Pokok Pikiran Sambutan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum

Minggu, 20 November 2011 , 20:06:14 WIB
Pokok Pikiran Sambutan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum

Pokok Pikiran Sambutan
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum

Disampaikan pada Pembukaan Pembekalan Persiapan Persidangan PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala di Mahkamah Konstitusi (MK)
Hotel JW Marriot, Medan, 15 Mei 2010

■ Anggota pengawas Pemilu tidak hidup di ruang hampa. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat dengan ragam persoalannya. Kita berada di tengah-tengah dinamika masyarakat sosial dan politik yang demikian cepat. Interaksi, tarik-ulur, bahkan turbulensi politik dapat saja menyeret kita ke arah yang menciderai komitmen kita dalam menegakkan demokrasi. Seorang pengawas Pemilu bisa saja terseret turbulensi kekuasaan di tingkat lokal. Kita bisa ikut-ikutan bermain dalam komidi putar. Putar sana-putar sini, berjalan di tempat atas permintaan orang lain. Kita bisa pula menari di atas genderang orang lain. Di suatu kala, kita sendiri malah menjadi sumber persoalan atas penyelenggaraan Pemilu Kada. Atau pada tingkat yang lebih rendah, kita lebih ditentukan langkah-langkahnya oleh elite politik resmi di tingkat lokal. Lebih dipertimbangkan persoalan stabilitas dan kondusivitas, sehingga mengesampingkan kebersihan demokrasi. Padahal dengan mengedepankan penegakan hukum, stabilitas dan kondusivitas justru bisa dicapai.

■ Di luar kesadaran kita pun, tampaknya khalayak mengamati apa yang kita kerjakan. Mereka menilai kita dengan seksama. Ada penilaian negatif, ada penilaian positif, dan ada pula penilaian yang bersyarat (conditionally). Namun sayangnya, penilaian mereka selama ini tidak disertai dengan parameter yang jelas. Penilaian mereka hanya kualitatif, tanpa menyertakan indikator dan sub-indikator yang sahih. Tapi saya mengajak segenap anggota pengawas Pemilu untuk tidak menghiraukan terlalu mendalam atas sikap dan perilaku penilaian mereka. Anggap saja penilaian mereka itu sebagai “sumbang saran” dan “saran sumbang” yang berarti bagi peningkatan kinerja pengawasan Pemilu Kada kita dewasa ini. Untuk mengetahui bagaimana persoalan orang lain memandang kita, baiklah saya rangkumkan 3 (tiga) kelompok berikut:

Pertama, Kelompok Optimistik. Kelompok ini menyatakan, pengawas Pemilu itu adalah lembaga superbody. Selain bisa mengawasi tahapan Pemilu, pengawas Pemilu bisa menindak pelanggaran-pelanggaran Pemilu. Dengan kewenangannya, seorang pengawas Pemilu bisa melakukan apa saja terkait dengan pelanggaran Pemilu. Mereka bisa menghentikan kampanye, bisa mendiskualifikasi peserta Pemilu, bahkan bisa memmbatalkan hasil-hasil Pemilu. Pada pokoknya, lembaga pengawas Pemilu adalah lembaga yang punya kewenangan besar untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu.
○ Kelompok ini adalah sebagian besar dari masyarakat politik kita pada umumnya. Mereka awam dengan detil persoalan dari Pemilu kita. Mereka hanya melihat label lembaga pengawasan, namun tidak mengetahui detil tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas Pemilu.Besarnya harapan mereka, semestinya adalah besarnya dorongan bagi pengawas Pemilu untuk bekerja lebih efektif lagi.

