Di Balik Kemelut PDI Perjuangan Wonogiri

Selasa, 23 Januari 2001 , 13:27:06 WIB
Di Balik Kemelut PDI Perjuangan Wonogiri
Media: Suara Merdeka Hari/Tgl: Selasa 23 Januari 2001 Oleh: Nur Hidayat sardini Kemauan Atas Versus Keinginan Bawah Pemecatan terhadap tiga angota PDI P Wonogiri, serta kasus-kasus serupa di daerah lain, sungguh menarik untuk dianalisis. Bukan sekedar kekecewaan arus bawah terhadap kebijakan DPP, tapi peristiwa pemecatan ini sekaligus mencederai hakikat pendirian partai. Sebab, menurut Bung Hatta, sebuah partai didirikan dalam rangka instrumentasi penyaluran aspirasi rakyat, agar keinginan politik rakyat setempat dengan kemauan elite pengelola Negara terjadi kesepahaman. Untuk pengertian terlahir ini, Bung Hatta menyebutkan keniscayaan paralelisme legal democracy dan social democracy. Yaitu satu pengertian antara kemauan rakyat pemilih dan kemauan elite yang duduk dalam parlemen, agar kelak tersalurkan dalam wilayah pengambilan keputusan. Semangat demokrasi adalah menjembatani elite-massa itu (Hatta, Demokrasi Kita). Semangat demokrasi seperti dimaksudkan tersebut dapat terganjal oleh berbagai sebab. Pertama, sistem demokrasi tidak langsung seperti di Indonesia ini menjadi penyumbang terbesar bagi cederanya semangat demokrasi. Partai pemenang Pemilu 1999 misalnya, bukannya menjadi pucuk pengelola negeri ini. Ia terhalang oleh sistem konstitusi kita yang hingga kini belum juga diamandemen. Ironisnya PDI- P tidak terrlalu berminat merevisinya.     Kedua, sistem sentralisme pengelolaan kepartaian mengikuti sistem sentralisme administrasi pengelola Negara, menempati urutan kedua distorsi semangat demokrasi sejati. Para elite partai yang bersangkutan, boleh jadi punya alas an efektivitas pengelolaan partai, atau mungkin agar kekuasaan tetap langgeng. Karena kepentingan massa bisa mengganggu kepentingan elite partai, sentralisme pengelolaan Negara dan sentralisme pengelolaan kepartaian dinikmati sedemikian rupa sembari secara permanent mengkambinghitamkan sistem demokrasi sebagai isu yang menumpang (justifikasi) kelangsungan kekuasaan elite partai. Tentu dengan tanpa berusaha mengubahnya.     Kemelut yang menimpa elite PDI-P Wonogiri ini sangat dilatarbelakangi oleh kedua sebab utama di atas. Seperti diketahui 23 anggota Fraksi PDI-P DPRD Wonogiri ?menonaktifkan diri? dari aktivitas pengelolaan politik daerah. Ini dilakukan sebagai wujud protes dan unjuk solidaritas atas pemecatan tiga kader oleh DPP, karena alasan disiplin partai. Ketiga nama yang dipecat adalah MH Zainuddin, Wawan Setyo Nugroho dan Waryono.     Secara spesifik, mereka dianggap gagal mengamankan keputusan DPP yang telah merekomendasi nama Kenthut Wahyuni dalam pilkada, Oktober 2000. Sedangkan yang sekarang menjadi Bupati Wonogiri justru Begug Purnomosidi. Tiga Wilayah Utama     Kasus ini dapat dikembangkan dalam tiga wilayah isu utama. Ketiga wilayah isu ini perlu saya kemukakan, karena dampaknya secara keseluruhan mempengaruhi kondisi eksternal partai, dan bahkan wilayah kapasitas kerja pengelolaan Pemda Wonogiri sendiri.     Wilayah pertama adalah wilayah internal kepartaian (domestic private spehre). Pemecatan tersebut mengabaikan isi procedural atau minimal procedural yang tidak terstandardisasi secara seragam dalam tubuh partai secara nasional. Soalnya, kasus demikian tak hanya terjadi di Wonogiri saja. Kasus lain seperti di Kota Semarang justru luput dari sanksi DPP. Pernyataan Ketua DPD Jateng Mardiyo (SM, 16/1) mewakili pertanyaan ketidakseragaman. Lingkup ketidakseragaman itu berakibat rasa ketidakadilan di komunitas politik setempat.     