Bermain Pingpong

Minggu, 29 Januari 2012 , 15:47:47 WIB
Bermain Pingpong

Olahraga itu sedemikian penting. Bahkan pernah menjadi bagian dari hidup saya. Semasa kanak-kanak hingga SMA di kampung, jenis olahraga saya adalah sepakbola, tenis meja di balai desa, atau bulu tangkis. Semasa kuliah, kebiasaan tersebut masih saya lakukan. Belakangan usai saya bekerja sebagai pengajar, saya masih hobi tenis meja dan tenis lapangan. Saya memiliki prinsip, dalam kondisi sesibuk apapun, olahraga jangan pernah ditinggalkan. Pokoknya setiap hari pada tubuh dipaksa untuk mengeluarkan peluh.


Bila saya pulang ke Semarang, saya sempatkan bermain pingpong. Tapi beberapa minggu ini saya tak bermain lagi. Bukan soal tak ada lawan tandingnya, tapi karena cuaca kota Semarang atas belakangan ini dilanda angin kencang dan hujan. Meja lapangan yang saya beli sejak kami pindah di rumah Tembalang ini dirasa eman-eman. Soalnya bisa rusak karena kehujanan. Sayang sekali memang. Tapi apa boleh buat.


Praktis saat bekerja di Bawaslu, kesempatan berolahraga makin sempit. Pada mulanya saya masih bermain tenis di lapangan Hilton Jakarta, di setiap akhir pekan. Saya diajak bersama Prof Jimly, tentu dengan sejumlah kolega lain. Namun olahraga permainan tersebut akhirnya saya tinggalkan, karena tak lagi memiliki waktu yang cukup. Apalagi justru di akhir pekan kegiatan di Bawaslu menumpuk, bahkan mengharuskan saya untuk ke luar kota. Walau demikian, beberapa kesempatan saya masih bermain tenis di penginapan begitu kesempatan memungkinkan.


Demikian halnya tenis meja. Saya paling hobi dengan olahraga jenis ini. Selain ringan, tak perlu waktu khusus karena sewaktu-waktu bisa dilakukan, pula karena menyenangkan. Beda dengan tenis yang memerlukan waktu khusus, tenis ini bisa sewaktu-waktu dilakukan. Di sela-sela kesibukan mendisposisi surat kala itu, begitu badan lagi suntuk, saya bisa langsung berganti baju, cara sparring partner, biasanya di sore hari, langsuh deh cari keringat di lantai dasar (lobi) Gedung Bawaslu.


Siapa mitra tandingnya? Wah bisa dicari siapa saja, bisa staf Bawaslu, aktivis LSM, ataupula wartawan, yang kerap nongkrong di kantor Bawaslu. Saya tak pernah pilih-pilih lawan tanding mereka. Tapi yang pasti saja, jajaran staf yang sering jadi relawan. Saya main pingpong bukan untuk mencari peringkat prestasi, tapi semata-mata demi mencari keringat badan.


Suatu ketika saya main pingpong melawan aktivis NGO, Partono Samino. Bermain pingpong dengannya sangat menyenangkan. Kami main hingga tiga set tanpa henti. Keringat sudah mengguyur sekujur tubuhku. Kedua set pertama selalu imbang. Set terakhir, penentuan, akhirnya saya kalah skor tipis. Saya kalah.


Paling sering bermain pingpon melawan staf. Semua pernah saya kalahkan, angkanya cukup telak, tapi pula ada yang draw atau seri. Namun secara umum bermain pingpong dengan staf kadang tak enak. Tak enaknya begini, karena aku bos-nya, mereka ada yang pura-pura kalah atau mengalah. Wah kalau begitu biasanya tak akan saya pasang lagi sebagai mitra tanding.


Di antara staf yang bisa bermain pingpong, hanya dua orang yang mahir. Satu namanya Pak Dhar, bekas atlet tenis meja DKI Jakarta, satunya lagi Aceng. Keduanya bermain bagus, dengan bola-bola panjang hingga saya dipaksa melayani gaya permainannya. Meski beberapa kali saya memenangkan pertandingan, tapi dia lebih sering mengalahkan saya. Saya mengakui permainan pingpong-nya. Dia memang punya kelas.


Staf lain adalah Aceng. Saya kira dia paling sulit saya kalahkan. Bahkan lebih sering saya menolak bermain dengan skor. Ini mengingat saya tak pernah main main dengannya. Hasil akhir selalu meninggalkan saya dengan paut yang tak terlalu jauh. Saya mengakui kombinasi pukulannya. Penempatan bola suka tak terduga. Meski plintiran bolanya bisa saya layani, tapi smash-nya membuat saya kewalahan.


Mitra tanding lain biasanya anggota Panwas dari daerah. Sudah puluhan yang berhasil saya kalahkan. Berhadapan dengan mereka sangat gampang. Gaya permainan bisa saya tebak. Penempatan bola sering mengecohkan bagi mereka. Saya tak begitu sulit memungkasi hasil akhir, yang terkadang jauh hasil akhirnya. *


Semarang, 28 Januari 2012.