Kedua, Kelompok Fatalistik. Ada selapisan penyelenggara Pemilu, pengamat politik, sebagian anggota parlemen, saat menempatkan pengawas Pemilu dengan serba sebelah mata. Apapun yang dilakukan pengawas Pemilu, tidak akan ada artinya bagi demokrasi. Alih-alih bagi demokrasi, hanya untuk menangani pelanggaran saja pengawas Pemilu tidak banyak berdaya. Bahkan lembaga pengawas Pemilu hanya memboroskan anggaran saja. Maka dalam penyelenggaraan Pemilu, lembaga pengawas Pemilu lebih baik dibubarkan saja, atau keberadaannya ditempel sebagai unit tertentu dalam tubuh KPU.

○ Sebagian anggota kelompok ini mengetahui detil penyelenggaraan Pemilu. Itulah kelebihan dari sebagian kelompok ini. Mereka mengetahi detil tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas Pemilu. Bahkan sebagian di antara kelompok ini pernah aktif dalam penyelenggaraan Pemilu pada waktu-waktu yang lampau. Persepsi mereka kepada lembaga pengawas Pemilu kini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di saat mereka melibatkan diri dalam Pemilu sebelumnya, sehingga bias persepsi menggelayuti pendapat-pendapat mereka. Bagi sebagian yang pernah merasa rugi dengan kebijakan pengawas Pemilu, masuk pula dalam kelompok ini. Saya punya pengalaman seorang yang dulu getol sekali mendukung pengawas Pemilu, tapi pasca PHPU di MK pada Pemilu 2009 yang lalu, dia benar-benar mengesampingkan atas apa yang pernah diungkapkannya dulu. Persepsi dia berubah seiring dengan kekecewaan dirinya terhadap produk pengawasan Pemilu.

○ Ada kelebihan kelompok ini. Lebih banyak mereka telah membaca undang-undang. Tapi kelemahan mereka, selain persepsi terhadap lembaga pengawas Pemilu dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan sangat kasuistis, pula mereka melihat persoalan Pemilu sebagai urusan strukturalitas dan aturan rigid mengenai badan-badan penyelenggaraan pemerintahan negara. Mereka tidak melihat dari sisi lain, mengenai kompleksitas sosiologi Pemilu di Indonesia. Mereka hanya bertumpu pada ketentuan yang ada. Ataupun bila mereka berasal dari lembaga penyelenggara Pemilu, itu karena kekecewaan mereka yang selama ini merasa direcoki oleh pengawas Pemilu.

Ketiga, Kelompok Aktualistik. Kelompok ini menyetujui pendapat terhadap kelompok pertama, sekaligus juga setuju dengan pendapat kelompok kedua namun dengan sejumlah catatan. Kelompok ketiga ini menyadari betul, lembaga pengawas Pemilu itu memiliki keterbatasan mandat dari undang-undang. Kelompok ini mengetahui dengan detil posisi tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas Pemilu dalam undang-undang. Namun kelompok ini tidak menyetujui bila dikatakan, pengawas Pemilu itu mandul, tidak bisa berbuat banyak, dan tidak bisa melakukan apa yang dilihat, didengar, dan dialami dalam konteks pelanggaran-pelanggaran yang ada.

○ Tesis utama dari kelompok ini menyatakan, betapapun pengawas Pemilu sangat terbatas dengan kewenangannya, namun karena diisi oleh mereka-mereka yang punya visi, misi, dan strategi program yang jelas, terukur, serta dengan komitmen dan integritas, kreativitas, inovatif, maka lembaga pengawas Pemilu akan bisa diartikan secara besar oleh khalayak. Pada akhirnya masyarakat akan menilai, ataupun membuktikan, bahwa lembaga yang kewenangannya terbatas pun, bila dikelola oleh mereka-mereka yang memenuhi kualifikasi baik dan terbaik, maka akan mampu menjadi daya dorong utama (transetter, trigger, driven) bagi demokratisasi.
○ Sebaliknya, betapapun kewenangan besar, bahkan sumbernya langsung dari UUD 1945, namun bila dikelola dengan tidak baik, malah jadi bumerang. Para pengelolanya hanya menambah masalah dari apa yang seharusnya dihasilkan secara lebih berkualitas. Maka bisa terbukti, hampir seluruh kewenangan yang ada pada dirinya, malah jadi beban bagi lembaga yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari lembaga itu, tidak menambah perbaikan bagi perikehidupan demokrasi. Ini karena pengelolanya tidak punya visi demokrasi.

