Konstelasi Politik Sidang DPR 30 April

Kamis, 26 April 2001 , 00:20:26 WIB
Konstelasi Politik Sidang DPR 30 April
Dimuat di Media : SUARA MERDEKA, 26 April 2001  Konstelasi Politik Sidang DPR 30 April       Kian menegangkan saja jagat politik menjelang 30 April. Bagi sebagian orang hari itu bisa jadi hari ?kiamat? (armadegon). Pada saat itulah DPR akan bersidang membahas perlu tidaknya dijatuhkannya memorandum II. Sementara  itu, Presiden Gus Dur mengingatkan agar legislative tidak mudah mengambil langkah.     Sebab Memorandum II bisa memunculkan pemberontakan nasional oleh pendukungnya. Statemen Kepala Negara ini serta merta memancing reaksi keras. Pramono Anung, Wasekjen DPP PDI-P menganggap pernyataan itu hanya sekedar gertakan belaka.     Jika demikian keadaannya, apa yang bisa dilukiskan dengan angka 30 April? Apa makna Sidang Paripurna DPR itu? Terasa sulit menjawabnya memang. Namun, tiga asumsi dasar scenario berikut setidaknya membantu.     Pertama, scenario terburuk. Sidang Paripurna DPR berlangsung tegang. Tepuk tangan menggema setiap kali pembaca pidato menyebut kinerja Gus Dur yang dianggap tidak becus mengelola Negara. Kata-kata tidak sopan dari mulut  si ?anak TK? diulang-ulang setiap wakil fraksi.     Sementara Gus Dur yang tidak hadir di sidang itu, di mata pendukungnya, terlihat seperti sedang diadili in absentia. Para pendukungnya belum seluruhnya kembali ke tempat asal. Sehari sebelumnya sejuta lebih dari mereka mengikuti prosesi doa kolosal (istiqotsah kubro) di Parkir Timur Senayan.     Semula memang niatan ke Jakarta itu sekedar doa, persis seperti anjuran elite PBNU. Namun melihat Gus Dur diadili, dizalimi, dan dihujat sedemikian rupa itu mendorongnya merangsek ke gedung DPR/MPR     Baik di dalam maupun di luar gedung, situasi sekitar DPR/MPR tambah panas. Aparat keamanan kewalahan. Di saat seperti itu, conflict of interest terjadi. Di satu sisi mesti menjaga keamanan sekitar gedung, termasuk menyelamatkan personil legislative.     Di sisi lain, ada instruksi Presiden sang panglima tertinggi keamanan mengatakan demi menghargai hak demokrasi biarkan saja massa itu masuk menerobos gedung. Beberapa anggota DPR interupsi kepada pemimpin siding. Mereka mengabarkan situasi sekitar gedung telah ?dikuasai? massa.     Situasi sudah tidak kondusif bagi kelanjutan persidangan. Hujan interupsi menderas. Akhirnya sidang diskors dengan alasan keamanan dan keselamatan anggota DPR. Kejadian itu menjadikan alasan Presiden membekukan DPR, dan darurat sipil diberlakukan terbatas di Ibukota. Dan itu artinya demokrasi terancam batal demi alasan keamanan.Jilid Dua     Kedua, scenario ?terbaik? sesuai konstitusi. Dilukiskan setelah pemandangan antar fraksi, DPR akhirnya menetapkan Memorandum jilid kedua. Bunyi memorandum pun lebih tegas. Meski masih tersirat, DPR meminta MPR mempersiapkan SI MPR secepat-cepatnya sebulan ke depan.     Di luar gedung, pendukung Gus Dur bisa diatasi tegas aparat keamanan. Pagar betis, kawat berduri, serta tembok air yang dipasang Polri ternyata cukup efektif. Di dalam gedung, sebelum bunyi memorandum dirumuskan, ternyata mesti melalui voting.     Sangkaan semula bahwa pasukan berani mati akan bertindak anarki tidak terbukti. Dengan kesadaran tinggi, justru mereka mengikuti Gus Dur minta mereka agar menjaga prosesi demokrasi sewajarnya. Petinggi PKB justru menyejukkan. Mathori Abdul Djalil, misalnya menyatakan memorandum kedua bukannya kiamat bagi PKB apalagi bagi Gus Dur.     Ketiga scenario ?jalan tengah?. Sebelum lebih jauh diputuskan memorandum, ternyata baik eksekutif maupun legislative, pada akhirnya melunak. Di saat pembahasan jawaban memorandum pertama presiden, ada kabar mengejutkan dari istana. Lewat surat yang ditujukan kepada pimpinan DPR, Gus Dur bersedia menarik undur sikap-sikapnya selama ini. Surat ini dengan jelas dia mengakui kekhilafan atas Buloggate dan Bruneigate. Untuk ini, dia meminta maaf.     Setelah surat dibacakan, sidang DPR terbelah tiga kelompok. Pengelompokkan ini mencerminkan juga posisi sikap partai politik terhadap sikap presiden. Kelompok pertama, menyangsikan kemauan presiden. Presiden sudah sangat terlambat meminta maaf. Mereka sudah menjatuhkan ?talak tiga?.     Dan boleh jadi angan-angan ralat akan segera menyusul seperti kebiasaan presiden selama ini. Karena itu proses memorandum hingga SI MPR niscaya jalan terus. Fraksi-fraksi dari Poros Tengah ada di sini. Kelompok kedua, dengan tegas menerima tanpa kesangsian kemauan dan ketulusan presiden.     