Anehnya, mengapa dia merasa tak diajak bicara. Tetapi Sekjen DPP Soetjipto merasa telah melibatkan unsur DPC dan DPD (SM, 17/1). Lalu dimanakah letak persoalannya sehingga pemberian sanksi itu sempat dikeluarkan?     Agaknya yang menjadi faktor pertimbangan adalah soal rekruitmen lewat pengurus DPP yang (kebetulan) mengetahui terjadinya tindak indisipliner yang dilakukan kader partai. Hal demikian sebenarnya, selain mencenderai rasa keadilan kader-kader di daerah, dari sisi pembinaan jangka panjang juga mengurangi kewibawaan keputusan partai.     ?Sanksi itu mencerminkan ketidakadilan yang dilakukan oleh DPP secara sepihak. Saya katakana demikian, sebab dipertandingan sepakbola pun sebelum wasit memberikan kartu merah, lebih dahulu memberikan kartu kuning!? kata Ketua DPC Wonogiri, Heru Sakirno.     Inilah yang secara internal terjadi ketidakseragaman dan standardisasi terjadi di tubuh partai ini, dengan mendorong terjadinya konflik vertical antara elite PDI-P di daerah dengan tingkat nasional. Akibat laku keputusan yang telah ditelorkan DPP, secara teoritis terdapat tiga konsekuensi politik yang dapat di kedepankan di sini. Yang pertama, semangat desentralisasi terabaikan oleh DPP. Di saat kecenderungan dunia belakangan ini memberikan nilai otonomi kepada unsure terkecil dalam sebuah lembaga politik, mestinya otonomisasi juga diberikan secara memadai kepada elemen terkecil dari masyarakat politik (local self determination), sekaligus mengatur rumah tangganya sendiri (home rule movement)     Unsur pusat, sebagai pengelola tingkat strategis, menjadi contoh terdepan dalam pemberian kepercayaan kepada jenjang yang semestinya. Pemecatan terhadap seorang anggota kader seyogyanya melalui hierarki yang terjal, berliku dan tak  mudah dilakukan.     Hendaknya usulan itu betul-betul dari bawah, dan melalui instalasi pengabilan keputusan formal, sejak konfercab, konferda, hingga dikukuhkan melalui kongres partai. Itupun mereka yang disangka indisipliner perlu diberi tempat membela diri dalam forum itu. Dari situ, seiring dengan berjalannya waktu, barangkali dapat ditemukan data baru atas keterlibatan atau ketidakterlibatan mereka yang telah disangka.      Kedua, dalam rangka otonomisasi dan desentralisasi, langkah devolusi politik agaknya akan diabaikan di PDI-P. Meminjam pengertian Fadillah Putra (1999,75) devolusi ialah pemberian kesempatan ikhwal kemampuan unit politik yang mandiri dan independen.  Elemen pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu sekalian sebagai bagian dari pemandirian di luar control pusat.     Sherwood menyatakan, devolusi berarti peralihan kekuatan kepada unit-unit geografis politik local yang terletak di luar jangkauan komando secara ketat dari pusat. Dengan menyebut Lenny Goldberg, langkah devolusi dimengerti pula sebagai :     (1) Pemberian kesempatan menjalankan hak kebebasan sipil (right to civil expression); (2) Pendanaan (founding); (3) kelenturan dalam memberi kesempatan pada unit politik local (flexibility); (4) Variasi dalam memberi standar umum di unit-unit terkecil dengan DPP memberi standar umum saja; dan (5) pemberdayaan (empowering) bagi masyarakat politik setempat agar sadar hak dan kewajibanya selaku warga Negara.     