Sayang Anak-Sayang Anak !
Selasa, 24 Januari 2012 , 12:58:30 WIB
Pada siang hari Imlek (23/1) ini saya berkesempatan untuk mengekspresikan kesayangan saya kepada anak. Ya, saya mengantar anak ke pangkas rambut. Bagi saya, ini jelas momen mahal, mengingat tak setiap saat saya bisa bersama mereka. Jarak memisahkan saya dengan keluarga. Saya berada di Jakarta, istri dan anak-anak berada di Semarang. Paling seminggu atau dua minggu sekali kami baru bisa berkumpul.
Rambut si Sulung, Fairly (7 tahun), tampak sudah lebat. Tak baik anak sekelas dua SD rambutnya gondrong, meski sebenarnya rambutnya bagus, hitam pekat, dan lurus. Rambut anak yang tak rapi, punya kesan tak baik. Aturan SD Al-Azhar, tempat si sulung menimba ilmu, juga melarang rambut para siswa gondrong dan awut-awutan.
Jarak rumah dengan tempat pangkas rambut tak seberapa jauh. Ia dapat dijangkau cukup dengan bersepeda atau bersepeda motor. Juga tak seberapa mahal ongkos pangkasnya. Iya, ongkos "Pangkas Rambut Madura", langganan kami serta tetangga kanan dan kiri kami sangat terjangkau isi kantong kami. Kalaupun selisih dengan ongkos pangkas di salon, misalnya, yang juga menjamur di sekitar kami tinggal, paling tak seberapa besar. Tarif cukur di Pangkas Madura Rp5 ribuan, sementara di salon Rp12 ribuan.
Mengapa kami lebih senang mengarahkan anak untuk potong rambut di Pangkas Rambut Madura? Ini karena kesan lokalnya lebih kuat daripada di salon tadi. Sejak dulu saya lebih memilih produk lokal daripada produk impor. Lebih dari itu, kalau ke salon kesannya mengarahkan anak ke perilaku konsumtivisme. Untuk yang terakhir ini ibunya anak-anak juga pesan, bahwa pilihlah pangkas rambut Madura saja, sekalian ngebantu orang republik. He..he..
Walaupun demikian, tak berarti semua salon yang menjamur di sekitar kami itu berbasis impor. Toh banyak pula salon yang dikelola orang lokal, atau paling kurang sistem franchise. Pada sejumlah salon memang saya lihat dikelola secara "manca negara" di papan depan gerai tertulis "Kuala Lumpur-Singapore, Tokyo". Wah itu kan kesannya tak lokal lagi.
Sesampai di tempat Pangkas Rambut Madura, kami mesti antre. Anak saya dapat giliran kedua usainya orang yang sedang dipangkas rambut yang sekarang ini. Lumayan banyak pelanggan datang, mungkin karena hari libur. Iseng-iseng saya tanya ke Cak Sunarto, si pemilik pangkas rambut ini, berapa orang setiap hari datang ke sini? Dijawabnya antara sepuluh hingga dua puluh kepala bisa dipegangnya. Kebanyakan mahasiswa, para pelanggannya itu. "Ya lumayan untuk bayar SPP anak-anak, makan sehari-hari, sedikit menabung, dan sempatkan kirim ke keluarga di Pamekasan", katanya, mantap.
Tangan terampil Cak Sun, sapaan akrab Sunarto, terlihat benar. Mula-mula dielus-elusnya kepala si anak. Berikutnya ditanya model rambut yang bagaimana yang dimaui si anak, ajunya dia kepada anak, sembari jari telunjuk diarahkan ke arah gambar di atas cermin besar. "Ada model poni, njengrak, jambul kuda, jengki, atau yang mana?", katanya dengan logat Madura campur Jawa.
Begitu dijawab sang empunya kepala, tangan lincahnya mulai bekerja. Cekatan benar tangannya. Tak terasa hampir separoh rambut gondrong anakku terpangkas. Padahal tadi saya lihat masih nyukur di belakang kepala, lalu ke samping kiri, terus kembali di sisi belakang lagi, hingga akhirnya di sisi kanan. Tiba-tiba saja separoh lebih kepala anak saya sudah tampak polos.
