Wawancara Dengan Koran Harian Dua Bahasa The First Time Kamis, 5 Januari 2012
Rabu, 11 Januari 2012 , 13:53:56 WIB
Mantan Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini
KPU Baru Harus Mampu Jawab Persoalan
Berbagai persoalan tidak hanya terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi muncul juga apa yang disebut Mafia Pemilu.
Banyak kalangan menilai pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 cukup mengecewakan. Bahkan catatan buruknya pelaksanaan pemilu ini dikemukakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Panitia Hak Angket DPR, Mahkamah Konstitusi, hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Mereka menilai, berbagai persoalan mengemuka tidak hanya terkait daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi juga muncul apa yang disebut Mafia Pemilu. Sehingga alih-alih menghasilkan demokrasi yang lebih baik dari Pemilu 2004, Pemilu 2009 justru mengakibatkan capaian konsolidasi demokrasi semakin jauh atau sekurang-kurangnya tertunda.
Menurut mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2008, 2009, hingga 2010, Nur Hidayat Sardini, ada beberapa penyebab mengapa hal ini terjadi. Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan The 1st Times, Ken Norton Girsang di Jakarta, pekan lalu:
Kira-kira seperti apa Anda menilai suasana Pemilu 2014 mendatang? Dari aspek penyelenggara, saya kira lembaga ini punya beban atas persoalan pada Pemilu 2009 lalu. Dia (KPU) harus memperbaiki itu. Harus menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat. Menariknya, kan Pemilu 2014 mendatang, itu tidak diikuti oleh Presiden sekarang. Ini tentu sangat menarik dalam hingar bingar perdebatan dinamika politik. Untuk itu menurut saya, KPU ke depan tidak boleh dalam turbulensi. Nah, apakah semua anggota KPU mampu memahami ini.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Pemilu 2009? Pemilu 2004, menurut saya merupakan Pemilu di mana pasal 22e UUD 45 dapat dilaksanakan. Di sini terlihat lembaga penyelenggara pemilu dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat menuju pada idealitas format kelembagaan yang berstandar internasional. Jadi sangka saya, Pemilu 2009 tentunya akan meningkatkan kualitas dari produk pemilu.
Tapi agak kecewa juga. Karena pemilu ini direcoki dan diliputi oleh hal-hal yang bersifat teknikal atau administratif. Saya mau kasih contoh daftar pemilih. Pada 2004 sudah semakin minim persoalan, tapi justru semakin mengemuka dan bahkan menjadi isu yang mengharubiru dan mewarnai penyelenggaraan pemilu hampir seluruhnya yang tidak berkesudahan. Demikian juga hal ini terlihat dari keputusan MK. Jadi kira-kira memang hasil dari penyelenggaraan Pemilu 2009, kurang menyedapkan. Ini yang sangat disayangkan karena akhirnya capaian konsolidasi demokrasi makin jauh.
Mengapa bisa sampai terjadi demikian? Apa penyebabnya? Ada dua hal yaitu terkait eksternal dan internal. Semisal untuk internal saya melihat ada pertanyaan masalah kompetensi. Kata banyak sumber, permasalahan ini dimulai sejak tim seleksi anggota KPU yang loose management. Bagaimana mungkin ahli pemilu tidak masuk dalam babak pertama. Jadi ini persoalan. Selain itu juga ada eksternal semisal terkait ketentuan. Sebagai contoh dalam kaitan daftar pemilih. Begitu sudah diputuskan oleh KPU, tiba-tiba ada putusan MK. Jadi tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada KPU memang. Dan terkait masalah eksternal ini kemudian, lahir Undang Undang Nomor 15 tahun 2011. Di sini baru formatnya berbeda. Meskipun tidak setotal-totalnya, tapi beberapa bagian memang diperbaiki dengan catatan.