Ingat, elite politik teratas tidak berhak mendiktekan secara ketat apa kemauan daerah. Itulah makna devolusi yang sejati dalam politik, dan agaknya ini telah tercederai oleh kasus Wonogiri itu. Ketiga, kasus yang menimpa elite PDI-P Wonogiri lebih mencerminkan komunikasi politik yang termanipulasi. Komunikasi yang tercederai perangai elite dengan hierarkis di atasnya. Soalnya, seperti telah disinggung di muka, bahwa pemecatan dirasakan asing justru oleh DPP dan DPC, sementara Sekjen seolah lebih tahu dibandingkan dengan kepengurusan terbawah.     Di sini, agen komunikasi per individu telah memainkan peran yang terlalu besar dalam menentukan nasib kader di bawah.     Pemecatan yang tanpa melalui instalsi pengambilan keputusan resmi dapat dikatakan menandai pendekatan-pendekatan ?katanya?, ?rumor? dan istilah semacamnya, yang bisa membuat komunikator berlumuran kepentingan sesaatnya oleh karena kecewa, misalnya. Apalagi dalam politik rivalitas itu konon teramat lazim untuk saling memanen keuntungan di saat orang lain terjatuh dari keuntungan-keuntungan politik. Pengaruhi Pemda Wilayah kedua adalah wilayah Negara (political and state sphere influence). Kasus PDI-P sangat mempegaruhi kerja pengelolaan pemerintahan, khususnya pemerintah daerah. Dengan penonaktifan 23 anggota tersebut, maka aktivitas pemerintahan jelas terganggu. Sekurang-kurangnya dari sisi pemaknaan pengambilan keputusan tingkat strategis yang menyangkut kemaslahatan rakyat Wonogiri. Tidak saja karena Ketua Dewan dan Bupati berasal dari elemen yang berangkai dengan kemelut dimaksud, juga karena roda pemerintahan daerah di mana pun di Indonesia belakangan ini sedang berkonsentrasi dalam membenahi sistem dan infrastruktur pemerintah. Lebih-lebih dalam menghadapi krisis ekonomi dan politik dalam dua-tiga tahun terakhir, sudah seharusnya menjadi perhatian tersendiri.     Dari wilayah dan pengaruh kemelut PDI-P Wonogiri, dua hal hendaknya dicermati betul. Pertama, kewibawaan Negara dipertaruhkan. Kalau proses pemerintahan terganggu, maka dampak ikutan lainnya segera menyusul. Sebagai unsur Muspida, Ketua DPRD dan Bupati Wonogiri berasal dari unsure PDI-P, kepincangan dari sisi penentu keputusan strategis dalam kadar tertentu dapat mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kepercayaan rakyat terhadap fungsi negaranya.     Jika suatu kondisi chaoistic terjadi, atau oleh karena kedua figure masih terkonsentrasi melulu pada kasus PDI-P, maka tugas-tugas sebagai kenegaraan di bidang penegakan hokum (law enforcement) menjadi infertile. Belum lagi apabila yang dihadapi adalah pihak yang berseteru atau merasa tidak puas. Bisa saja terjadi, meminjam istilah Jenderal Oerip Soemohardjo, ?Negara zonder tentara?, meski mungkin tidak sedramatis itu.     Ini parallel dengan masyarakat tanpa pemerintahan (stateless society). Termasuk di dalamnya adalah terganggunya fungsi distribusi, alokasi, dan regulasi berpemerintahan yang menyangkut hajat social, ekonomi, dan budaya atau pemerintahan menjadi tidak tertata (ungovenrnability). Kedua, melebarnya kasus internal partai menjadi kasus daerah, dengan titik tekan pada disfungsinya lembaga-lembaga politik pemerintah. Karena kedua figure (Ketua DPRD dan Bupati) termasuk bagian dari persoalan, kewenangan pribadinya sebagai kader dapat menciptakan conflict of interest di satu sisi sedang ia sedang dalam memadamkan api konflik, atau punya kewajiban menegakkan hukum.     