Kisruh Dualisme Pembentukan Panwaslu Kada

Rabu, 17 Maret 2010 , 14:39:04 WIB
Kisruh Dualisme Pembentukan Panwaslu Kada

Oleh

Heriyanto, S.H.

Kisruh pembentukan panwaslu kada antara KPU dan Bawaslu dituding sebagai sebab pembentukan panwaslu kada oleh DPRD Kota Samarinda dan Kab.Sumbawa. Kisruh yang tak kunjung usai, membuat KPU menyerahkan pembentukan Panwaslu Kada kepada DPRD. Akibat tindakan yang dilakukan KPU tersebut, saat ini di dua daerah tersebut terjadi dualisme Panwaslu Kada, antara yang dibentuk Bawaslu dan yang dibentuk DPRD. Dualisme Panwaslu Kada menciptakan ketidakpastian hukum, Panwas manakah yang sah menurut hukum. Ataukah dua bentukan panwaslu kada tersebut tidak sah dua-duanya.

Raad Rat Conceil Conseil atau Balai Kota

Keberadaan DPRD di Indonesia apabila dilihat dari sejarah pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Raad Rat Conceil Conseil pada zaman pendudukan kolonial Belanda. Raad Rat Conceil Conseil atau yang lebih kita kenal dengan nama Balai Kota merupakan balai yang dibentuk untuk mewakili masyarakat setempat. Raad Rat Conceil Conseil atau Balai Kota dikemudian hari setelah Indonesia merdeka menjadi cikal bakal format baku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.

Raad Rat Conceil Conseil dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut Integrated Prefectoral Desentralization System mendudukan DPRD sebagai eksekutif bersama Kepala Daerah. DPRD tak memiliki kekuasaan legislatif seperti layaknya DPR tingkat pusat. Kekuasaan yang dimliki oleh DPRD hanya kekuasaan membentuk kebijakan (Policy Making).

Nah, oleh karena DPRD sebagai pembentuk kebijakan, DPRD hanya menjalankan kewenangan yang didesentralisasikan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kebijakan yang dibentuk oleh DPRD berasal dari kewenangan administrasi pemerintahan umum selain urusan politik luar negeri, agama, pertahanan, moneter dan fiskal, keamanan, dan yustisi. Mengingat hal tersebut, kebijakan untuk menetapkan tiga nama panwaslu kada tidak dapat dilakukan oleh DPRD disebabkan bukan berasal dari kewenangan administrasi pemerintahan umum yang dimiliki oleh Presiden, karena kewenangan membentuk panwaslu kada ada ditangan Bawaslu berdasarkan pasal 70 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Kenekatan

Kenekatan KPU di daerah untuk menyerahkan 6 (nama) calon anggota Panwaslu Kada kepada DPRD didasarkan pada ketentuan peralihan pasal 236A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Inti dari ketentuan Pasal 236A tersebut menyebutkan apabila Bawaslu belum membentuk Panwaslu Kada, maka DPRD dapat membentuk Panwaslu Kada. Pemaknaan terhadap pasal tersebut tidak bisa diletakan pada teks pasal tersebut saja, tetapi harus dilihat dari konteks keberlakuan pasal tersebut dikarenakan ketentuan pasal tersebut bersifat kondisional.

Perlu untuk diketahui terkait pasal 236A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Bawaslu mengajukan permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung. Untuk merespon permohonan fatwa tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa MA No. 142/KMA/XI/2009, dengan memerintahkan kepada KPU dan Bawaslu untuk duduk bersama membahas Surat Edaran Bersama (SEB) terhadap kemungkinan DPRD membentuk Panwaslu Kada. Perintah Mahkamah Agung tersebut apabila ditelisik dengan memandang DPRD sebagai Raad Rat Conseil Conceil sudahlah tepat. Menurut Mahkamah Agung, Pasal 236A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tidak mungkin dilakukan tanpa adanya desentralisasi kewenangan dari Bawaslu kepada DPRD.

Melampaui Kewenangan

Di dalam pasal 42 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, sudah dilakukan penghapusan kewenangan DPRD dalam membentuk Panwaslu. Sehingga pembentukan Panwaslu Kada oleh DPRD Kota Samarinda dan Kab.Sumbawa baik secara normatif maupun dari sudut pandang hukum administrasi negara dapat dikatakan sudah melampaui kewenangan administrasi pemerintahan umum yang seharusnya dimiliki oleh DPRD.

Pelampauan kewenangan yang dilakukan oleh DPRD dapat berakibat pada tidak sahnya panwaslu yang ditetapkan dan dilantik oleh DPRD. Panwaslu Kada yang tidak sah pada akhirnya akan membuat tidak sahnya proses dan hasil pemilu Kada. Perlu juga dicermati, bahwa Panwaslu Kada yang dihasilkan dari lembaga yang tidak sah untuk membentuknya, maka akan membuat masyarakat yang dirugikan dari adanya Surat Keputusan DPRD terkait penetapan Panwaslu Kada tersebut, menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut dimungkinkan mengingat DPRD merupakan pejabat tata usaha negara bagian dari kekuasaan eksekutif di daerah, maka segala keputusan yang dikeluarkan DPRD dapat dijadikan obyek gugatan di peradilan tata usaha negara.

Mudah-mudahan kisruh pembentukan Panwaslu Kada dapat segera diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi keberadaan Bawaslu yang sudah bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk membentuk infrastruktur panwaslu kada di seluruh indonesia. Pembentukan Panwaslu Kada oleh Bawaslu dapat menjamin kemandirian kinerja Panwaslu Kada dibandingkan dengan pembentukan Panwaslu Kada oleh eksekutif.

Selain itu, penyelesaian kisruh pembentukan panwaslu kada juga perlu melibatkan peran kementerian dalam negeri sebagai pengawas dan Pembina penyelenggaraan otonomi daerah. Peran yang diharapkan disini untuk menertibkan DPRD yang tetap nekat untuk membentuk Panwaslu Kada tanpa alas hukum yang sah.