Persoalan Komunikasi Politik Megawati

Sabtu, 18 Januari 2003 , 08:57:46 WIB
Persoalan Komunikasi Politik Megawati

Oleh: Nur Hidayat Sardini - Karangan Khas

UJUNG-ujungnya Presiden Megawati tunduk di bawah tekanan. Setelah dua minggu didemo hampir seluruh kalangan, bahkan sebagian besar di antaranya berbentuk radikalisme, akhirnya kebijakan kenaikan TDL dan BBM akan dikaji ulang, sementara tarif telepon ditunda. Keputusan ini berbanding terbalik dari sikap Mega yang selama ini bergeming. Baik dalam setiap sidang kabinet terbatas serta sidang kabinet lengkap Gotong Royong maupun dalam berbagai kesempatan, Presiden sama sekali tidak pernah mengagendakan setiap desakan, protes, dan usulan masyarakat tersebut. Sekali saja merespons, Megawati sekadar mengungkapkan ketersinggungannya atas diinjak-injaknya baik foto maupun pembakaran patung atas dirinya. Dia klaim, foto dan patung adalah simbol-simbol negara (?).

Memang semua itu serba dilema bagi Mega. Sebagai presiden, dia berkewajiban merancang perikehidupan jangka panjang bagi rakyatnya. Maka ada benarnya ketika dia menyatakan pencabutan subsidi bermanfaat bagi kemandirian bangsa. Selama lebih seperempat abad, warga dari bangsa ini dimanja oleh berbagai bentuk subsidi. Toh, subsidi yang selama ini dikucurkan, jatuhnya bukan kepada rakyat bawah. Justru birokrat korup dan pengusaha nakal yang teruntungkannya.

Murahnya BBM terutama solar karena pemberian subsidi, penyelundupan banyak terjadi ke luar negeri. Siapa lagi kalau itu bukan pekerjaan birokrat korup dan pengusaha hitam ? Secara objektif, ada benarnya langkah Mega. Apalagi IMF telah mengamanatkannya. Perkara kurangnya atau bahkan miskinnya sofistifikasi dalam strategi kebijakan sehingga banjir keberatan dialamatkannya, inilah letak kelemahan pemerintahan Mega.

Di balik itu, sebagai politisi, Mega punya kalkulasi politik. Dalam 1,5 tahun sisa kekuasaannya, dia hendak menuntaskan persoalan ini. Ingat, dalam tahun-tahun ini jagat politik nasional akan diwarnai berbagai pembahasan agenda politik nasional. Dia juga ingin mengambil keuntungan politik. Pembahasan ini bisa berimplikasi negatif bagi partai dan dirinya. Andaikan kebijakan tak populer itu ditempuh di akhir jabatannya, taruhlah kurang dari setahun menjelang Pemilu 2004, ingatan massa akan tereferensi betapa Mega tak berpihak kepada wong cilik. Sesuatu yang pernah lekat dengan dirinya, sekaligus yang memungkinkannya sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999.

Dengan menerbitkan kebijakan kenaikan tiga komoditas strategis sekarang juga, Megawati bersama kelompok politiknya memiliki waktu yang cukup. Setidaknya untuk memotong referensi orang untuk memilih atau tidak memilih PDI-P dan foto dirinya dalam bursa suksesi kepemimpinan nasional dalam paket Pemilu 2004. Dengan demikian, dia punya waktu kurang setahun sebelum Pemilu 2004.

Terantuk Lagi

Dihitung, sisa waktu itu setidaknya akan diefektifkan untuk tiga hal. Pertama, rekayasa politik akomodasi. Konkretnya, di ambang Pemilu 2004, Megawati akan menerbitkan paket kebijakan pro-populisme semacam Jaring Pengaman Sosial (JPS), kenaikan gaji PNS-TNI-Polri, paket sandang-pangan-papan murah, subsidi SPP bagi sekolah dasar dan menengah. Kedua, memotong kapitalisasi politik rival-rivalnya. Dalam dua minggu ini saja, bagaimana seorang Amien Rais - yang sering diasosiasikan sebagai figur utama rival Megawati - bisa mengeruk keuntungan atas kelemahan Mega akibat kebijakan menaikkan 3 komoditas strategis tersebut. Diharapkan, pada detik-detik menjelang akhir kekuasaan Megawati, tidak ada peluang bagi lawannya untuk menyalip di tikungan terakhir. Ketiga, setidaknya bisa memotong suatu asumsi politik kontra populisme kebijakan Mega sebelumnya. Dengan segala implikasi yang mencekik rakyat yang diterbitkan sebelumnya, kelompok Mega berhitung agar kognisi kolektif massa akan cepat melupakannya.

Dalam bacaan politiknya, karakter pemilih itu pendek-pendek, gampang lupa dan melupakan, serta mudah memaafkan atas apa yang pernah dilakukan penguasanya. Bersama kedua langkah kebijakan politik sebelumnya secara sinergis, maka rakyat yang pernah geram dengannya akan kembali ke kandang banteng. Berharap pula hingar bingar Pemilu 1999 akan kembali berulang pada Pemilu 2004.

Dengan merevisi kenaikan BBM-TDL-tarif telepon (BTT) tersebut, justru Mega terantuk tiga kali pada batu yang sama. Pertama, sejatinya problem utama Mega tidak pada keputusan kenaikan ketiga komoditas strategis tersebut.

