Bawaslu Instruksikan Awasi Kepala Daerah Petahana. Ada Sepertiga Petahana
Sabtu, 27 Maret 2010 , 14:29:12 WIB
Media: Kompas
Tanggal: Sabtu, 27 Maret 2010 | 02:48 WIB
Keterlibatan calon kepala daerah yang mengemban jabatan atau petahana (incumbent) ataupun keluarga mereka dalam pemilihan umum kepala daerah terdeteksi di sepertiga dari daerah yang telah memasuki tahapan pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah. Dari total 244 daerah di Indonesia yang akan menggelar pilkada tahun ini, pada pertengahan Februari lalu terdata 93 daerah yang sedang melaksanakan tahapan pendaftaran dan penetapan calon, 28 di antaranya diikuti kepala daerah petahana.
Data keterlibatan kepala daerah Petahana tersebut kini telah bertambah hingga sekitar sepertiganya yang diikuti kepala daerah petahana karena proses pilkada di daerah terus bergulir. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terus memetakan keterlibatan kepala daerah petahana dalam pilkada untuk mengantisipasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran. ”Kami memberi instruksi khusus ke Panitia Pengawas agar mengawasi calon incumbent (kepala daerah petahana),” ujar anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo, Jumat (26/3), saat ditemui di kantornya.
Menurut ahli politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, tingginya kepala daerah petahana dalam pilkada merupakan indikasi lemahnya figur pemimpin di daerah. Hal ini menunjukkan gagalnya kaderisasi kepemimpinan oleh partai politik. Netralitas demokrasi
Apalagi keluarga kepala daerah petahana pun turut mencalonkan diri sehingga kepala daerah petahana bisa menjadi pemain bayangan dalam pemerintahan. ”Keterlibatan incumbent (kepala daerah petahana) akan memengaruhi netralitas demokrasi,” kata Dwipayana. Pelanggaran yang sering kali melibatkan kepala daerah Petahana adalah penggunaan fasilitas negara serta mobilisasi pegawai negeri sipil seperti yang saat ini telah terjadi di beberapa daerah. Bawaslu mengaku sudah menerima laporan kecurangan pilkada oleh kepala daerah petahana seperti penyalahgunaan wewenang dan pelibatan PNS di kabupaten/kota seperti Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Menurut Bambang, Bawaslu sudah menjalin komunikasi dengan sejumlah lembaga seperti Lembaga Ombudsman Daerah DIY untuk menganalisis indikasi malapraktik administrasi yang tidak benar oleh kepala daerah petahana. Kerja sama dengan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia juga sedang dijajaki. Modus utama penyalahgunaan oleh kepala daerah petahana biasanya terkait dana bantuan sosial yang bersifat populis untuk meningkatkan reputasi.
Potensi konflik pilkada, lanjut Bambang, lebih rawan daripada pemilu legislatif ataupun pilpres akibat semakin rumitnya persoalan. Konflik mudah tersulut karena kedekatan emosional antara calon kepala daerah dan para pemilihnya. Bawaslu meminta semua anggota Panwaslu agar bekerja lebih aktif. (WKM)