Namun saya agak tanda tanya, kenapa Cak Sun tak langsung menyukur sisa rambut di bagian depan dari anak saya? Kok sepertinya rambut di bagian depan dikesampingkinkan begitu saja. Itu disengaja atau kebetulan? Saya lihat rambut kepala orang juga diperlakukan sama. Pertanyaan saya tersebut tak saya ajukan langsung ke Cak Sun langsung. Tak enak dan takut ngeganggu konsentrasi dia. Yang dipegang dia kan benda-benda tajam. Berbahaya bagi kepala anak saya.
Tapi seorang bapak di sebelah saya, sepertinya menangkap apa yang sedang saya pikirkan. Dia sendiri, seperti saya, sedang menunggu anaknya dipangkas rambutnya. Agak mengejutkan tatkala dia bilang, bahwa seorang pemangkas rambut dengan sengaja akan mengakhirkan rambut di bagian depannya. Saya agak kaget dengan penjelasannya. Tak menyangka saja.
Bagi tukang cukur, katanya lagi, itu punya dua maksud. Pertama, untuk memastikan sudut pandang dari depan sehingga postur kepala pasca dipangkas agar terlihat proporsional dan simetris. Jadi bagian kepala depan sebagai penyeimbang sudut garis di kiri, kanan, dan kedua samping. Soal itu, bagi tukang bangunan, semacam water pass-lah.
Wah, syarat jadi tukang cukur sepertinya berat ya, harus menguasai ilmu fisika. Ada rumusnya. Dan rupanya benar saja. Menjelang akhir pemangkasan rambut, dilihatnya seluruh sisi, tengok lagi dan cari kesempatan yang pas untuk sekali lagi merapikan bagian-bagian yang belum beres. Dicarinya titik temu. Setelah beres, barulah rambut tersisa di bagian depan tadi dihabisi.
Yang kedua untuk apa, Pak? Tanya saya kepada Sugiri, teman ngobrol di Pangkas Rambut Madura ini, bapak di sebelah, yang juga antarkan anaknya untuk potong rambut, yang awal tadi menyatakan dua maksud terkait dengan penyisaan sejumbul rambut yang disisakan oleh setiap tukang pangkas rambut tadi. Saya dibuat penasaran saja oleh Sugiri, yang SKSD (Sok Kenal dan Sok Dekat) ini.
Syahdan dia bercerita. "Dulu, menurut sohibul hikayat, orang menggelar pangkas rambut biasanya keliling kampung dengan jalan kaki atau bersepeda, atau di pinggir jalanan yang tak resmi", ungkapnya, panjang lebar. Tak resmi artinya tukang cukur termasuk dalam kualifikasi "bunga trotoar", meminjam pengertian Iwan Fals dalam lagu Bunga Trotoar-nya.
"Lalu?", tanyaku lagi.
"Pernah denger cerita tukang pangkas rambut (liar, bunga trotoar) dikejar-kejar Tibum di Jakarta? Pernah nonton film Benjamin Sueb, sewaktu jadi tukang cukur di pinggir jalan digerebek Tibum lalu orang yang dicukurnya botak separoh karena cukuran di kepalanya belum tuntas sementara Tibum sudah di depan hidungnya sehingga tukang cukur kabur duluan, untuk menyelamatkan diri? Itu asal-muasalnya. Dan cerita itu menyebar dan menjadi semacam pameo di kalangan tukang pangkas rambut seantero Indonesia", imbuhnya lagi.
Saya makin tak mengerti. Rasanya saya belum pernah nonton film Benyamin Sueb yang disebut Pak Sugiri tadi. "Wah, makin ra mudeng aku. Tapi apa hubungannya dengan sisa rambut yang sengaja dikuncung awut-awutan seperti itu?", tanyaku penasaran.
"Itulah masalah yang ingin saya jelaskan", lanjut tangkas Pak Sugiri. "Dengan disisakan rambut bagian depan, maka ketika sang tukang cukur lagi kabur dikejar Tibum, maka dia akan selamat. Lalu sisa cukuran yang belum tuntas tadi akan menjadi sandra bagi yang dicukur untuk mencari si tukang cukur untuk menuntaskannya. Jadi yang dicukur tak akan lari ke mana. Dia akan mencari si tukang cukur", katanya lagi. Saya pikir-pikir Pak Giri makin ketahuan ngibulnya nih.
Dia nerocos lagi. "Kalau yang dicukur belum bayar ongkos, ya si tukang cukur takkan rugi. Jerih payah jasanya tak sia-sia", makin kelihatan ngibulnya. "Coba kalau tak disisakan, lalu digerebek, ada Tibum lalu kabur, yah...rugi donk", begitu, jelasnya.
