Dalam Setiap Pemilu Ada Visi Reformasi
Rabu, 16 Februari 2011 , 03:57:09 WIBPertama, indikasi kapasitas intelektual seseorang. Apapun kualitas karya yang telah dihasilkan, dalam batas tertentu para penulisnya turut berkontribusi bagi peradaban umat manusia. Acapkali buku disimbolisasi sebagai bukti kemajuan ilmu pengetahuan. Saya kira asumsi ini berdasar, karena bagaimana mungkin sebuah bangsa akan maju bila tidak berpijak pada bukti-bukti pemajuannya. Sangat sederhana, karena dari buku yang dibaca orang—sekali lagi tanpa melihat bagaimana kualitasnya—telah meniscayakan orang untuk berpikir. Segala misteri alam hanya mungkin dipecahkan dari mereka yang berpikir, menuangkan pikiran dalam bentuk buku, dan dari buku yang lanjutannya dibaca atau dipelajari orang. Kita tahu bahwa fondasi peradaban dimulai dari formula “berpikir”, “buku”, dan “peradaban”. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, dari karya buku yang dibaca oleh sebanyak mungkin orang tersebut, tanpa disadarinya para penulis buku telah turut “mencerdaskan kehidupan bangsa”— kepada minimal sebanyak orang yang membacanya itu.
Kedua, konfirmasi akan kompetensi. Orang yang berhasil menulis buku, kepada dirinya dapat dinilai memiliki kapasitas, sekurang-kurangnya menguasai atas apa yang telah ditulisnya itu. Kapasitas ini penting, mengingat orang dinilai karena kemampuan dan ketrampilan untuk selanjutnya apakah bermanfaat bagi orang banyak. Orang ramai merangkai suatu kapasitas dengan kompetensi, sementara kompetensi mengarah pada kemampuan berperilaku bagi setiap individu dalam berbagai keadaan, yang diretas secara lama dan tidak sekonyong-konyong jadi. Menulis buku merupakan indikasi empiris dari nilai kompetensi seseorang, karena kompetensi tidak bisa dibangun dalam sehari semalam.
Kita tahu bahwa menulis karya dalam bentuk buku, membutuhkan ketekunan dan kecermatan tersendiri. Meminjam pengertian dari Spencer (1993), penulisan buku mencerminkan differentiating competencies, yakni elementasi yang membedakan satu individu dengan individu yang lain, semacam nilai tambah seseorang dengan seseorang yang lain. Apakah kompetensi dengan nilai rendah atau tinggi, maka karya buku dapat merupakan bobot tambahan dari tingginya nilai sebuah kompetensi dari penulisnya. Inilah kredit poin dari apa yang disebut kapasitas dan kompetensi dimaksud.
Ketiga, konfirmasi akan keberanian menjual gagasan. Tidak semua orang berani mengutarakan gagasannya, dengan beragam alasan. Budaya ewuh-pakewuh, dunia intelektual di kampus ditengara tidak lagi menggairahkan bahkan mandeg mengingat tengara miskinnya intellectual exercising. Dunia kampus dinilai beku bagai es dari kutub. Belakangan ada kerisauan tersendiri kepada dunia kampus, karena katanya tidak ada nilai tambah intelektualitas bersumber dari sana. Dewasa ini tak ada beda jauh antara dunia kampus dengan dunia politik. Diskusi di perguruan tingga sudah tak menarik lagi. Selapisan kaum pintar kita tak ada bedanya dengan orang yang selama ini tak bersentuhan dengan dunia intelektual. Dunia intelektual kita juga miskin terbitan jurnal berkualitas. Saya adalah seorang pengajar di perguruan tinggi, seringkali saya tanya mengapa malas menulis di koran, jurnal, atau bikin buku. Jawaban mereka kebanyakan belum percaya diri, belum merasa pantas menulis karya dalam bentuk buku, atau karena kendala biaya. Akhirnya para pengajarnya tak produktif meneliti dan berinovasi. Bahkan sekadar untuk menulis di media massa pun sedikit dosen yang melakukannya. Menulis buku belakangan sudah mulai menggejala lumrah (trend), namun jumlahnya yang belum justru jauh lebih banyak. Oleh karena itu, apapun konteksnya menulis buku harus dikembangkan. Menulis buku adalah menjual gagasan, yang sangat baik bagi perbaikan keadaan.