Masalahnya adalah bagaimana pengelolaan pemerintahan yang tidak akurat, tidak dibarengi dengan sofistifikasi langkah strategi dalam bagaimana menerapkan suatu kebijakan. Pada yang namanya object matter, rakyat andaikan diberi penjelasan yang sejelas-jelasnya pasti akan menerima keputusan BTT sebelumnya. Meskipun dengan ini harus pula disertai sofistifikasi strateginya.

Dampak sosial seharusnya dikaji sebelum kebijakan tersebut diterapkan, dengan skenario-skenario kemungkinan dan penanganannya. Kedua, dengan demikian, masalahnya adalah subject matter. ialah mengapa Mega tidak sedari awal secara langsung menjelaskan duduk perkaranya kepada rakyat mengapa (terpaksa) Pemerintah menempuh langkah menaikkan BBT.

Sudah tidak ada penjelasan yang akurat, justru ?analisis intelijen? dari Susilo Bambang Yudoyono yang menyatakan bahwa terdapat tiga pihak tertentu di balik aksi-aksi protes kenaikan BBT, yang datang kemudian. Ada pula pernyataan Menhan Matori Abdul Djalil, serta keluhan Megawati sendiri yang foto dan patungnya dibakar massa. Respon pemerintah seolah menantang kepada pengunjuk rasa dan berbagai kelompok pemrotes tersebut. Pemerintah melarikan basis keresahan rakyat dengan isu-isu yang berbasis politik. Maka tak heran, jika sejak sehari Pemerintah merevisi kenaikan BBT tersebut, demonstrasi belum juga reda. Ini karena pengalihan isu-isu yang tak kalah populernya dilakukan Pemerintahan Gotong Royong ini.

Ketiga, pada akhirnya Mega tidak mendapatkan apa-apa dari setiap yang dikeluarkannya. Alih-alih demi popularitas. Sekadar untuk bertahan demi berlangsungnya operasi pemerintahan yang wajar belaka, justru tak diperolehnya. Nasi sudah menjadi bubur. Mungkin itu kalimat yang paling tepat, untuk menggambarkan betapa rezim kini sedang dirundung problematika delegitimasi.

Pertahanan yang terakhir ini bakal berisiko bagi kepentingan politiknya. Juga jika kondisi demonstrasi yang sesungguhnya harus mereda di saat dikeluarkannya revisi kenaikan BBT berlarut-larut, namun sebaliknya tunaian yang dia peroleh. Persoalannya adalah kesalahan Mega dalam membaca situasi. Suatu keputusan, hanya akan didukung andaikan problem elementer disertakan sebagai proses pertimbangan. Problem ini adalah keterusan konsistensi, yang agaknya tidak dimiliki oleh pemerintah kini. Malah bentrok antara pendukung Megawati dan mereka yang menolak kebijakan kenaikan BBT sekarang sudah terjadi pula di beberapa tempat. Kalau ini dibiarkan, maka konflik horisontal suatu ketika bisa tak terhindarkan. Adalah peluang bagi masuknya kekuatan ekstraparlementer, ekstrajudisial, serta kelompok pengaruh suasana atas berlarut-larutnya kondisi delegitimasi ini. Masalah Komunikasi

Masalahnya adalah komunikasi politik. Mungkin saja Mega tengah dikerumuni oleh mereka yang memasok berbagai informasi yang tak akurat. Bisa pula karena karakternya yang memang telah cenderung menjauh dari massa politiknya; sehingga komunikasi antara subject matter dan object matter-nya tak bersambung. Diyakini, kebijakan kenaikan harga BBT akan didukung oleh rakyat. Namun, kepemimpinan yang efektif, dukungan luas dari semua rakyat, dengan sistem pengelolaan negara yang akuntabel, adalah penopang darikewibawaan pemerintah. Belakangan kewibawaan tersebut kian melemah. Betapa pun tidak populernya sebuah kebijakan, namun jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, niscaya lambat laun akan diterima juga kebijakan tersebut.

Di mata publik, pemerintah kini masih diselimuti selubung ketidakjelasan. Sumber perbaikan, andaikan masih akan berusaha untuk ?mengubah bubur menjadi nasi kembali? adalah perbaikan dalam berkomunikasi dengan publik. Publik jangan pernah dibiarkan untuk menduga-duga apa yang dikehendaki pemerintahnya. Haqul yaqin bahwa di balik kebijakan mencabut BBT adalah maksud baik pemerintah.

Namun maksud baik tersebut terhalang justru hanya karena persoalan tidak tersampaikannya niat luhur tersebut. Ini mungkin persoalan teknis, namun sekarang sudah berubah menjadi problem substansial. Problem substansial berkait dengan menguatnya apatisme rakyat terhadap apa pun niat baik yang ingin dikatakan dan dimaui pemerintah. Karena itu, satu-satunya jalan adalah Mega harus bicara langsung dengan publik. Persoalan lewat media atau langsung kepada kelompok pemrotes, itu pun persoalan medium komunikasi. Persoalan teknis belaka. Masih ada waktu untuk mengatasi keadaan. Sembari Mega harus ke luar ?dari sarang kebekuannya?, juga penyertaan suri teladan dari diri dan keluarganya juga mesti dibenahi. Jangan sampai dia berkali-kali menganjurkan perlunya mengencangkan ikat pinggang, pada saat yang bersamaan pesta ulang tahun ke-60 suaminya diselenggarakan di sebuah hotel berkelas wahid di Bali. Lalu hari berikutnya seluruh keluarganya memborong kelas vip menonton F-4. Inilah susahnya.(33) -Nur Hidayat Sardini, dosen Undip dan peserta program S2 UI Jakarta