Suatu ketika, kedua pilihan ini akan dianggap oleh rival politiknya sebagai disfungsionalisasi politik, dengan menciptakan personalisasi institusi dan institusionalisasi personal. Yang demikian ini membahayakan peletakan fungsi yang rancu, sekaligus dilemma tersendiri. Dapatkah keduanya mengatasinya.  Wilayah ketiga, wilayah yang terimplikasi atas kemelut yang menimpa tubuh PDI-P ialah persoalan masa depan masyarakat madani (civil society) atau kehidupan public politik secara umum (public sphere)-nya. Menurut Ignas Kleden (1994:41) civil society adalah suatu tempat dan prakondisi bagi pembentukan kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya control social untuk mengawasi kekuasaan Negara, dan tempat terbentuknya pendapat umum.     Hak-hak terpenting menurut teori-teori liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat, serta kebebesan berkumpul dan berserikat. Dalam masyarakat madani tidak diperjuangkan adanya kepentingan pribadi atau kelas, tapi kepentingan umum. Kepentingan individu dan kelas dianggap terwakili dalam kepentingan umum.     Betapa pun kemelut ini harus diselesaikan oleh kalangan internal partai itu sendiri. Injilah ujian bagi partai, terutama jajaran cabang, daerah, dan lebih-lebih pusat, dalam rangka mengatasi roda pemerintahan juga. Mengapa? Karena luberan konflik partai ini sangat berpengaruh terhadap kinerja pemda setempat, termasuk elemen masyarakatnya. Langkah normative memang begitu.     Sedangkan langkah pragmatisnya, saya pikir elite partai sama-sama mengetahui. Masalahnya, apakah kepentingan partai, pribadi, golongan serta kepentingan sesaat dapat dikalahkan demi kemaslahatan umum. Lagi-lagi, tidak mudah mengerjakannya. Sebagai partai besar, seharusnya besar pula kapasitas PDI-P dalam mengatasinya. PDI-P Paradigma Baru Sudah amat tidak signifikan jika PDI-P dalam kampanye Pemilu mendatang masih mengatakan bahwa massa partainya selama ini tertindas oleh rezim Orba. Jargon itu akan disiniskan orang, karena partai ini kini adalah lingkar elite terdalam dalam kekuasaan republic. Contohnya, bagaimana ketua umumnya sekarang menjadi RI-2 (wapres).     Dengan kata lain, sesungguhnya perubahan paradigma politik PDI-P harus segera dilakukan. Bahwa partai mengeluarkan beberapa sanksi terhadap kadernya yang dianggap indisipliner di beberapa DPC/DPD, tentu dalam rangka kualifikasi kinerja partai agar makin diterima khalayak (domestic maupun di luar). Tentu besar manfaatnya bila hal-hal semacam itu ditegakkan secara konsisten.     Sejak memenangkan Pemilu 1999, agaknya partai ini kurang mampu tampil prima dibandingkan mayoritas perolehannya. Begitu pula banyak peluang untuk memenangi wacana yang menarik public politik, namun terlewatkan begitu saja. Memang, beberapa kader terbaiknya termasuk ?Koboi Politik?, misalnya telah memainkan peran yang signifikan.     Dalam hal yang justru subtansial, partai ini kurang banyak mengambil inisiatif di depan. Subtansi yang saya maksudkan adalah tentang kerja-kerja perbaikan menuju kearah kompatibilitas, kesisteman. Taruhlah soal amandemen UUD 1945. PDI-P kurang bernafsu melakukannya. Terutama Pasal 8 UUD 1945.     