II Bertitik tolak dari pemikiran di atas, saya mengapresiasi buku “Pemilihan Spekulatif Mengungkap Fakta Seputar Pemilu” karya Sdri. Fernita Darwis ini. Tak banyak politisi kita menulis buku dengan sebaik ini. Saya katakan baik karena penulisnya menelisik setiap data dan perkembangan yang ada dengan baik dan tekun. Dari setiap data dikompilasi, dikategorisasi, dirumuskan, dan akhirnya tertuang dalam setiap bab yang disajikan. Tentu banyak waktu yang seharusnya disediakan guna menyusun buku setebal ini. Saya sanksi bila tidak dibantu oleh orang lain. Benar saja, karena peran Sdr Efriza sangat membantu sehingga penulisan buku ini dilakukan. Sekali lagi, menulis buku tak sulit, namun pula tak segampang yang diduga orang. Apalagi menyangkut latar belakang para penulisnya, seorang politisi, yang tentu saja harus bisa membagi antara perannya sebagai politisi dengan penulisan buku ini. Dua hal yang tak mudah dipadukan, kecuali dengan mencuri-curi waktu yang ada.
Membaca buku ini akan mengingatkan kita pada hingar-bingar penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang lampau. Kebetulan saya punya kesempatan luas untuk melihat Pemilu 2009 dari jarak yang paling dekat. Kebetulan saja saya adalah Ketua Bawaslu, sehingga memiliki kesempatan berjibaku dengan data, angka, dan persoalan-persoalan Pemilu di kala itu. Untuk itu, apa yang saya rasakan, apa yang saya saksikan, dan apa yang saya dengar, ingin saya coba untuk mengomentari Pemilu 2009 yang lalu, sebagai respons untuk buku penting ini sekaligus.
III Pemilu tahun 2009 adalah Pemilu kali ketiga di era reformasi. Kalau boleh saya menarik garis yang lebih jauh, Pemilu pertama di era reformasi penuh dengan warna tarik-menarik antara kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat madani. Hampir semua kekuatan politik resisten dengan kekuatan dan simbol negara. Itulah mengapa pentingnya orang Parpol masuk dalam keanggota KPU, meski berakhir dengan memilukan: KPU tak mengakui dengan apa yang dikerjakannya sendiri. Akhirnya Presiden BJ Habibie yang memutuskan hasil-hasil Pemilu—setelah mendengarkan saran fungsionaris Panwaslu kala itu. Pada hemat saya, visi Pemilu tahun 1999 adalah menautkan antara kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat madani, dengan formula Pemilu sebagai medium saling membangun saling percaya. Maka Pemilu pada waktu itu banyak persoalan yang tersisa, meski dari aspek legitimasi dapat dikatakan memadai dan bagus karena banyak pujian dari kalangan internasional.
Sementara itu, visi Pemilu tahun 2004 adalah konsolidasi kekuatan untuk kian mengokohkan tatanan demokrasi. Revisi format penyelenggara Pemilu, dari yang semula melibatkan unsur partai politik dalam tubuh KPU, dilakukan dengan satu tekad untuk kian kokohnya konsolidasi demokrasi di era transisi politik pada waktu itu. Dengan sejumlah kelemahan yang dapat dimaklumi, maka secara umum penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 berjalan lebih baik, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, termasuk Pemilu tahun 1999. Kekuatan negara semakin angsur pulih untuk dipercaya kembali sebagai pengelola pemerintahan bagi rakyat pemilih. Terpilih para wakil rakyat dan wakil daerah, yang kelak duduk di lembaga perwakilan rakyat dan perwakilan daerah, serta anggota kedua lembaga menghimpun diri dalam (joint session) dalam lembaga permusyawaratan rakyat. Dengan demikian, izinkan saya menetapkan visi Pemilu 2004 sebagai pemantapan konsolidasi demokrasi di era transisi, dengan mengarah pada efektivitas kepemimpinan hasil Pemilu tahun 2004.
