyita tenaga. Keringat pasti mengucur bila berjalan hingga ke puncak. Saya merasakan udara yang sejuk, sehabis pendakian yang cukup mengucurkan keringat itu. Ini Bali, indah sekali. Dari GWK, ayam Betutu ? Turun dari kawasan itu, kami santai sejenak di café. Menikmati minuman yang tersedia. Pak BEC sebentar ke kios kaos, sementara kami rombongan di café menikmati es kelapa muda. Tak seberapa lama Pak BEC mengampiri kami kembali. Beliau membawa dua tiga potong kaos eksentrik. Seperti konsep dagadu Jogya, kaos Jangkrik ini pun agaknya media goresan tumpahan, aspirasi, atau materi menarik lainnya. Satu coba ikuti jejak Pak BEC. Saya beli beberapa potong untuk sekadar penanda, bahwa saya pernah ke GWK ini. Saya dipilihkan oleh Pak Juana, juga staf yang lain. Dirasa sudah puas dengan tempat ini, kami turun. Waktu hampir mendekati sehingga kami mesti balik ke Bandara. Untuk melengkapi kenikmatan Bali, kami sempatkan mampir di warung makan tradisional. Kami ditawari Pak Ju melahap ayam Betutu. Khas makanan Bali. Terasa enak hingga berderas keringat dan mengucur dari sekujur tubuh kami. Makanan ini disajikan secara pedas dan empuk. Puas menikmati, kami menuju Bandar. Terbang ke Jakarta. Selamat tinggal Bali bersama kenangan indahnya. Kami akan bawa segala cerita Bali di tempat kami. *** (Dio, 15 Okt 2009)