Jika seperti usulan banyak kalangan, baik akedemisi maupun LSM, sebenarnya pengubahan yang memungkinkan pemilihan Presiden secara langsung, peluang bagi figure ketua umumnya dapat menduduki RI-1, dengan legitimasi secara penuh. Hal ini terutama untuk menepis pernyataan yang lagi-lagi terjadi arah pembelokan aspirasi rakyat; dari majority constitutional menuju legal constitutional.     Karena sistem demokrasi tidak langsung masih dipakai dalam Pemilu 2004, boleh jadi PDI-P tidak akan ?mendapat apa-apa? dalam SU MPR 2005. Argumen berikut kian memperjelas keyakinan itu. Pertama, secara subjective actor politik PDI-P di banyak tempat sering bermasalah. Secara mutakhir saja kasus PDI-P di Wonogiri, kasus dugaan KKN Pilkada di banyak tempat, serta perilaku lain yang sesungguhnya cuma kelakuan ?oknum?, mampu menarik undur simpatisan PDI-P dari kalangan akademisi, atau mereka yang melek informasi dan politik. Kinerja Mengecewakan Belum lagi kinerja fraksi ini sebagai pemangku mayoritas di banyak tempat, baik tingkat kabupaten/kota maupun propinsi, jika tidak disebut mengecewakan, ternyata biasa-biasa saja. Padahal ?amunisi? yang dimiliki jauh lebih besar daripada apa yang sebenarnya secara prestatif dapat diraihnya.     Kedua, secara obyektif lingkungan politik kian memberi warna profanistik tersendiri. Maksudnya adalah, actor politik di luar dirinya kian cerdas-cerdas saja, dengan tingkat pemahaman politik yang kian qualified saja.     Hal inilah yang membuat PDI-P kelak akan disaingi Golkar, Poros Tengah, bahkan PKB. Dengan menyia-nyiakan kadear di bawah dan lebih mengagungkan figure ketua umumnya, sangat boleh jadi PDI-P dalam pemilu ke depan akan kehilangan isu-isu strategisnya. Dengan pemecatan seperti yang terjadai di Wonogiri itu, sementara di belakang mereka yang dipecat adalah mereka-mereka yang punya kontribusi sangat besar dalam membesarkan partai, dukungan kepada partai ini akan kian menipis. Memang masih akan memenangi Pemilu 2004, namun perolehannya tidak sedramatis pemilu lalu.     Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan partai. Contohnya karena kemenangan PDI-P didukung oleh massa level di bawah, maka partai hendaknya mengusahakan politik populisme dalam kebijakan di sector ekonomi. Dalam rangka ini, tujuan pemberdayaan petani, misalnya, yang dalam sejarah republic ini belum pernah beranjak dari keterpurukan standardisasi harga gabah yang layak, bisa diangkat menjadi isu dan misi strategis. Selain itu, karena kader-kadernya telah menduduki jabatan public, implementasi di lapangan ekonomi dan politiknya mesti sebanding dengan kemauan sebagian besar rakyat.     Ketiga, politik devolusi seperti yang saya sebut di muka, sebagai bagian dari politik desentralisasi, semestinya direspon secara positif oleh para elite partai. Dalam hal ini penghargaan massa justru diletakkan pada pengakuan atas eksistensi lokalitas. Keberagaman, dan prakarsa masyarakat lainnya, lewat akomodasi fraksi-fraksi di parlemen baik propinsi maupun kabupaten/kota. Tidak ada jalan lain kecuali jika elite politik PDI-P tampil prima, dan bukan malah menjadi bagian dari mentalitas masa lalunya. Untuk waktu ke depan, saya kira PDI-P, mesti sekelas dengan kebesaran partainya. Mentalitas partai pun selayaknya mental juara.  Dan, karena partai ini telah dapat dibesarkan oleh massa akar rumput, maka disanalah local genious menjadi sumber suara dalam pemilu lalu. Keputusan yang mendesain dengan agenda utama pemberdayaan aekonomi, saya kira sebagai gantinya, PDI-P menghindari atas apa yang saya sebut sebagai ?alat represi? penguasa.