Ulah dan Kiprah Geng Soeharto (2)

Selasa, 20 Juni 2000 , 09:04:42 WIB
Ulah dan Kiprah Geng Soeharto (2)
Dimuat di Media: Radar Semarang Tanggal: Selasa Pahing, 20 Juni 2000 Meskipun bukan haknya terlalu tinggi kepada klaim sejarah dari Angkatan ?45, saya kira lapis kedua angkatan ini ?berjasa besar? dalam mepromosikan nama besar angkatan ?45, meski dengan pamrih penonjolan anggotanya. Maksud saya, bahwa memang angkatan ?45 punya legitimasi sejarah luar biasa. Memakai istilah TB. Simatupang (1985:14), selain punya kekuatan historical legitimacy, revolutinery legitimacy dan kemudian development legitimacy, dalam sejarah nasional; namun ketika dilanjutkan oleh angkatan lapis kedua (ketika mengendalikan Orba) Ketiga legitimasi itu dimanipulasi sedemikian rupa oleh lapis kedua sehingga peranan lapis senior itu dibarengi dengan segera betapa lapis kedua pun seperti klaimnya selama ini lebih penting dalam sejarah bila tidak untuk mengatakan dihapus peran sejarahnya. Sebagai missal klaim Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 11 Maret 1949, menenggelamkan nama perancangnya, ialah Sri Sultan Hamangku Buwono IX. Demikian pula saat menjustifikasi keterlibatan ABRI selama Orba dicaarikan akar-akar sejarahnya di aal-aal kemerdekaan, dengan katanya punya legitimasi sejarah dan revolusi Indonesia. Padahal yang terjadi sesungguhnya ialah keterlibatan itu semata-mata untuk memperpanjang episode kekuasaan dalam legitimasi pembangunan yang mereka banggakan itu, namun pada akhirnya membuat Indonesia berantakan dewasa ini. Dan, demikian seterusnya. Aspek kedua yang mewarnai ke politik ketika lapis yunior dalam angkatan 1945 berkuasa adalah terimplementasikannya suatu dikotomis: antara hasrat kaum tua untuk menerapkan nilai-nilai mitos yang dipahaminya di satu sisi, versus syarat kaum muda  untuk menuntut atas realisasi atas apa yang sering diucapkan oleh kalangan tua itu dalam tingkatan operasional selama Orba di sisi yang lain. Pada tataran ini, kaum muda menuntut  dengan sangat banyak akan konsitensi kaum tua. Kaum muda yang lebih diwakili oleh mahasiswa, ingin dengan segera (ya, kaum tua-tua itu) mewujudkan program-program dari kaum tua, seperti yang dilakukannya lewat pelajaran agama, penataran P4, serta dasar-dasar moral dan etik dari Pancasila itu. Terlihat oleh kaum muda, angkatan tua itu mengingkari sendiri atas apa yang diucapkannya. Mereka katakan bahwa korupsi itu tidak sesuai dengan Pancasila, namun dalam kenyataan korupsi di Indonesia termasuk papan atas dalam rangking koruptor tertinggi di dunia. Bahkan istilah kliptokrasi justru merebak di sini, seperti kata Bung Hatta juga bahwa korupsi itu telah membudaya. Orang tua mengatakan bahwa hukum harus mengabdi kepada rakyat banyak, namun selama Orba justru keadilan sulit dicari di negri ini. Termasuk kesulitan menemukannya di lembaga peradilan. Sementara kaum muda hanya ingin konsistensi kaum tua. Ketika orang tua mendengar tuntutan itu, mereka hanya menampung seraya menambahkan bahwa dalam berjuang kita mesti bersabar. ?Agar Amerika seperti ini saja, maka dibutuhkan lebih 300 tahun, sementara Indonesia baru merdeka berapa puluh tahun?? jadi rasanya tidak adil, kata orang tua selama Orba, bila sikap hanya ingin membalikkan tangan dalam memberantas ketidakadilan dan budaya merusak hokum. Maka mereka berharap agar kaum muda itu punya cara, punya etika, dalam menyampaikan