PILKADA: Membentuk Panitia Pengawas, Haruskah Berseteru?

Minggu, 20 November 2011 , 19:19:03 WIB
PILKADA: Membentuk Panitia Pengawas, Haruskah Berseteru?
Ketidakharmonisan dua penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, mencapai puncaknya. Persoalan teknis pembentukan Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah atau Panwas Pilkada membuat kedua lembaga itu berseteru. Pada Pemilu 2009, kedua lembaga itu juga beberapa kali bersilang pendapat.

KPU bersikukuh pembentukan Panwas Pilkada harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam aturan dinyatakan bahwa pembentukan Panwas diawali dengan seleksi calon anggota Panwas yang dilaksanakan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sampai kemudian menghasilkan enam nama calon. Bawaslu harus turun langsung ke daerah untuk menguji enam calon menjadi tiga calon anggota Panwas.

Di sisi lain, Bawaslu berpendapat, untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan di daerah yang akan melaksanakan pilkada, dibutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Apabila ada 244 pilkada pada 2010, Bawaslu dengan lima anggotanya harus berkeliling ke 244 daerah untuk memilih tiga anggota Panwas Pilkada.

Sementara itu, seleksi dimulai akhir 2009 dan pilkada sudah dimulai pada awal 2010 sehingga waktu yang sempit bagi Bawaslu untuk turun ke daerah. Untuk itulah, Bawaslu mengusulkan Panwas Pemilu Presiden 2009 langsung dilantik menjadi Panwas Pilkada.
Sejak pertengahan 2009, Bawaslu mendekati KPU supaya mau membuat peraturan bersama yang kemudian diubah lagi menjadi surat edaran bersama untuk melegalkan Panwas Pilpres menjadi Panwas Pilkada. Pertemuan berulang kali selalu gagal menemukan titik temu. Berulang kali pula draf surat edaran diubah.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengungkapkan, pada awalnya, Bawaslu mengusulkan peraturan bersama untuk mengangkat Panwas Pemilu menjadi Panwas Pilkada, tetapi kemudian turun menjadi surat edaran.
”Tentu saja kami tidak mau membuat peraturan bersama, tetapi kami berusaha mencari jalan keluar. Kami juga meminta payung hukum melalui pengajuan fatwa MA,” katanya.

Fatwa Mahkamah Agung juga diajukan oleh Bawaslu. Kedua permintaan itu dibalas oleh MA menjadi satu surat fatwa yang salah satunya menyebutkan, apabila Bawaslu tidak bisa membentuk Panwas Pilkada, bisa menggunakan pasal peralihan di Pasal 236A UU Nomor 12 Tahun 2008 yang mengatur DPRD berwenang membentuk Panwas Pilkada apabila Bawaslu belum terbentuk. MA menyebutnya sebagai pintu darurat memberikan solusi untuk kepentingan Pilkada 2010.

Bukan akhir
Bawaslu tidak putus asa. Lembaga pengawas itu kemudian meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menjadi fasilitator dalam menyelesaikan masalah ini. Akhirnya, pada 9 Desember 2009, fasilitasi Kemdagri membuahkan hasil. Surat Edaran Bersama (SEB) KPU dan Bawaslu ditandatangani masing-masing ketua lembaga di hadapan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Namun, ternyata SEB bukan akhir dari perseteruan kedua lembaga penyelenggara pemilu.

Belum berumur dua bulan, KPU membatalkan SEB secara sepihak.

Pembatalan dilakukan setelah tidak ada titik temu antara KPU dan Bawaslu terkait masalah pelantikan Panwas Pilkada tiga hari sesudah SEB ditandatangani.

KPU menilai, pelantikan Panwas Pilkada tidak sesuai dengan SEB. Dalam poin 2 SEB disebutkan, dalam KPU provinsi/kabupaten/kota yang pada saat berlakunya SEB telah melakukan perekrutan calon anggota Panwas Pilkada dan telah mengumumkan hasilnya, Bawaslu melakukan uji kelayakan dan kepatutan serta melantik calon Panwas Pilkada sesuai dengan UU No 22/2007. ”Lalu, mengapa Bawaslu melantik Panwas Pilkada tiga hari setelah SEB ditandatangani? Apakah cukup dalam waktu tiga hari mendata KPU mana saja yang sudah melakukan seleksi. Pelantikan itu juga tanpa koordinasi dengan KPU,” ujar Hafiz.