■ Apa makna penggambaran ketiga kelompok di atas bagi peningkatan kinerja kita di waktu-waktu yang akan datang? Apa relevansi ilustrasi tersebut dalam rangka Pembekalan Persiapan Persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di Mahkamah Konstitusi (MK) ini?

Pertama, seorang pengawas Pemilu harus mengerti betul persoalan di lapangan, peta aktor politik formal, informal, dan nonformal, dan bersama pengaruh-pengaruhnya di lapangan. Dengan mengetahui peta aktor dan peta persoalan, maka modal sosial sudah ada di genggaman keberhasilan berikutnya. Karena bagaimana mungkin kita akan sukses menjalankan tugas pengawasan bila kita tidak mengetahui siapa-siapa yang ada di sekeliling kita. Dengan mengetahui peta persoalan, peta aktor, serta pengaruh-pengaruhnya, kita akan jadi tahu siapa rival, siapa kawan atau mitra, siapa yang hendaknya kita gandeng di waktu-waktu yang akan datang dalam menyukseskan tugas-tugas pengawasan. Kepada siapa kita mesti berkawan, berangkat dari pemahaman yang utuh atas kondisi di sekitar kita. Dengan kita mengetahui peta persoalan, kita bisa memajukan lembaga pengawasan kita ini.

Kedua, kepada kelompok optimistik, tunjukkan untuk lebih banyak hadir di tengah-tengah lapangan pengawasan sehingga mereka berpandangan atau penilaian efektivitasnya pengawasan yang kita lakukan. Hendaknya kita terus tunjukkan kinerja pengawasan yang lebih baik. Saat mereka melaporkan pelanggaran, secara cepat, tepat, dan sigap kita hadir di tengah-tengah keinginan mereka. Sembunyikan keterbatasan kewenangan kita di depan mereka. Tutupi kelemahan-kelemahan kita dengan cara kita memperbesar dan mengefektifkan kewenangan yang kita punya paling besar dan mutlak. Kepada mereka, fungsikan metoda pengawasan preemptive dan prefentif kita secara lebih baik. Terus hadirkan fungsi pengawasan kepada kelompok ini, seraya dengan menampilkan citra diri yang baik.

Andaikata masih dalam debat terkait siapa yang paling berwenang untuk menertibkan atribut di masa sebelum dan sesuah masa kampanye, daripada polemik di media massa, kalau memang pada akhirnya memungkinkan, silakan anggota Panwaslu terjun langsung ke lapangan untuk menertibkan atribut-atribut tersebut. Pengalaman saya di Jawa Tengah sebagai Ketua Panwaslu Provinsi, saya perintahkan segenap anggota Panwaslu pada waktu itu untuk menertibkannya, ternyata berhasil. Kelompok ini akan mendukung apa yang kita lakukan. Mengapa ? Karena mereka tidak detil dalam memahami pengaturan Pemilu. Apa boleh buat !

Ketiga, kepada kelompok fatalistik, selain terus meningkatkan kinerja pengawasan dan penanganan pelanggaran, kuatkan fungsi pengawasan penindakan (represivikasi), yang menjadi kewenangan mutlak kita. Pada sejumlah penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu Kada, seperti kampanye di luar jadwal waktu, penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, politik uang, dana kampanye, dan beberapa bagian lain, ada peluang yang besar untuk jadikan kredit poin penilaian positif dari mereka. Hasil penanganan pelanggaran segera publikasikan dengan sebaik-baiknya. Jelaskan duduk perkara yang sebenarnya, bahwa pengawas Pemilu telah menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya dengan baik. Apapun penilaian mereka, jawablah dengan kerja dan kinerja. Pada bagian ini, arahkan bola panas penanganan pelanggaran ke instansi penegak hukum karena penyelesaian tindak pidana Pemilu ada di poliris dan jaksa, serta kepada KPU untuk kasus-kasus yang mendapat sorotan masyarakat terutama terkait dengan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan kewenangan menyelesaikan sengketa dalam Pemilu Kada ini. Ajak serta kelompok ketiga (aktualistik) untuk bersama kawal kasus yang ditangani. Di samping itu, arahkan pada social punishment dalam beberapa kali perkara yang ditangani.