Mereka yakin inilah saat yang tepat untuk menyambut uluran tangan presiden. Semestinya DPR tidak boleh, seolah menyindir kelompok pertama, apriori dulu sebelum DPR melaksanakan kemauannya itu. PKB dan PDKB ada  di sini.     Kelompok ketiga, meski sekali lagi  sangat sarat dengan keraguan, namun kelompok ini masih mempertimbangkan apa sesunguhnya kemauan presiden. Sambil tengok kiri kanan, fraksi Partai Golkar termasuk dalam kelompok ini, ingin agar defenisi permintaan maaf dipertegas. Jangan-jangan kasusnya seperti Keppres 121 tahun 2000 itu.     Dan, kelompok inimasih akan mempelajari reaksi dari fraksi lain. Ya, memang Golkar selalu mengambil langkah pragmatis. Dalam hal ini, Fraksi TNI/Polri juga sama atas sikap Golkar.     Sementara di bagian lain, di kelompok ini berada di PDI-P. Mereka lebih tidak ragu-ragu. Sebagian besar memang ingin mengikuti kelompok pertama, namun alasan-alasan ketua umum menjadi pertimbangan tersendiri.  Secara politis kelompok ini terugikan oleh sikap Gus Dur dalam mengelola Negara selama dia berkuasa. Namun hubungan antara Mas Dur dan Mbak Mega, agaknya sulit didefinisikan.     FPDI-P tahu, sulit mengeluarkan Indonesia dari krisis selama Gus Dur berkuasa. Namun, disamping perasaan yang sama bila mengikuti scenario Poros Tengah, juga factor atas keraguan dalam menentukan langkah-langkahnya.  Pasca Memorandum     Meski tetap terbelah dalam ketiga sikap politik, namun pada akhirnya DPR menerbitkan memorandum kedua juga. Hal ini dilatarbelakangi Gus Dur tetap harus ditegur tegas, sebelum akhirnya mengerti betul  bagaimana konsekuensi atas memorandum kedua ini. Maksudnya, memorandum kedua adalah jalan tol bagi SI MPR.     Juga bahwa persoalan sesungguhnya bukan di memorandum itu, namun sikap ini guna memberi kesempatan sekali lagi dan ini sekali lagi, buat Gus Dur untuk mempersiapkan diri. Hitung-hitungan untuk mempersiapkan mentalitas, baik bagi pihak Gus Dur bersama para pendukungnya maupun bagi para elite politik.     Di mata mereka bukan interval terbaik sejak jatuhnya memorandum satu hingga memorandum dua, namun titik krusial ada pada antara memorandum kedua dan SI MPR.     Tapi, sementara kalkulasi itu berjalan, situasi Indonesia kian terpuruk. MUngkin terlalu dramatis gambaran ini. Tapi, itu bukan tidak terjadi. Jika sudah begitu, kepada siapa jari telunjuk tanggung jawab hendak diarahkan Secara normative tentu saja kepada elite politik.     Namun, yang lebih subtansil, bukan tanggung jawab atau tidaknya. Bagi para elite politik, hal semacam itu tidak menjadi pertimbangan. Keuntungan politik apa yang bakal diraih atas semua proses yang dilakukan? Atau lebih spesifik lagi, apa konsekuensi dibalik langkah-langkah yang ditempuhnya bila benar akan sejauh itu?     Pertama, banyak orang yang akan disebut sebagai ?pahlawan? di belakang hari. Mereka akan dikenang sepanjang sejarah. Setidaknya tokoh semacam ini mengerti betul saat kapan dia harus ambil peran, saat kapan dia harus ambil posisi. Tokoh mashur mana pun di muka bumi ini pasti lahir dari situasi seperti ini.     Orang seperti ini lahir dari rahim sejarah. Sebut saja nama besar Bung KArno, Charles de Gaulle dari Perancis. Dan sebaliknya, situasi seperti ini akan mengutuki bagi mereka yang tidak mengambil sikap.     Kedua, disamping ada pahlawan, tentu ada yang disebut pecundang. Mereka ialah orang yang selalu mengeksploitasi situasi. Dalam pikirannya tidak ada satu pun hendak menjadi martir sejarah. Pikiran seperti itu lahira dari mereka yang penuh kalkulasi untung ruginya berpolitik. Itu sah-sah saja, karena  politik itu penuh perhitungan.     Ketiga, jan gan merasa pintar, lalu perhitungan jangka panjang diabaikan secara nyata. Tingkah laku kelompok ini bukan oportunis. Namun karena pintar mereka mengeksploitasi keluguan sistem politik. Ada jiwa besar kenegarawanan yang disembunyikan. Ada jiwa kekerdilan yang ditonjolkan. Kerjaannya meralat atas sejarah yang pernah dilakukannya. Kelompok Islam politik berada di sini.     Pada siding Paripurna DPR 30 April itu, di samping situasi belum, sesaat dan setelah itu, akan membuktikan ketiga tesis di atas. Akan tergambar secara samara dan juga jelas para elite politik itu berperangai. Mungkin masuh akan banyak orang akan menjadi  pahlawan bagi kelomponya. Namun tidak sedikiti yang  jadi pecundang bagi bangsa dan negaranya.