Jadi apa solusinya? Saya kira ada beberapa hal. Untuk penataan kelembagaan, saya kira harus ada perbaikan yang mengacu pada peraturan. Anggota KPU perlu pemahaman bersama bagaimana memaknai peraturan. Selain itu selama ini juga menurut saya, ada persoalan terkait fungsi-fungsi koordinasi. Nah hal ini juga menurut saya perlu ditata dengan baik. Saya mau kasih contoh ketentuan UU nomor 15, itu harus betul-betul dimaknai dengan baik. Makanya menurut saya anggota KPU harus kuat. Semisal dari segi kapasitas, dia (anggota KPU) harus menguasai betul urusan pemilu. Pemilu ini kan semua teknis banget, dan harus diterjemahkan dalam gagasan konsep besar demokrasi. Artinya anggota KPU harus memahami demokrasi dalam tindakan yang paling konkrit. Artinya action-nya tidak bisa keluar dari gagasan demokrasi. Artinya anggota KPU harus memahami dalam tindakan yang paling kongkrit. Artinya action-nya tidak bisa keluar dari gagasan demokrasi.
Solusi apa lagi yang dibutuhkan? Menurut saya, juga diperlukan persamaan persepsi antara ketua dan anggota KPU, juga dengan Sekretariat Jendral dengan KPU di daerah. Dan juga harus dibangun komunikasi yang sinergis dengan semua ppemangku kepentingan di antaranya, Bawaslu, DKPP, peserta pemilu.
Sebenarnya secara undang-undang sejauh mana kewenangan KPU? Posisi KPU saat ini kan sangat strategis. UUD45 itu kan jelas menggariskan pokok-pokok bagaimana format penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Saya pelajari betul format tentang penyelenggaraan pemilu. Nah apa yang digariskan dalam UUD45, ini diterjemahkan dalam UU penyelenggara pemilu dan penyelenggaraan pemilu. Disitu digariskan KPU merupakan lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Khusus KPU, ini adalah lembaga yang intradepartemen. Dia sebenarnya mengatasi beberapa departemen. Artinya leader sector dalam kepemiluan.Dia adalah titik sentral, dia menjadi trendsetter, menjadi driving force dari pemilu. Itu ruang penyelenggara pemilu. Sementara untuk ruang pengawas pemilu, ada disebelah sampingnya. Dia mengawasi pelaksanaan pemilu yang dikelola oleh KPU. Sementara pemerintah merupakan pelaksana dari fungsi fasilitasi dan administrasi. Ini yang dimuat dalam UU nomor 15 tahun 2011.
Bagaimana Anda melihat sinergitas lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pemilu selama ini? Ya menurut saya harus bisa lebih ditingkatkan lagi. Artinya baik KPU, Bawaslu, pemerintah dan ada satu lagi DKPP, harus bisa bersinergi dengan baik. Karena KPU kan tidak bisa meninggalkan pemerintah, karena ada keterkaitan secara langsung dan tidak langsung. Sebagai contoh untuk penganggaran dan penyediaan staf sekretariat jendral, itu berasal dari PNS. Sementara untuk Bawaslu dan sekarang ada lagi namanya DKPP, mereka mewakili kepentingan pengawasan pemilu. Disebutkan, Bawaslu mengawasi hanya terkait tahapannya. Sementara DKPP, mengawasi aparat KPU maupun Bawaslu.
Selain hal-hal tersebut di atas, apalagi yang dibutuhkan seorang anggota KPU? Karena sebagai leader sector, maka KPU harus kuat. Harus mampu mengatasi semua kekuatan yang ada dalam kaitan penyelenggaraan pemilu. Dia harus bisa berperan dengan baik menjalankan fungsi koordinasi, penyelenggaran, supervisi, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi. Nah, orang yang diproyeksikan menjadi pengelola, tentunya harus memenuhi sejumlah persyaratan. Jadi harus memenuhi sejumlah persyaratan. Jadi harus memenuhi syarat seperti kesehatan, kapasitas dan integritas. Artinya memenuhi kompetensi di bidangnya. Persyaratan lainnya karena KPU merupakan leader sector maka harus punya kemampuan leadership yang baik. Minimal harus mampu menjadi manajer yang baik. Manajemen itu kan ada perencanaan, pelaksanaan, pergerakan, dan kontrol yang baik.