Keempat, kepada kelompok aktualistik, selain sama seperti memperlakukan kepada kelompok optimistik dan fatalistik, gandeng dengan kerjasama-kerjasama sehingga meningkatkan nilai tambah eksistensi lembaga. Ajak kepada mereka kampanye bersama, ajak sebagai tim pengawasan dan pemantauan berama. Kelompok ketiga ini kawan seiring dalam bagaimana memikirkan demokrasi melalui pengawasan dan penanganan pelanggaran Pemilu Kada. Jangan bosan-bosan untuk undang mereka mendiskusikan banyak hal. Jangan pernah mereka kecewa dan melepaskan diri dalam pergulatan pemikiran yang lebih substansial. Kelompok ketiga ini biasanya diisi oleh mereka-mereka yang telah lama berkecimpung dalam dunia pemantauan, aktivisme demokrasi, dan memiliki reputasi yang lebih baik. Secara terus-menerus mereka memahami persoalan di lapangan terhadap dunia kepemiluan.

Dalam kaitan tersebut, mengapa Bawaslu menggandeng lembaga seperti Komnas HAM dalam pengawasan daftar pemilih, KPK dalam kaitan dengan korupsi politik, dana kampanye, dan penyalahgunaan jabatan/kewenangan, PPATK dalam pengawasan aliran dana kampanye, ICW sebagai wakil masyarakat untuk korupsi politik, dana kampanye, dan abuse of power, adalah dalam rangka untuk mengembangkan dan penguatan fungsi pengawasan bersama kelompok-kelompok aktualistik dimaksud.

■ Apa konteks Pembekalan Persiapan Persidangan PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan apa yang sedang kita lakukan ini? Saya menilai, lembaga MK tidak pada posisi kelompok pertama, kelompok kedua, dan kelompok ketiga. Lembaga MK itu berada di atas ketiga-tiganya. Namun yang sungguh menggembirakan, dari para hakim konstitusi di MK lembaga pengawas Pemilu memperoleh tempatnya yang lebih baik. Ada dua putusan MK yang secara langsung dan tindak langsung menguntungkan lembaga pengawas Pemilu.

Pertama, terkait dengan Putusan No. 108-109/PHPU.B-VII/2009 tanggal 12 Agustus 2009, menyatakan antara lain “...(1) Secara kualitatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 terdapat banyak kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan ...; (2)... kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan publik, termasuk oleh peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang kompeten dan profesional serta kurang menjaga citra independensi dan netralistasnya…”; dan (3) khususnya dalam bagian pertimbangan hukum putusan dimaksud, menyatakan “…UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan empowering kepada Badan Pengawas Pemilu (Badan Pengawas Pemilihan) beserta jajarannya sehingga pengawasan Pemilu tidak efektif dan sekedar sebagai formalitas…”.

Kedua, terkait dengan Putusan MK No 11/PUU-VIII tanggal 18 Maret 2010. Permohonan uji materi atas norma pasal 93, pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 95 UU No 22 Tahun 2007, telah dikabulkan permohonan Bawaslu. Intinya adalah MK “Menyatakan bahwa ke-192 Panwaslu yang sudah dibentuk oleh Bawaslu adalah sah dan dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai dengan undang-undang”, memutuskan Kedudukan pengawas Pemilu semakin tegas dijabarkan berasal dari ketentuan yang diatur di dalam Pasal 22E UUD 1945.
○Panwaslu lahir dari sistem Pemilu berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, dalam rangka terwujudnya penyelenggaraan yang jujur. Sumber kewenangan Panwaslu berasal dari pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945, sama seperti KPU yang kewenangannya bersumber dari pasal 22E ayat (5). MK berpendapat fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

○ Apalagi secara intrinsik, dengan putusan MK itu, posisi lembaga pengawas Pemilu diarahkan untuk bersifat tetap, kemandirian pengawas Pemilu karena fungsi checks and balances, rekruitmen dan seleksi pengawas Pemil, dan format Dewan Kehormatan (DK).

