Lebih Tampak Seperti Supporter Daripada Votter
Selasa, 20 April 2010 , 10:55:35 WIB
Media: Koran Rakyat Merdeka
Tanggal: Selasa, 20 April 2010
Nur Hidayat Sardini, Ketua Bawaslu
Lebih Tampak Seperti Supporter Daripada Votter
DPR berencana merevisi UU 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sejumlah kalangan di Dewan mengusulkan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pilkada dihapus.
Mereka menganggap keberadaan lembaga pengawas itu tidak efektif. Alasannya, Panwaslu dan Panitia Pengawas tidak memiliki wewenang untuk melakukan eksekusi atas pelanggaran yang terjadi di pemilu dan di pilkada. Akibatnya banyak pelanggaran yang tak bisa diselesaikan. Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini tidak setuju Bawaslu dihapus. Menurut dia itu sama saja membiarkan terjadinya pelanggaran.
Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Nur Hidayat Sardini.
Sejumlah kalangan mengusulkan Bawaslu dibubarkan. Tanggapan anda ? Saya kira semua harus obyektif. Rencana tersebut harus dipikirkan ulang. Tidak mungkin penyelenggaraan pemilu digelar tanpa pengawasan. Hal tersebut sama saja dengan melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran. Jangan pernah membiarkan terjadinya penyelundupan-penyelundupan hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Kalau pengawas pemilu ditiadakan, siapa yang akan melakukan pengawasan? Pemilu itu urusan publik, terlalu beresiko bila pemilu digelar tanpa ada yang mengontrol.
Pengawasan sebaiknya dilakukan langsung oleh masyarakat. Anda setuju? Banyak masyarakat yang masih sungkan berhadapan dengan birokrasi. Untuk mengurus KTP saja, masyarakat enggan jika tidak terdesak kebutuhan seperti mencari kerja. Apalagi kalau mereka harus melaporkan pelanggaran kepada KPU atau bahkan polisi. Apakah masyarakat mau dengan sukarela?
Berdasarkan pengalaman saya ketika menjadi Ketua Panwaslu Jawa Tengah di Pemilu 2004 memperlihatkan, dari ribuan kasus pelanggaran yang terjadi hampir 60 persen merupakan temuan Panwaslu, bukan laporan dari masyarakat.
Bayangkan, bila kebetulan yang melakukan pelanggaran adalah orang kuat di suatu daerah seperti yang banyak terjadi di pilkada, jarang masyarakat yang berani melapor. Ada laporan dari masyarakat, tetapi ketika ditindak lanjuti Panwaslu, pelapor keberatan menjadi saksi. Saya kira masih perlu waktu untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan.
Pelanggaran pemilu atau pilkada bisa dilaporkan langsung ke polisi....? Kita mesti ingat sejarah reformasi kita. Sejak era reformasi, resistensi kekuatan non-negara terhadap kekuatan negara seperti Polri dan pemerintah, mendorong perlunya lembaga substitusi diluar negara yang bersifat independen dan non partisan (the auxiliary state-agency) . Saya setuju bila pengawas sejati adalah masyarakat pemilih. Namun struktur dan kultur masyarakat kita belum memungkinkan terbentuknya critical mass.
Ada yang berpandangan masyarakat pemilih kita relatif absen dan sekedar menjadi identitas statistik pasif. Belum terbentuk kultural penyeimbang dari kekuatan negara. Belum terdorong menjadi pemilih demokratis yang mengedepankan rasional-kalkulatif daripada unsur emosi dan irasionalitas. Lebih tampak sebagai supporter daripada voter.
Dalam demokrasi sejati perlu checks and balances. Demokrasi sejati meniscayakan kontrol ketat dan tak bisa ditawar-tawar.Dalam struktur masyarakat modern diperlukan juga diferensiasi dan spesialisasi. Serahkan pengawasan pemilu kepada lembaga yang diberi tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan pemilu.
Ada usul agar fungsi agar fungsi pengawasan berada di dalam KPU bagaimana pendapat Anda? Pendapat itu kurang tepat karena pemilu memiliki kompleksitasnya tersendiri. Pemilu Indonesia tidak berdiri di ruang hampa, ada problem sosiologis yang menyertai disana. Ada interaksi-interaksi antar aktor politik di sana. Tidak boleh dibiarkan sebuah lembaga berdiri sebagai pengelola satu-satunya penyelenggaraan pemilu.