Padahal, menurut Hafiz, banyak KPU provinsi/kabupaten/kota yang sudah melakukan seleksi calon anggota Panwas. KPU mendata ada 84 Panwas Pilkada yang bermasalah, di antaranya 46 Panwas yang dilantik Bawaslu adalah Panwas Pilpres, padahal masa jabatan kepala daerah setelah Agustus 2010. Selebihnya bermasalah karena KPU di daerah sudah melakukan seleksi dan menghasilkan enam nama calon Panwas, tetapi Bawaslu tetap melantik Panwas Pilpres.

Bawaslu membantah

Di sisi lain, Bawaslu membantah data yang diberikan KPU. Hingga bulan ini, Bawaslu telah melantik tujuh Panwas Pilkada provinsi dan 190 Panwas Pilkada kabupaten/kota. Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengungkapkan, sebelumnya KPU mengajak Bawaslu bertemu untuk mencari solusi permasalahan.

”Kami menunggu di kantor sampai malam, tetapi KPU tidak segera memberikan kabar. Pagi harinya, KPU malah mengirimkan surat pembatalan SEB. Kami meminta supaya KPU tidak lagi mempersoalkan eksistensi Panwas Pilkada yang sudah dibentuk. Di daerah, banyak Panwas yang sudah bekerja dan mendapatkan dana,” ujarnya.

Alasan mengenai tidak diprosesnya enam nama calon Panwas, Nur Hidayat Sardini mengatakan, hasil seleksi KPU di daerah tidak memenuhi syarat. Bahkan, Nur Hidayat Sardini menyebutkan, di antara nama-nama yang diajukan adalah anggota partai politik, mantan caleg Pemilu 2009, atau kerabat dari anggota KPU.

Perjalanan proses pilkada di daerah masih panjang. Masalah Panwas Pilkada merupakan batu sandungan pertama yang belum juga terselesaikan. Dikhawatirkan, masalah ini akan berdampak pada tahapan pilkada selanjutnya. Apabila tidak segera diselesaikan, ada dua Panwas Pilkada yang akan bekerja mengawasi tahapan pilkada. Masalah akan semakin runyam.

Masalah Panwas Pilkada yang berlarut-larut memunculkan wacana penundaan pilkada. Usulan datang dari anggota Komisi II DPR dan lembaga swadaya masyarakat. Namun, usulan penundaan pilkada belum tentu menyelesaikan semua masalah apabila kedua lembaga penyelenggara pemilu tetap bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kedua lembaga mempertahankan pendapatnya masing-masing tanpa mau mengalah? Mengapa Bawaslu mempertahankan anggota Panwas yang lama? Mengapa pula KPU mempertahankan enam nama calon anggota Panwas yang diduga mengandung KKN?

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, mengatakan, tidak mudah mencari Panwas yang berkualitas. Untuk itu, ujar dia, Bawaslu menginginkan anggota Panwas lama yang sudah dilatih oleh Bawaslu bisa mengawasi pilkada. Di sisi lain, KPU mempertahankan hasil seleksinya. Anggota KPU, I Gusti Putu Artha, mengatakan, hal itu karena KPU sudah mengeluarkan anggaran untuk seleksi. Pokja Seleksi Calon Anggota Panwas di KPU daerah juga telah bekerja sehingga harus ada pertanggungjawaban anggaran.

Apakah hanya itu alasannya? Seharusnya, keduanya memikirkan tujuan yang lebih besar lagi, yaitu suksesnya pelaksanaan proses demokrasi di daerah. Kalau memang Panwas Pilkada sudah terbentuk dan telah menjalankan tugasnya, proses pilkada harus tetap dilanjutkan tanpa harus meributkan pembentukannya lagi.

-- Kompas (Susie Berindra)