Saya diam saja. Terpaku, setengah percaya setengah tidak. Cepat-cepat saja rogoh kocek dan keluarkan Rp5 ribuan begitu anak saya turun dari kursi cukur. Kabur. Pulang. *
Rambut si Sulung, Fairly (7 tahun), tampak sudah lebat. Tak baik anak sekelas dua SD rambutnya gondrong, meski sebenarnya rambutnya bagus, hitam pekat, dan lurus. Rambut anak yang tak rapi, punya kesan tak baik. Aturan SD Al-Azhar, tempat si sulung menimba ilmu, juga melarang rambut para siswa gondrong dan awut-awutan.
Jarak rumah dengan tempat pangkas rambut tak seberapa jauh. Ia dapat dijangkau cukup dengan bersepeda atau bersepeda motor. Juga tak seberapa mahal ongkos pangkasnya. Iya, ongkos "Pangkas Rambut Madura", langganan kami serta tetangga kanan dan kiri kami sangat terjangkau isi kantong kami. Kalaupun selisih dengan ongkos pangkas di salon, misalnya, yang juga menjamur di sekitar kami tinggal, paling tak seberapa besar. Tarif cukur di Pangkas Madura Rp5 ribuan, sementara di salon Rp12 ribuan.
Mengapa kami lebih senang mengarahkan anak untuk potong rambut di Pangkas Rambut Madura? Ini karena kesan lokalnya lebih kuat daripada di salon tadi. Sejak dulu saya lebih memilih produk lokal daripada produk impor. Lebih dari itu, kalau ke salon kesannya mengarahkan anak ke perilaku konsumtivisme. Untuk yang terakhir ini ibunya anak-anak juga pesan, bahwa pilihlah pangkas rambut Madura saja, sekalian ngebantu orang republik. He..he..
Walaupun demikian, tak berarti semua salon yang menjamur di sekitar kami itu berbasis impor. Toh banyak pula salon yang dikelola orang lokal, atau paling kurang sistem franchise. Pada sejumlah salon memang saya lihat dikelola secara "manca negara" di papan depan gerai tertulis "Kuala Lumpur-Singapore, Tokyo". Wah itu kan kesannya tak lokal lagi.
Sesampai di tempat Pangkas Rambut Madura, kami mesti antre. Anak saya dapat giliran kedua usainya orang yang sedang dipangkas rambut yang sekarang ini. Lumayan banyak pelanggan datang, mungkin karena hari libur. Iseng-iseng saya tanya ke Cak Sunarto, si pemilik pangkas rambut ini, berapa orang setiap hari datang ke sini? Dijawabnya antara sepuluh hingga dua puluh kepala bisa dipegangnya. Kebanyakan mahasiswa, para pelanggannya itu. "Ya lumayan untuk bayar SPP anak-anak, makan sehari-hari, sedikit menabung, dan sempatkan kirim ke keluarga di Pamekasan", katanya, mantap.
Tangan terampil Cak Sun, sapaan akrab Sunarto, terlihat benar. Mula-mula dielus-elusnya kepala si anak. Berikutnya ditanya model rambut yang bagaimana yang dimaui si anak, ajunya dia kepada anak, sembari jari telunjuk diarahkan ke arah gambar di atas cermin besar. "Ada model poni, njengrak, jambul kuda, jengki, atau yang mana?", katanya dengan logat Madura campur Jawa.
Begitu dijawab sang empunya kepala, tangan lincahnya mulai bekerja. Cekatan benar tangannya. Tak terasa hampir separoh rambut gondrong anakku terpangkas. Padahal tadi saya lihat masih nyukur di belakang kepala, lalu ke samping kiri, terus kembali di sisi belakang lagi, hingga akhirnya di sisi kanan. Tiba-tiba saja separoh lebih kepala anak saya sudah tampak polos.
Namun saya agak tanda tanya, kenapa Cak Sun tak langsung menyukur sisa rambut di bagian depan dari anak saya? Kok sepertinya rambut di bagian depan dikesampingkinkan begitu saja. Itu disengaja atau kebetulan? Saya lihat rambut kepala orang juga diperlakukan sama. Pertanyaan saya tersebut tak saya ajukan langsung ke Cak Sun langsung. Tak enak dan takut ngeganggu konsentrasi dia. Yang dipegang dia kan benda-benda tajam. Berbahaya bagi kepala anak saya.