■ Saya ingin mengajak kepada segenap anggota Panwaslu Kada ini untuk bersyukur atas kondisi-kondisi kita belakangan ini. Saya ingin memaknai, kedua Putusan MK tersebut sebagai anugerah, namun pula bisa sebagai musibah. Kalau kita bisa menampilkan citra diri kita dengan baik, maka anugerah dan musibah menjadi demikian tipis. Tapi perkiraan musibah kita tenggelamkan, angkatlah sebagai anuegarah yang terus-menerus.

Dapat dikatakan, putusan MK tersebut sebagai kemenangan atas konisistensi kita selama ini, kepemimpinan kita selama ini. Maka kemenangan tersebut harus diperpanjang terus-menerus dengan jalan mengerjakan pengawasan yang kita lakukan di lapangan dengan lebih baik, lebih efektif, dan kita songsong kemenangan-kemenagan selanjutnya. Kemenangan selanjutnya itu ada pada pengawasan kita yang efektif. Lebih konkret lagi, kemenangan pengawasan akan tampak pada saat kita tampil sebagai pihak terkait dalam persidangan PHPU di MK yang sebagiannya sudah berjalan. Jangan sampai ada kata musibah dengan menggantikan kata anugerah. Intinya, pada persidangan MK akan tampak: apakah anugerah menjadi musibah, apakah anugerah terus-menerus menjadi anugerah. Tergantung penampilan segenap anggota Panwaslu saat tampil di MK.

■ Bawaslu menggariskan, segenap anggota Panwaslu Kada yang bakal tampil di MK adalah duta pengawasan yang sejati. Pembekalan ini akan memberi pemahaman yang utuh apa itu “Isi Perut PHPU” akan dikaji secara mendalam pada forum kita hingga lusa. Dimulai dari pengarah umum dari anggota dan ketua Bawaslu. Berikutnya, keynote speaker dari mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dengan tajuk “Peran dan posisi pengawas Pemilu Kada dalam persidangan PHPU Pemilu Kada di MK”. Tak kalah pentingnya, “Prosedur Beracara di MK”, yang disampaikan oleh pendamping hukum Bawaslu DR. Bambang Widjojanto, SH, LLM, yang disambung dengan “Persiapan Pembuktian dalam Persidangan PHPU di MK dan Peranan Panwaslu dalam Prosedur Pembuktian”, disampaikan pendamping hukum kita yang lain, Iskandar Sonhadji.

Kalau masih dirasa kurang, dedah persoalan akan diikuti dengan diskusi kelompok, yang terbagi atas tiga kelompok, dipandu langsung oleh Ketua dan Anggota Bawaslu. Pada forum ini akan berbagi pengalaman Ketua Panwaslu Kab Kebumen, Kota Semarang, dan Kota Ternate, yang beberapa waktu yang lalu sudah tampil di Persidangan PHPU di MK, untuk menularkan pengalamannya. Mereka dapat dikatakan berhasil (best practises) atas apa yang mereka lakukan. Banyak-banyaklah bertanya dan diskusi dengan mereka bertiga. Selain itu, metode pembekalan ini, seperti kebiasaan dan garis Bawaslu, bersikap interaktif, akomodatif, dan tersistematisasi dengan baik.

Akhirnya, hanya kepada Allah saya berserah diri !

Udara Jakarta-Medan, 15 Mei 2010

Salam awas,

Nur Hidayat Sardini