Jangan biarkan KPU sendirian dalam menggelar pemilu. Siapa yang bakal mengontrol peserta pemilu? Siapa yang bisa mengontrol pemerintah di daerah-daerah bila terjadi penyalahgunaan kewenangan. Kalau pemilu hanya ditangani satu lembaga, saya kira akan timbul implikasi politik yang terlalu jauh.
Apa akan efektif bila KPU akan bertindak sebagai penyelenggara sekaligus pengawasnya? Bukan hanya saya, tapi banyak kalangan yang menyangsikan keberadaan lembaga pengawas berada diinternal KPU. Cerita mengenai inefektifitas lembaga pengawas internal sering kita dengar. Banyak yang gagal karena secara struktural tidak bisa efektif.
Saya ingin ungkapkan pendapat dari Lord Acton, power tend to corrupst, and absolute power corrups absolutely. Terjemahan kreatifnya, watak manusia cenderung berbuat korup, dan kecenderungan bersikap koruptif akan menguat bila memegang kekuasaan. Dalam cerita fabel segalak-galaknya macan dia tidak akan memangsa anaknya, Anaknya justru akan dilindungi. Apabila pelanggaran dimaksud diduga dilakukan oleh anggota KPU apakah tidak akan dilindungi?
Kami punya pengalaman lebih 14 kasus pelanggaran yang diduga dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang kami ajukan ke KPU, baru tiga kasus yang dipenuhi KPU. Selebihnya tidak jelas. Tindaklanjutnya juga tidak sejalan dengan yang kami rekomendasikan.
Kasus yang kami teruskan sering kali dijawab sudah diklarifikasikan oleh internal mereka. Bagaimana mungkin koleganya mengklarifikasikan ke koleganya yang lain. Ini dagelan. Saya termasuk yang belum percaya internal audit akan lebih efektif dibandingkan dengan eksternal audit.
Lalu konsep pengawasan apa yang Anda tawarkan? Saya pikir, pembentuk undang-undang perlu menyusun cetak biru sistem penyelenggaraan pemilu yang ideal. Subtansi yang mesti diperbaiki meliputi sistem penyelenggara dan tahapan-tahapan penyelenggaraannya. Dalam penyelenggaraan, KPU hendaknya diberi waktu cukup. KPU sering mengeluh tak punya waktu cukup, padahal KPU sebelumnya juga diberi waktu mepet dalam menggelar pemilu.
Mungkin anggota KPU Penyelenggara Pemilu 2004 bisa menggelar Pemilu lebih baik karena karakter, kompetensi, visi dan misi perorangan diatas rata-rata. Anggota KPU 2004 telah mewariskan regulasi fondasi kepemiluan dan infrastruktur penyelenggaraan pemilu. Sayangnya KPU yang sekarang tidak memanfaatkan warisan itu. Mereka menggelar pemilu tidak memulai dari yang ada. Padahal visi pemilu tidak perlu berangkat dari nol sama sekali.
Saya menilai penyelenggaraan Pemilu 2009 telah kehilangan roh demokrasi. Banyak masalah di pemilu. Secara sederhana orang akan mengukur sukses pemilu dari apa yang di rasakan. Kita tak perlu melakukan penelitian khusus tahu itu. Ukurannya sederhana. Temui orang yang lewat di jalan.
Tanyakan apakah ketika mereka datang di TPS pada 9 April 2009 bisa menggunakan hak pilihnya? Kalau sebagian besar menyatakan ya, berarti kualitas pemilu 2009 lebih baik dari pada pemilu sebelumnya. Namun bila sebagian besar menjawab sebaliknya, dapat disimpulkan kualitas pemilu yang lalu tak lebih berkualitas dari pemilu sebelumnya.
Bila orang kecewa tak bisa ikut mencoblos jumlahnya 25 persen hingga 60 persen dari warga Negara sebagaimana catatan Komnas HAM barangkali mereka akan menyatakan bahwa kualitas Penyelenggaraan Pemilu 2009 jauh dari harapan. (SRF)