Tapi seorang bapak di sebelah saya, sepertinya menangkap apa yang sedang saya pikirkan. Dia sendiri, seperti saya, sedang menunggu anaknya dipangkas rambutnya. Agak mengejutkan tatkala dia bilang, bahwa seorang pemangkas rambut dengan sengaja akan mengakhirkan rambut di bagian depannya. Saya agak kaget dengan penjelasannya. Tak menyangka saja.
Bagi tukang cukur, katanya lagi, itu punya dua maksud. Pertama, untuk memastikan sudut pandang dari depan sehingga postur kepala pasca dipangkas agar terlihat proporsional dan simetris. Jadi bagian kepala depan sebagai penyeimbang sudut garis di kiri, kanan, dan kedua samping. Soal itu, bagi tukang bangunan, semacam water pass-lah.
Wah, syarat jadi tukang cukur sepertinya berat ya, harus menguasai ilmu fisika. Ada rumusnya. Dan rupanya benar saja. Menjelang akhir pemangkasan rambut, dilihatnya seluruh sisi, tengok lagi dan cari kesempatan yang pas untuk sekali lagi merapikan bagian-bagian yang belum beres. Dicarinya titik temu. Setelah beres, barulah rambut tersisa di bagian depan tadi dihabisi.
Yang kedua untuk apa, Pak? Tanya saya kepada Sugiri, teman ngobrol di Pangkas Rambut Madura ini, bapak di sebelah, yang juga antarkan anaknya untuk potong rambut, yang awal tadi menyatakan dua maksud terkait dengan penyisaan sejumbul rambut yang disisakan oleh setiap tukang pangkas rambut tadi. Saya dibuat penasaran saja oleh Sugiri, yang SKSD (Sok Kenal dan Sok Dekat) ini.
Syahdan dia bercerita. "Dulu, menurut sohibul hikayat, orang menggelar pangkas rambut biasanya keliling kampung dengan jalan kaki atau bersepeda, atau di pinggir jalanan yang tak resmi", ungkapnya, panjang lebar. Tak resmi artinya tukang cukur termasuk dalam kualifikasi "bunga trotoar", meminjam pengertian Iwan Fals dalam lagu Bunga Trotoar-nya.
"Lalu?", tanyaku lagi.
"Pernah denger cerita tukang pangkas rambut (liar, bunga trotoar) dikejar-kejar Tibum di Jakarta? Pernah nonton film Benjamin Sueb, sewaktu jadi tukang cukur di pinggir jalan digerebek Tibum lalu orang yang dicukurnya botak separoh karena cukuran di kepalanya belum tuntas sementara Tibum sudah di depan hidungnya sehingga tukang cukur kabur duluan, untuk menyelamatkan diri? Itu asal-muasalnya. Dan cerita itu menyebar dan menjadi semacam pameo di kalangan tukang pangkas rambut seantero Indonesia", imbuhnya lagi.
Saya makin tak mengerti. Rasanya saya belum pernah nonton film Benyamin Sueb yang disebut Pak Sugiri tadi. "Wah, makin ra mudeng aku. Tapi apa hubungannya dengan sisa rambut yang sengaja dikuncung awut-awutan seperti itu?", tanyaku penasaran.
"Itulah masalah yang ingin saya jelaskan", lanjut tangkas Pak Sugiri. "Dengan disisakan rambut bagian depan, maka ketika sang tukang cukur lagi kabur dikejar Tibum, maka dia akan selamat. Lalu sisa cukuran yang belum tuntas tadi akan menjadi sandra bagi yang dicukur untuk mencari si tukang cukur untuk menuntaskannya. Jadi yang dicukur tak akan lari ke mana. Dia akan mencari si tukang cukur", katanya lagi. Saya pikir-pikir Pak Giri makin ketahuan ngibulnya nih.
Dia nerocos lagi. "Kalau yang dicukur belum bayar ongkos, ya si tukang cukur takkan rugi. Jerih payah jasanya tak sia-sia", makin kelihatan ngibulnya. "Coba kalau tak disisakan, lalu digerebek, ada Tibum lalu kabur, yah...rugi donk", begitu, jelasnya.
Saya diam saja. Terpaku, setengah percaya setengah tidak. Cepat-cepat saja rogoh kocek dan keluarkan Rp5 ribuan begitu anak saya turun dari kursi cukur. Kabur. Pulang. *
Tembalang Semarang, 23 Januari 2012.