Bagaimana dengan visi Pemilu tahun 2009? Inilah persoalan dan pertanyaan besar kita. Dengan deskripsi visi di atas, seharusnya Pemilu tahun 2009 jauh lebih berkualitas. Diharapkan pula agar Pemilu 2009 sebelum, selama, dan sesudahnya, dapat menjadi sumbangan paling besar bagi percepatan terbangunnya “demokrasi yang terkonsolidasi”di Indonesia. Dalam pikiran saya waktu awal di Bawaslu, seharusnya capaian Pemilu tahun 2009 adalah mengokohkan kualitas wakil rakyat, Pemilu yang berintegritas, dan hasil-hasil Pemilu yang gampang diakui oleh setiap orang—lebih dari sekadar Pemilu tahun 2004. Oleh karena itu, demi mencapai semua itu, seharusnya tidak ada lagi persoalan-persoalan elementer yang terjadi. Maaf, penyelenggaraan Pemilu nasional terakhir tersebut arahnya “membalikkan ke arah jarum jam” yang sudah seharusnya tidak terjadi lagi. Tapi itulah !
Andai saya boleh memberi komentar terhadap Pemilu 2009, maka jawaban saya adalah suatu Pemilu yang “tak terbayangkan sebelumnya atau seharusnya”, mengingat apa yang terjadi sebelum, selama, dan sesudahnya, semata-mata bersangkut paut dengan profesionalitas, kompetensi, klerikal-administratif, serta hal-hal yang elementer belaka—diakui atau tidak. Apa yang pernah terjadi pada Pemilu 2009 sedikit terjadi dalam Pemilu tahun 1999 dan Pemilu 2004, namun tidak seheboh pada Pemilu tahun 2009 lampau. Menurut saya, daftar pemilih bukan tidak terjadi dengan tema yang sedikit beda, dalam Pemilu tahun 2004, namun cara KPU mengatasi persoalan itulah yang berbeda dalam Pemilu 2009. Selain jenis persoalannya hampir sama dengan Pemilu sebelumnya, namun yang membedakan antara Pemilu 2009 dengan kedua Pemilu pertama di era orde reformasi ini adalah standardisasi penanganan, cara penyelesaian, serta tindak lanjut dalam bagaimana mengatasi persoalan. Penetapan DPT hingga kali ketiga mungkin bagi fungsionaris KPU tak ada masalah, namun bagi penyelenggaraan Pemilu yang kompeten, itu persoalan besar. Tidak saja karena persoalan teknis belaka, namun berimbas pada pertanyaan perencanaan, koordinasi di bawah dan dengan lembaga lain, maupun kredibilitas sebuah lembaga bernama KPU.
IV Buku yang ditulis aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mendeskripsikan banyaknya persoalan yang terjadi dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009. Dimulai dari persoalan daftar pemilih, pencalonan, kampanye dan masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, dan pengambilan sumpah/pelantikan. Dengan contoh sebagaimana telah diuraikan panjang lebar dalam buku ini, lalu merujuk pada deskripsi kata pengantar terkait pola persoalan di setiap dan seluruh tahapan dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang lalu, mungkin pembaca akan mengamini formula persoalan dalam Pemilu itu. Bahwa Pemilu tahun 2009 adalah pertanyaan-pertanyaan profesionalitas, kompetensi, klerikal-administratif, serta hal-hal yang elementer belaka.
Dengan cara yang sama, saya ingin menyatakan bahwa buku ini sekadar mendeskripsikan apa yang terjadi, dan bukan mengapa itu semua terjadi—meski secara parsial di bagian tertentu ingin menjawab itu. Maklum, karena buku ini memang agaknya tidak diarahkan ke sana. Tapi percayalah, bahwa buku ini kaya akan data, deskripsi peristiwanya, dan itulah kelebihan buku ini. Bagi pengkaji sejarah Pemilu, buku ini juga bermanfaat, mengingat pembaca diingatkan akan sejarah Pemilu yang pernah kita gelar, sejak Pemilu pertama hingga Pemilu terkini. Namun bila harapan ingin mengetahui akar persoalan dalam Pemilu 2009, kira-kira tidak akan terjawab dalam buku ini. Sekali lagi, buku ini hanya mendeskripsikan apa yang telah terjadi. Dan itu besar sekali manfaatnya bagi pemahaman kita akan Pemilu tahun 2009.* Selamat menyimak buku ini.
Hanya kepada Allah saya berserah diri.
Jakarta, 31 Desember 2010
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia
Ketua,
Nur Hidayat Sardini