Hak Pilih Harus Dipenuhi Bawaslu-Komnas HAM Jalin Kerja Sama

Sabtu, 13 Maret 2010 , 02:12:59 WIB
Hak Pilih Harus Dipenuhi Bawaslu-Komnas HAM Jalin Kerja Sama

Media: Kompas Tanggal: Sabtu, 13 Maret 2010

Jakarta, Kompas - Hak memberikan suara atau memilih merupakan hak dasar setiap individu atau warga negara yang harus dijamin negara. Oleh karena itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ikut memantau pemenuhan hak warga negara sebagai pemilih dalam pemilihan kepala daerah. Untuk itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjalin kerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar hasil pemantauan dapat ditindaklanjuti. Kerja sama kedua pihak dituangkan dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini dan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di Jakarta, Jumat (12/3).

Bentuk kerja sama yang tertuang dalam nota kesepahaman adalah tim pemantauan bersama, workshop atau seminar, sosialisasi, pelatihan, dan tukar-menukar informasi. Tim akan melakukan pengawasan hak dasar warga negara dalam memberikan suara pada pilkada tahun 2010 di beberapa daerah.

Nur Hidayat Sardini mengatakan, hak memberikan suara atau memilih merupakan hak dasar setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara, seperti tertuang dalam UUD 1945. ?Kami mempunyai Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Komnas HAM mempunyai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Nah, ada wilayah di mana tugas kedua lembaga saling bersinggungan,? lanjutnya.

Ifdhal Kasim menambahkan, Komnas HAM mempunyai perwakilan di enam daerah, tetapi tidak menutup kemungkinan pemantauan daftar pemilih pilkada juga akan dilakukan di daerah lain. ?Komnas HAM lebih konsentrasi pada pemenuhan hak- hak politik warga negara. Pemantauan yang dilakukan bergantung pada karakteristik daerah yang akan melaksanakan pilkada,? ujarnya.

Lebih lanjut Ifdhal mengatakan, banyak masalah yang harus diperhatikan terkait dengan daftar pemilih, seperti warga yang menjalani hukuman di penjara, warga yang bekerja di daerah perbatasan antardaerah, atau warga yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. ?Warga yang termarjinalkan itu harus diperhatikan. Tidak semua penjara atau rumah sakit mempunyai tempat pemungutan suara. Atau, karyawan yang bekerja di daerah perbatasan, apakah majikan mengizinkan karyawannya untuk memberikan hak pilih di tempat tinggalnya. Kalau tidak diizinkan, namanya pelanggaran,? ungkap Ifdhal.

Anggota Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan, negara tidak boleh mengulangi kesalahan pada Pemilu 2009. Saat itu, Komnas HAM menyatakan, 40 persen penduduk tidak terdaftar sebagai pemilih, padahal mereka memenuhi syarat sebagai pemilih. ?Ini bahaya karena bisa mendelegitimasi pemerintah. Karena itu, kami ingin pemerintah kuat, jalannya ya dengan pilkada ini,? katanya.

Geser jadwal pilkada

Sementara itu, dari Jayapura dilaporkan bahwa jadwal pilkada 21 kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat bisa bergeser. Ini terjadi akibat persyaratan calon kepala daerah kedua wilayah itu yang mesti mengantongi surat rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP). Persyaratan itu dinilai akan menghalangi keikutsertaan orang non-Papua sehingga berpotensi menuai gugatan.

?Dalam menerbitkan surat rekomendasi, seharusnya MRP memiliki argumen kuat dari sisi antropologi, hukum, sosial, politik, dan berbagai segi. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan agenda pemilihan kepala daerah terlambat,? ujar Yan Ayomi, anggota DPR Papua, Jumat. Calon wakil wali kota Jayapura dari Partai Golkar-PAN, Rustan Saru, yang bukan orang asli Papua, mengaku siap mengikuti aturan. Namun, ia mengingatkan, pemaksaan kebijakan itu bisa bertabrakan dengan UU tentang Pemerintahan Daerah. (ICH/SIE)