pendapatnya. Boleh bersuara keras namun secara konstitusional, lewat lembaga2 demokrasi di parlemen. Padahal orang tua sangat paham bahwa dirinya telah mengebiri sistem parlemen yang mereka kembangkan. Diturunkannya Soeharto dari singgasana kepresidenan secara paksa oleh mahasiswa, saya yakini, sebagai akumulasi darai ketidakpuasan kaum muda kepada kaum tua. Di sinilah rumus Weber bahwa biasanya generasi tua menekankan suatu the ethic of responsibility dilawan secara kasar, sebagai manives dari emosi kaum muda itu dengan suatu the ethic of absolute ends. Salah sendiri banyak omong dan janji demi masa depan. Akar Multikrisis Agak susah meretas jalan bagi solusi Indonesia ke depan. Soalnya, krisis yang hingga hari ini pun belum terjelas kapan berkesudahannya itu, adalah krisis multidimensi. Oleh lapis kedua angkatan ?45 itu krisis ini memang didesain untuk terjadinya krisis. Seorang Parakitri T. Simbolon, misalnya merunut akar kekuasaan Orba sehingga mampu bertahan namun sekaligus menimbulkan multikrisis itu dari 4 sisi design, yang masing-msing beraduk dalam meminjam Eric Fromm sebagai ?the pathology of normalcy?, suatu penyakit yang tidak disadari lagi sebagai penyakit karena sudah menjadi bagian dari diri yang utuh. Pertama gejala multikrisis tidak mempan dinilai secara motif atau moral, seolah-olah tanpa sebab. Tidak bisa dinilainya akibat perbuatan yang sengaja (by accident) karena terasa sekali hadirnya pelaku-pelaku yang menimbulkan penderitaan dan sepak terjang para pelaku itu terkesan teratur dan terpola. Kedua, juga tidak, akibat kesalahan yang jujur dalam suatu masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap kekuasaan terhadap sesama anggotanya. Begitu luas hilangnya kepercayaan itu sampai tiga hubungan utama masyarakat rusak, yaitu Pemerintah-Rakyat, sesama aparat pemerintah, dan sesamearakyat. Ketiga, krisis tidak juga akibat keteledoran (by negligence), karena sebagai tindakan yang termsuk wilayah hukum, pelanggaran semacam itu mestinya sudah diketahui. Kebakaran hutan, misalnya atau kasus Marsinah atau pembunuhan terhadap selebritas politik di Indonesia, masih terjadi di Indonesia tanpa bisa diketahui siapa yang seharusnya bertanggungjawab, atau pelakunya.    Keempat, multikrisis yang tengah menimpa bangsa ini bukan pula bisa dinilai sebagai akibat niat jahat (by malice), kendati krisis ini berlangsung terus dengan pola yang tetap seolah-olah dikorbankan. Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab, dan belum pernah ada yang dituntut. Lewat begitu saja penculikan aktivis, KKN, Semanggi I dan Semanggi II, menyusul Marsinah, Udin. Tentang korupsi, misalnya, Indonesia dianggap sebagai Negara paling korup di dunia, tetapi hingga kini Negara koruptor itu masih tetap tanpa koruptor. Ibarat penyakit, gejala itu tanpa biang keladi. Jika benar demikian, itu hanya mungkin jika penderitanya adalah penyakit itu sendiri. Diagnosis multikrisis, adalah merunut secara radikal atas ke-4 akar sebab multikrisis itu. Bagaimana menempuh langkah demi mengeluarakan Indonesia dari krisis itu, saya kira kini tengah berlangsung suatu negoisasi sejarah, lewat beragam praktik kenegaraan Indonesia kontemporer. Bagaimana kongkretnya? Kita tunggu akhir dari negoisasi sejarah, baik lewat MPR, DPR, lapangan demonstrasi : Akankah menggiring Indonesia pada kompatibilitas kesisteman, ataukah memperpanjang sejarah keterpurukan bangsa ini.